Selamanya

zaky irsyad
Chapter #3

Dunia yang Aneh?

Aku memang orang yang aneh, aku tahu itu. Pikiranku sepertinya bekerja dengan cara yang nyeleneh. Tapi percayalah, bagiku dunia ini jauh lebih aneh.

Selama satu bulan menjalani kehidupan di Jakarta sebagai pegawai jalan tol, hanya ada dua hal yang selalu berputar dalam pikiranku. Yang pertama adalah bagaimana cara berhenti dari pekerjaan ini tanpa membuat Ayah dan Ibu kecewa? Lalu segera mencari cara mencapai impianku sendiri. Dan yang kedua adalah bagaimana cara memahami sistem ekonomi dunia ini bekerja? Karena setelah merasakan hidup di tengah jantung ekonomi Ibu Kota Negara Indonesia. Aku benar-benar merasa ada yang tidak masuk akal dengan ketimpangan di kota ini.

Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Kota Jakarta, aku mencium aroma persaingan di mana-mana. Gedung-gedung pencakar langit berdiri angkuh di antara pemukiman kumuh, mobil-mobil paling mahal di dunia bersanding bebas dengan bemo paling jelek di jalan raya.

Ada ketimpangan yang jelas kurasakan. Aku bisa melihat orang-orang berdasi dengan parfum semerbak mewangi menikmati makan siang di restoran mewah yang menyediakan beragam menu internasional. Namun di sisi lain aku bisa melihat kaum gelandangan mengais-ngais nasi bungkus basi di tempat-tempat sampah dan melahapnya begitu saja. Aku sudah pernah mengunjungi beberapa tempat selama hidup. Mulai dari Sulawesi, Surabaya, Bandung, Bogor. Tapi perasaanku tidak pernah seaneh saat melihat Jakarta.

Di gerbang tol, aku bersahabat baik dengan para PKL atau cleaning service. Mereka setiap hari bertugas menyapu area gerbang tol agar tetap bersih dan enak dalam pandangan mata pemakai jalan. Mereka menyediakan minum untuk kami, membelikan makanan, dan membantu mengatur lalu lintas di gerbang tol saat mulai terjadi kepadatan. 

Salah satu PKL yang menjadi sahabatku bernama Kang Apip, usianya sepuluh tahun lebih tua dariku. Orangnya sangat menghibur dan selalu tampak ceria. Ia berasal dari Sukabumi. Lelah tidak terasa jika sudah ngobrol ngalur kidul bersamanya. Namun dalam keceriaannya itu aku tahu ia menyimpan banyak masalah terkait asap dapur.

Pekerjaannya berat setiap hari, namun gajinya hanya setengah dari gaji pegawai outsourcing baru sepertiku. Padahal ia telah bekerja jauh lebih lama di gerbang tol ini.

“Bini gue lagi ngambek dirumah Ky, udah dua hari gue gak bawa pulang uang untuk bayar kontrakan. Yang punyanya nagih melulu. Makanya seminggu ini gue kerja lembur terus, habis stres kalau pulang ke rumah,” ungkap Kang Apip nyerocos di dalam ruang istirahat.

Karena sudah lama di Jakarta, logat dan bahasanya pun Jakarte punye gaye.

Aku mendengarkan sambil menyantap bekal makan siang yang selalu disiapkan Bibi.

"Kan ini awal bulan Kang…bukannya udah gajian?” tanyaku sambil menyeruput teh manis buatan Kang Apip.

“Katanya ditunggak dulu sampai bulan depan Ky, nanti dirapel dua bulan sekaligus. Gini susahnya jadi orang kecil,” jawab Kang Apip membuka topi dari atas kepalanya, rambutnya kusut sekusut wajahnya yang terlalu sering begadang.

“Emang gak bisa minjem dulu Kang? Bulan depannya kalau sudah keluar gaji kan bisa dilunasin utangnya?” 

“Udah gak ada yang percaya ama gue ky, yang kemarin-kemarin aja belom dibayar. Lagian malu minjam melulu. Yah bisa sabar aja gue mah.”

Aku kembali menyeruput teh manis karena makan sambil berbicara membuatku keselek.

“Coba sambil usaha lain Kang, dagang apa kek. Jangan ngandelin dari sini aja, gaji gue aja pas-pasan untuk hidup sendiri. Apalagi buat Kang Apip yang udah punya anak bini.”

“Kan butuh modal Ky kalau mau dagang. Gaji gue aja abis buat tutup lobang gali lobang tiap bulan, modalnya dapat dari mane?”

Lihat selengkapnya