Sebenarnya, ada hal yang cukup membuatku nyaman menjadi pegawai jalan tol di ibu kota ini. Yaitu suasana kerja yang penuh rasa kekeluargaan. Macam-macam suku bercampur jadi satu di gerbang tol ini. Ada Batak, Sunda, Jawa, Ambon, Papua, Padang, Sulawesi pun ada. Tidak ada jarak antara pegawai senior dan junior, bahkan antara bawahan dan atasan. Kami lebih seperti keluarga. Saling melempar canda, saling memberi kemudahan dan pertolongan saat situasi kerja sedang menghadapi jam sibuk.
Situasi kerja di gerbang tol bahkan bisa menjadi keseruan tersendiri, gegap gempita mirip pasar malam saat sedang diskon. Pada saat jam pulang kantor, jumlah kendaraan yang masuk ke gerbang tol akan memuncak sehingga kemacetan tidak terhindarkan. Berbagai jenis mobil menumpuk dari pintu gerbang masuk tol hingga mengular ke jalan raya. Dan justru moment genting seperti inilah yang membuat jiwa kami bergumuruh bagaikan getaran genderang perang. Kami akan berlomba-lomba menghabiskan antrian kendaraan yang menumpuk untuk membayar tol, dengan cara melayani pembayaran secepat mungkin. Ada yang sambil bersiul keras-keras, ada yang sambil bermain gendang memukul-mukul meja besi dan ada yang sambil berceloteh seperti tukang ikan di pasar.
“Ayo.....bapak ibu adik kakak semuanya!!” ujar Bang Thoby berkelakar pada pengemudi mobil. “Jangan lambat-lambat, saya harus pulang cepat karena anak tersayang minta diantar les piano! Istriku yang cantik minta diantar suting sinetron!!”
Suasana riuh ramai saling bersahutan seperti ini akan terus terdengar di gerbang tol hingga tengah malam nanti.
Namun semua kenyamanan dan kegembiraan itu berubah. Saat aku dipindah tugaskan ke Gerbang Tol Semanggi 1 dan mendapat jadwal shift 2-1. Itu artinya jika hari ini aku masuk shift siang sampai malam, maka besoknya aku masuk shift pagi sampai siang. Sungguh jadwal ini sangat melelahkan, mungkin sulit terbayangkan bagi orang lain tapi aku bisa gambarkan situasinya.
Jika masuk Shift 2 maka aku bekerja dari jam satu siang sampai jam sembilan malam. Ketika waktu kerja berakhir, aku biasa menuju terminal bus UKI Jakarta Timur sekitar jam sepuluh malam. Seperti biasa aku menggunakan bus AC menuju Bogor karena masih tinggal di rumah paman. Sampai di Terminal Baranangsiang jam sebelas malam, aku melanjutkan naik bus miniarta ke Kelurahan Ciluar yang berada di wilayah Bogor Selatan. Dari Ciluar aku masih harus menyewa ojek masuk ke perumahan hingga sampai ke rumah Paman. Total aku berganti tiga kali kendaraan, seluruh perjalanan memakan waktu dua sampai tiga jam.
Sampai di rumah Paman pukul dua belas malam. Aku langsung makan, lalu baring menutup mata. Hanya baring karena aku tidak mungkin langsung bisa tertidur. Sebab jam empat paginya, aku sudah harus terbangun lagi untuk berangkat kembali ke Jakarta. Masuk kerja shift 1 pukul enam pagi. Begitulah jadwal shift 2-1 yang sangat melelahkan. Seharian bekerja dengan menempuh perjalanan jauh, aku hanya memiliki waktu memejamkan mata selama empat jam dalam satu hari. Aku tidak pernah bisa tidur dengan lelap, karena jika terlalu lelap maka bunyi alarm tidak akan sanggup membangunkanku.
Di saat inilah detak jantungku mulai berdebar begitu cepat dan keras. Bahkan suaranya bisa terdengar di dalam kepalaku. Kadang aku bahkan tidak merasakan tidur sama sekali sampai dua hari. Di titik ini pikiranku sering kosong di perjalanan. Dari dalam bus aku biasa memandang ke luar jendela dan merasa hampa, mati rasa seakan tidak lagi memiliki emosi di dalam jiwa. Tubuhku kelelahan setiap hari tanpa istirahat yang cukup. Begitupun mental, aku merasa tidak memiliki alasan kuat untuk menjalani hidup seperti ini. Aku tidak memiliki tujuan, aku merasa bagaikan robot yang hidup hanya untuk bekerja. Sementara bagiku hidup harus lebih berharga, lebih bermakna. Itulah bentuk kehidupan yang kuinginkan.
Masalah semakin berat saat mengahadapi kepadatan lalu lintas kendaraan yang melewati Gerbang Tol Semanggi 1 setiap hari. Karena jumlahnya dua sampai tiga kali lipat dari jumlah kendaraan yang biasa menggunakan Gerbang Tol Tebet 2. Bahkan Gerbang Tol Semanggi 1 adalah salah satu gerbang tol tersibuk dan terpadat di Indonesia, lalu lintas kendaraan yang masuk bisa mencapai empat ribu dalam satu shift.
Dikarenakan kepadatannya yang super setiap hari inilah, banyak pengguna jalan yang kehabisan kesabaran saat harus mengantri masuk ke gerbang tol. Antriannya saja bisa menimbulkan kemacetan parah berkilo-kilo meter. Sehingga orang-orang kaya dengan mobil Ferarri akan dibuat kecele karena kuda pacunya jauh lebih lambat dari kendaraan roda tiga yang digenjot abang tukang becak sambil bersiul-siul di jalan raya.
Pertumbuhan jalan tol dalam kota Jakarta jauh lebih kecil dari angka pertumbuhan kendaraan bermotor, khususnya mobil yang terus-menerus diproduksi. Hal ini menyebabkan kemacetan harian yang tidak bisa dihindarkan. Seperti halnya kematian, kemacetan di jalan tol dalam kota pada jam pulang kantor adalah ketetapan yang pasti.
Dengan menumpuknya ribuan kendaraan yang hendak masuk melewati gerbang tol, membuat pekerjaan kami dalam melayani transaksi pembayaran seperti dikejar setan. Para pengguna jalan begitu terburu-buru, mereka ingin secepat mungkin meninggalkan gerbang neraka ini.
Kami pun tidak hanya harus menghadapi ribuan kendaraan, tapi juga ribuan masalah yang dibawa para pemakai jalan sejak pagi hingga sore hari. Pertengkaran di kantor, utang-piutang, bisnis gagal, dan semua tetek-bengek permasalahan hidup di ibu kota mencapai puncak stresnya. Dan macetnya jalan tol menjadi jarum yang meletuskan kekesalan mereka, lalu melemparkannya kepada pelayan tol bernasib malang sepertiku ini.
“Kamu tidak becus bekerja!! Lambat sekali kerjamu bikin kendaraan menempuk begini! Saya akan laporkan kamu ke kantor cabang!!” Damprat seorang pria paruh baya berjas rapih dengan mobil mewah Land Rover.
Biasanya aku hanya tersenyum dan berusaha memahami bahwa tingkat streslah yang merubahnya menjadi galak seperti itu.
Kenyataannya, tumpukan antrian kendaraan di gerbang tol tidak mungkin terhindarkan disaat ribuan kendaraan ingin masuk di waktu yang bersamaan melewati dua gerbang yang sempit. Ditambah pertumbuhan jalan tol dalam Kota Jakarta yang jauh lebih kecil dibanding jumlah produksi kendaraan roda empat yang terjual bak kacang goreng setiap tahunnya. Maka kemacetan adalah hal yang pasti sepasti satu ditambah satu sama dengan dua.
“Iya Pak, silahkan dilaporkan. Semoga perjalanannya menyenangkan, terima kasih.” Aku selalu berusaha menjawab seramah mungkin dan tidak ingin terpancing emosi.
Namun sering kali stresku pun bisa memuncak saat melihat antrian kendaraan terus-menerus menumpuk meski aku telah berusaha melayani transaksi pembayaran secepat mungkin, bahkan dengan super cepat. Di saat inilah aku akan berubah menjadi monster yang menakutkan!
“Bayarnya di gardu belakang Pak,” pintaku sopan, ketika antrian kendaraan sudah menumpuk kami biasa membuka dua gardu tol untuk mengurai kemacetan.
“Enggak saya mau bayar di sini saja!” elak pemakai jalan.
“Di gardu belakang dulu Pak biar tidak macet.” Aku coba bersabar.