Selamanya

zaky irsyad
Chapter #7

Keterbatasan

Satu minggu pertama bekerja di sekolah Madrasah Aliyah hanya membuatku semakin tidak betah. Karena tidak ada pekerjaan berarti yang bisa kulakukan selain menunggui madrasah dari pagi hingga siang seorang diri. Suasana madrasah pun benar-benar sepi dan sunyi. Bayangkan hanya ada lima orang murid yang hadir setiap hari. Guru yang mengajar pun hanya datang ketika jam mengajar mereka tiba, selebihnya aku sendirian.

Kadang dari ruang guru yang kecil aku menatap gang di depan pagar. Jangankan manusia, kucing pun jarang terlihat. Aku benar-benar merasa aneh bisa terdampar di sekolah ini. Aku bahkan teringat Novel Laskar Pelangi, yang menceritakan sebuah sekolah yang hampir ditutup karena hanya memiliki sebelas orang murid di Kampung Belitong. Namun keadaan itu terjadi pada tahun 1974! Sementara aku hidup di tahun 2009, di tengah kota yang maju. Saat laptop, handphone dan facebook sudah menjadi gaya hidup masyarakat modern. Dan aku kini bekerja di sebuah sekolah kecil yang hanya memiliki lima orang murid!! Sungguh perjalanan hidupku ini terasa sangatlah aneh.

Bagaimana dengan gaji? Aku tidak mendapatkan gaji, lebih tepatnya honor. Untuk pekerjaan ini aku mendapat honor Rp. 80.000 (depalan puluh ribu) setiap bulan! Bahkan ongkos bensin motorku pulang-pergi setiap hari selama sebulan, lebih dari itu.

Kegiatan belajar pun sungguh tidak pasti di sekolah ini. Tidak ada rutinitas pagi yang biasa terasa ramai dan ceria di lingkungan sekolah normal. Di sini kelima orang murid yang hadir setiap hari hanya masuk ke dalam kelas dan menunggu sampai ada guru yang datang. Hanya seperti itu. Namun disinilah letak masalahnya, yang seakan melengkapi keterbatasan madrasah ini dalam menyelenggarakan fungsinya sebagai lembaga pendidikan formal.

Para guru yang mengajar di sekolah ini, semuanya berstatus guru honorer. Honor yang mereka terima setiap bulan tidak lebih baik dari yang kudapatkan, rata-rata hanya 100 sampai 200 ribu perbulan. Jauh untuk memenuhi kebutuhan hidup. Maka untuk memperoleh tambahan, guru-guru ini mengajar di dua atau tiga sekolah berbeda. Sehingga terkadang terjadi bentrok jadwal.

Jika bentrok jadwal terjadi, maka guru akan berhalangan hadir. Bebanpun terlimpahkan padaku untuk mengisi pembelajaran. Sementara aku sama sekali tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengajar.

Maka saat ada guru yang berhalangan hadir, aku hanya beranjak masuk ke dalam kelas di lantai dua. Melihat lima murid yang tersenyum segan padaku. Mereka duduk di dalam ruang kelas yang sunyi, di antara meja-meja dan kursi yang lebih banyak kosong. Aku tidak pernah berusaha mengenal mereka. Aku hanya memberikan buku paket dan meminta mereka belajar sendiri, lalu pergi meninggalkan kelas. Aku tidak pernah berbasa-basi.

Lihat selengkapnya