Mengapa aku bersikeras menolak untuk menjadi pegawai sebagai jalan hidup seperti kebanyakan orang? Mungkin karena aku memang berbeda dari kebanyakan orang, itulah yang kurasakan sejak remaja.
Entah mengapa caraku memandang kehidupan selalu bersebrangan dengan cara pandang orang lain pada umumnya.
Setelah lulus SMK, sebenarnya aku tidak langsung bekerja di Jasa Marga. Ada jeda beberapa bulan yang kulalui hanya berdiam di rumah. Pada masa-masa ini, aku memiliki kebiasaan yang aneh.
Setiap sore aku selalu duduk di halaman samping rumah sambil memandang langit, menatap awan-awan yang bergerak perlahan hingga senja nanti datang. Aku tidak duduk melamun, tapi memikirkan hal-hal yang tiba-tiba saja datang dalam pikiranku, lebih banyak berupa pertanyaan. Seperti mengapa kita hidup? Untuk apa hidup ini? Mengapa dunia seperti ini? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang terus mengikuti kemanapun aku pergi.
Aku seperti terobsesi pada hal terpenting dalam hidup ini. Aku berpikir karena kita hanya hidup sekali, maka hidup ini harus benar-benar berharga. Maka pertanyaan pentingnya adalah apa yang membuat hidup kita berharga?
Aku pernah membaca sebuah novel kisah nyata. Aku tidak sengaja menemukan novel ini di tempat penjualan buku obral. Entah buku ini kurang laku atau bagaimana. Yang jelas aku membelinya seharaga dua puluh ribu rupiah, diskon setengah harga.