Selamanya

zaky irsyad
Chapter #12

Guru Dadakan

           

Sebenarnya, selama berkuliah aku pun belum pernah mendapatkan pengalaman mengajar di dalam kelas. Itu juga sebabnya aku tidak tahu bahwa kampusku ini adalah sekolah keguruan.

Apa yang kami pelajari lebih banyak mengenai pengetahuan dan penelitian bahasa, sama sekali tidak ada latihan mengajar. Sehingga aku masih buta bagaimana cara menghadapi anak-anak sekolah, aku benar-benar kebingungan.

Di dalam kampus aku berjalan menyusuri lorong panjang, melewati ruang administrasi lalu masuk ke sebuah ruang kerja yang tidak begitu luas. Aku menemui Dosen Pembimbing untuk meminta persetujuan.

“Assalamualaikum,” ucapku sambil mengetuk pintu ruang kerja Pak Rahman yang terbuka lebar.

“Waalaikumusalam,” jawabnya menatapku dari balik kacamatanya, “silahkan masuk.”

Dengan tersenyum aku melangkah ke dalam ruangan yang tidak begitu besar. Ada lemari tempat buku-buku menumpuk dan empat buah sova berwarna abu-abu. Pak Rahman duduk di balik meja kerjanya yang ramai oleh proposal skripsi mahasiswa. Beliau bergelar Doktor, dosen yang disegani karena ketelitian dan prinsip-prinsipnya.

“Saya Zaky Pak, mahasiswa kelas karyawan Prodi Bahasa Indonesia. Mau mengajukan proposal tempat Praktek Latihan Profesi,” ungkapku menjelaskan maksud tujuan.

“Oh iya, silahkan duduk. Coba saya lihat proposalnya.”

Aku menyodarkan proposal di atas meja, lalu duduk di atas kursi lipat di depan meja. Kucoba mengatur nafas agar debar jantung cepat mereda. Pak Rahman yang tampak tenang dengan rambut klimis dan kumis tipis segera membulak-balik halaman proposal. Entah berapa banyak proposal yang telah ia periksa, namun tetap saja teliti membaca setiap data-data.

Sejenak kemudian ia berhenti di halaman 12 yang menunjukan keadaan jumlah murid dan guru. Ia tertegun. Aku sebenarnya sudah tahu ini mungkin akan menjadi ganjalan. Pak Rahman menaikan wajahnya dan memandangku dengan senyum kecil.

“Ini sekolah?” Keraguan terpancar dari wajahnya.

“Aaa ... iya Pak, Madrasah Aliyah. Ee ... sekolah agama setingkat SMA, baru berdiri tahun dua ribu sembilan. Jadi ... muridnya ee ... masih sedikit, tapi memang sekoah Pak. Ada gurunya, ada kepala sekolah, ada ruang belajarnya Pak ... he..he. Ada meja, papan tulis.”

“Okey belajarnya bagaimana?”  

“Emm ... sama Pak seperti sekolah lainnya. Masuk jam tujuh pulang paling lama setengah dua. Mata pelajaran dan jam pertemuannya sama dengan SMA, yang berbeda ada lima pelajaran tambahan bidang keagamaan Islam.”

“Apa alasanmu memilih praktek di sekolah ini?”

“Eee ... saya kebetulan bekerja sebagai TU di sekolah ini Pak, masuk setiap hari dari pagi sampai siang. Jadi ... kalau harus praktek di sekolah lain, saya agak kesulitan mengatur waktunya.”

Pak Rahman mengangguk-nganggukan wajahnya. Ia kembali membolak-balikan halaman proposal. Kemudian kembali ke halaman persetujuan. Beliau Mengambil pulpen dari saku bajunya, dan menggoreskan tanda tangannya dengan cepat.

“Saya persilahkan untuk praktik di sekolah ini, nanti di dua minggu pertama akan ada monitoring dari Bapak.”

Mendadak senyumku mekar melebar.

“Oh iya, siap Pak. Saya sangat berterima kasih atas persetujuannya.” Aku menjabat tangan Pak Rahman dengan erat, lalu bergegas keluar ruangan dengan langkah yang sangat ringan.

Aku lega karena Dosen Pembimbing memberi persetujuan. Kecemasanku soal keadaan sekolah yang tidak normal akhirnya sirna. Kini masalahnya tinggal satu, bagaimana caranya mengajar??

*****

Minggu selanjutnya dimulailah program berjudul Praktek Latihan Profesi itu. Setiap Senin dan Rabu aku masuk ke dalam kelas untuk mengajarkan materi pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di bawah bimbingan Bu Siti Maesaroh, Guru Bahasa Indonesia di sekolah Madrasah Aliyah atau biasa dipanggil Bu Ai.

Bu Ai guru yang sangat supel dan berjiwa muda walaupun sudah lumayan berumur. Jika bertemu ia akan menyeru, “Woi Pak Zaky! Apa kabar??” 

Materi pertama yang kuajarkan adalah cara menulis surat niaga dan surat kuasa di kelas 2 yang berjumlah delapan orang murid.

Meskipun jumlah mereka teramat sedikit, namun rasa canggung secepat kilat melanda sekujur tubuhku. Semasa di sekolah dulu aku bukanlah tipe anak yang gemar maju ke depan kelas, aku malah sangat menghindarinya. Karena serangan gugup akan membuat suaraku bergetar saat berbicara, terbata-bata, mata berair, dan wajah menyusut ketakutan.

Mungkin karena itu aku lebih tertarik memegang alat musik drum dalam grup band. Paling tidak aku bisa bersembunyi dari perhatian penonton dibalik tumpukan snare, tom-tom dan cymbals.

Lihat selengkapnya