Selamanya

zaky irsyad
Chapter #13

Murid-Murid Ajaib

Baiklah, untuk menuntaskan rasa penasaran akan kuperkenalkan dengan murid-murid ajaib di sekolah kecil ini. Yang pertama dari kelas 2, terdiri dari delapan orang murid.

Tentu saja setiap hari di dalam kelas jumlah ini terhitung sangat sedikit dari jumlah siswa normal yang menjadi standar pendidikan. Karena menurut Departemen Pendidikan Indonesia, satu kelas minimal berjumlah 20 orang.

Namun jumlah itu tidak berarti, karena semangat ke delapan murid ini lebih besar dibandingkan 40 murid sekalipun!

           

Nuraeni

Siswi yang satu ini punya badan cukup besar di antara siswi lainnya. Pembawaannya bak petasan banting yang biasa digunakan warga betawi dalam acara pernikahan, keras, gesit, dan sering meledak-ledak. Ia terobsesi pada tingkat disiplin dan tanggung jawab yang tinggi. Jika ada teman sekelasnya yang datang terlambat, maka ia tidak akan segan-segan menegurnya dari lantai dua,

“HEEEYY!!! SUDAH MASUK!! Jam segini baru datang! Memangnya ini sekolah punya nenek moyangmu!!”

Kalau sudah kelewat kesal ia akan datang melapor ke ruang guru dengan suara menggebu-gebu.

“Pak...Pak! Kunci aja weh pagarnya biar yang telat gak bisa masuk! Atau...eh...eh...itu...weh…denda aja seribu rupiah! Nanti uangnya masukin ke kas, pasti pada gak berani telat lagi!” 

Nur merupakan Ketua OSIS sekaligus juru absen sholat. Tugasnya menghampiri seluruh murid madrasah di waktu dhuha dan dzuhur sambil bertanya dengan serius, “Sudah sholat belum?” Jika menjawab ragu-ragu apalagi belum sholat, maka ia secepat kilat memberi tanda huruf A pada absen yang dibawannya “ALPHA!!” 

Sholat selalu dilaksanakan di dalam ruang serbaguna yang juga berfungsi sebagai mushola. Karena ruangan ini merupakan satu-satunya ruangan terluas yang mampu menampung seluruh penghuni madrasah saat sholat berlangsung.

Aku salut melihat kesungguhan Nur pada tanggung jawab dan disiplin. Selain sikap mulianya yang tak kenal malu untuk membantu ekonomi kedua orang tuanya, ia sekolah sambil bekerja. Berbagai profesi sudah ia tekuni. Mulai dari menjadi buruh di pabrik roti, mengasuh anak tetangga, hingga mencuci dan menyetrika pakaian. Nur punya bakat besar dalam seni.

Aep

Tubuhnya kecil dan kurus, berkulit hitam legam. Mungkin karena ia lebih senang bekerja daripada mengisi perutnya. Jika sedang mengikuti pelajaran metematika, Aep akan menggaruk-garuk kepalanya sambil tersenyum tidak yakin. Lalu meminta izin ke kamar mandi untuk membasuh wajah dan rambutnya hingga basah kuyup. Saat melihatnya seperti itu aku sering bertanya,

“Kenapa Ep?”

“Pusing Pak,” jawabnya menggeleng-gelengkan kepala.

Namun ia memiliki kecerdasan sikap yang luar biasa! Suatu hari saat bel pulang berbunyi “PRREEETTTTTT!!!!” Begitulah bunyi bel madrasah ini, harganya lima belas ribuan di Toko Serba Ada! Aep datang menghampiriku di meja guru, dengan sopan ia berujar.

“Pak punten, taplak mejanya mau saya bawa pulang ke rumah.”

 Aku menatapnya dengan heran, “Untuk apa Ep?”

“Mau dicuci Pak. Lusa saya bawa lagi ke sini, biar bersih dan wangi Pak he...he.” Jika tersenyum wajah Aep mirip anak kecil yang sedang mencicipi jeruk nipis. 

 Ternyata tiap seminggu sekali Aep membawa pulang taplak meja guru dan mencucinya di rumah tanpa ada yang menyuruh atau menugaskannya. Jujur aku begitu terkesan.

Pernah juga ketika gudang di lantai dua akan dijadikan ruang komputer sederhana setelah madrasah mendapat sumbangan lima buah komputer bekas, Aep meminta izin untuk membersihkannya. Setelah jam pelajaran usai, semua murid pulang ke rumah masing-masing kecuali Aep yang tetap tinggal. Ia membersihkan gudang seorang diri, menyapu dan mengepelnya hingga bersih.

 Aep adalah tipe anak yang sangat senang bekerja, itu seperti passionnya. Ia lebih suka hidup mandiri daripada mengandalkan uang dari orang tua. Aep mau bekerja apa saja, dari kenek angkot hingga tukang jual siomay keliling. Terkadang ia juga membantu Bu Ida berjualan di kantin. 

Madrasah kami sering dijadikan tempat berkumpulnya para jamaah umroh yang menunggu keberangkatan bus menuju Bandara Sukarno-Hatta, Jakarta. Jam 5 subuh para jamaah berkumpul diantar sanak saudara. Bu Ida membuka kantin yang menyediakan gorengan dan seduhan kopi hangat. Aep menawarkan diri untuk bekerja membantu Bu Ida, awalnya Bu Ida menolak karena di pagi harinya Aep harus bersekolah. Namun dengan semangat menggebu-gebu Aep berhasil meyakinkan Bu Ida bahwa ia akan tetap bersekolah seperti biasa meski subuhnya harus bekerja.

Jam empat subuh Aep sudah datang ke madrasah, satu jam lebih awal dari kedatangan para jamaah umroh. Ketika waktu beraksi sudah tiba, Aep pun melayani para pembeli dengan sungguh-sungguh. Menyeduhkan kopi atau teh hangat kepada ramainya pelanggan.

Setelah pekerjaannya selesai ia akan beranjak ke ruang kelas untuk tidur sejenak. Pukul tujuh pagi ketika aku dan para murid lainnya mulai berdatangan ke madrasah, Aep bergegas bangun untuk mandi di toilet madrasah. Setelah itu mengganti bajunya dengan seragam sekolah, kemudian mengikuti kegiatan pembelajaran seperti biasa hingga siang hari nanti.

Dari Aeplah aku belajar bahwa satu-satunya bentuk kebodohan di dunia ini adalah malas, bukan ketidakmampuan dalam bidang akademik. Untuk sukses manusia hanya memerlukan 10% dari kemampuan otaknya, namun membutuhkan 90% sikap kerja keras, disiplin, dan tanggung jawab.

Jika Anda memberi soal matematika kepada seorang anak seperti Aep, ia akan berusaha mengerjakannya meskipun hasilnya tetap saja minimal. Namun jika Anda memberinya modal untuk berdagang, maka ia tidak akan makan sebelum meraih untung!

Rini

Siswi ini selalu membuatku takjub dengan sikap antusias belajarnya yang sangat tinggi, penuh keceriaan dan selalu ingin tahu. Sikap ini ia tunjukan pada semua mata pelajaran yang diikutinya. Wajahnya selalu diliputi senyuman saat bertanya atau menjawab pertanyaan yang diberikan. Sangat ramah pada siapapun.

Kemampuan akademiknya berada di atas rata-rata. Tak jarang aku memintanya menjelaskan materi pelajaran kepada teman-teman sekelasnya yang lain jika guru sedang berhalangan hadir. Sambil tersenyum-senyum ia sanggup melaksanakan tugas itu dengan baik.

Sebenarnya aku merasa ia lebih pantas mendapatkan pendidikan yang lebih layak di sekolah negeri, dimana fasilitas dan perangkat pembelajaran tersedia dengan lengkap untuk mendukung antusias dan semangat belajarnya yang besar. Terkadang situasi belajar di madrasah yang masih belum stabil membuat hatinya gundah.

“Bapak … gurunya gak masuk lagi ya?” 

Begitu caranya mengungkapkan kegundahan ketika rasa antusiasnya terhadap pelajaran tak terbalaskan. Aku sering sedih saat melihatnya seperti itu.

Mungkin juga rasa antusias itu hadir karena Rini sempat berhenti satu tahun sebelum masuk ke Madrasah Aliyah ini. Setelah lulus dari SMP, ia tidak langsung melanjutkan pendidikannya karena terbentur masalah biaya. Namun itu seperti menjadi pelecut semangatnya untuk giat belajar, karena bisa melanjukan sekolah merupakan hal yang sangat berharga baginya.

Dengan sungguh-sungguh aku berharap ia dapat melanjutkan pendidikannya hingga ke level perguruan tinggi, tidak harus terganjal persoalan biaya seperti yang terjadi pada kakak-kakak kelasnya dulu. Aku tidak tega melihat antusias belajarnya terhenti hanya sampai tingkat SMA. Ia pantas dan berhak atas pendidikan yang lebih tinggi, serta masa depan yang lebih cerah.

Ichsan

Kami biasa memanggilnya Icun. Postur badannya lebih besar dariku. Sehari-hari menggunakan kaca mata mines tiga. Ia punya tingkat hiperaktif yang tinggi, itu artinya hiperaktif dikali dua!

Lihat selengkapnya