Kini setiap hari aku berada di sekolah dari jam tujuh pagi sampai jam dua siang. Bersama Bu Ida aku mulai mengurus banyak hal, karena bagaimana pun Bapak memintaku untuk membantu Bu Ida sebagai TU. Meskipun pada kenyataannya kami berdua adalah pegawai tetap satu-satunya di sekolah ini, tidak ada jabatan lain kecuali guru yang datang ketika ada jadwal mengajar.
Namun aku juga cukup dekat dengan Guru Olahraga baru, Pak Asep Gunawan. Mungkin karena usia kami tidak berbeda jauh, ia hanya dua tahun lebih tua dariku. Seperti Guru Olahraga pada umumnya, posturnya tinggi atletis, rambutnya tipis, dan berbicara sedikit cadel. Pak Asgun sangat humoris, senang bercanda dengan murid-murid madrasah.
Untuk lebih menghidupkan suasana, Bu Ida membuka kantin di dalam sekolah. Letaknya berada di bawah tangga dekat mushola, sehingga murid-murid tidak perlu jajan di luar. Pada saat jam istirahat, kantin ini menjadi tempat berbaur antara guru dan murid. Bersama-sama kami menikmati jajanan sederhana seperti gorengan, snack ringan atau roti seribuan. Obrolan ringan sering menghiasi aktifitas jual beli di kantin sederhana ini. Namun suatu hari, Acep mengobrolkan hal yang cukup serius.
“Pak, gimana kalau di sekolah kita adain ekskul Pak?” ungkap Acep sambil melahap bala-bala hangat.
“Iya Pak, bosen kalau pulang. Aku mah mending di sekolah sampai sore,” tambah Itoh bernada sungguh-sungguh.
“Syahyah phikir ithu idhe yang bhaguhss Phak, manthaap ituh. Biar sekholahh kitha teh lebih majhuhh.” Gaya bicara Azhari seperti Ustad sejuta umat KH. Zainudin MZ.
Aku terdiam sejenak, karena aku tidak pernah memikirkan ini sebelumnya.
“Tapi ekskul apa Cep? Kalian benar akan ikut jika eksul diadakan?”
“Ekskul apa aja boleh Pak. Mau itu olahraga, seni, pokoknya Acep mah pasti ikut Pak. Pengenlah sekolah kita ada kemajuan.”
“Iya Pak. Adain ekskul yuk yuk, biar rame madrasahnya, ada kegiatan lain.” Pipit ikut menyumbang suara.
Dari obrolan yang tampak serius ini, akupun mulai berpikir untuk mengadakan ekskul. Bahkan tidak hanya satu, aku berencana mengadakan tiga ekskul setiap minggunya.
Untuk olahraga aku meminta bantuan Pak Asgun. Beliau langsung menyetujui tawaran membuka ekskul tanpa pikir panjang, jenis ekskulnya adalah olahraga basket.
Maka setiap senin sepulang sekolah, kami berjalan kaki di tengah terik matahari sejauh satu kilometer ke sebuah perumahan mewah. Di sana terdapat lapangan luas yang bisa digunakan untuk bermain basket.
Sejak awal berdiri, madrasah tidak memiliki lapangan untuk olahraga. Sehingga saat jam pelajaran Penjaskes, Pak Asgun selalu membawa anak-anak menumpang praktek di lapangan perumahan mewah ini. Lapangannya memang bebas digunakan oleh siapa saja, asalkan tertib dan tidak terlalu berisik.