Hari Rabu pukul setengah dua siang.
Terik matahari panasnya bukan main. Sesuai janji hari ini murid-murid madrasah akan memulai ekskul teater.
Setelah lima belas menit menunggu, Samsul akhirnya datang menggunakan motor bebek supranya berwarna hitam, yang ia cicil dari gaji bulanan di pabrik.
Samsul berhenti di halaman madrasah dan melepas helmnya. Jadwal kerja Samsul di pabrik menggunakan sistem shift perminggunya, satu minggu masuk pagi, satu minggu lagi masuk malam. Dan ia bisa melatih anak-anak saat jadwal shiftnya sedang masuk malam. Itu berarti malam tadi ia baru saja masuk kerja, bergadang melakukan pekerjaan beratnya hingga pagi.
Sehingga pagi tadi sampai dzuhur ia sempatkan tidur di kontrakannya, kemudian langsung berangkat ke madrasah untuk melatih anak-anak hingga sore hari nanti. Malamnya ia harus kembali bekerja hingga besok pagi.
Jujur saja aku merasa berat hati karena membuat Samsul mengorbankan waktu istirahatnya sehabis shift malam demi mengajar anak-anak teater. Namun semangat dan antusias yang ia tunjukan meyakinkanku bahwa madrasah ini adalah semacam obatnya untuk merasakan hidup kembali. Lama tak berkarya, bakat seorang seniman sejati bisa mati.
“Gimana Brad, anak-anak sudah siap?” tanya Samsul turun dari sepeda motor.
“Siap Brad, mereka sudah nunggu di dalam, latihannya di ruang mushola.”
Mushola di madrsah ini, sebenarnya semacam ruang serbaguna. Ruangannya cukup luas, setara dua ruang kelas besar dijadikan satu. Lantainya keramik berwarna putih, dan ada karpet sejadah hijau yang menutupi setengah ruangan. Saat cuaca tidak memungkinkan untuk praktik olahraga di luar, biasanya Pak Asgun menggunakan ruangan ini untuk praktik olahraga, karena madrasah tidak memiliki lapangan luas.
Aku dan Samsul beranjak masuk ke dalam ruangan, murid-murid madrasah sudah menunggu sedari tadi. Aku langsung mempersilahkan Samsul mengambil alih kendali, anak-anak duduk bersila membuat lingkaran besar. Ekspresi wajah mereka campuran dari rasa bingung, gembira, takut, dan penasaran menjadi satu.
“Ada yang tahu teater itu apa?” tanya Samsul menodong tanpa basa-basi. Ia memandang wajah anak-anak yang menatapnya dengan kening mengkerut.
“Pak saya!” Roby berkoar mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Rambutnya tatap acak-acakan.
“Ya, apa teater itu?”
“Nggak tahu Pak, kan belum diajarin!” Jawab Roby enteng.
“Hhhuuuuu!!” sorak anak-anak kecele.
“Kan memang belum diajarin, jadi nggak tahu yey,” elak Roby memasang wajah tak berdosa.
“Sepherthinya....” Azhari memulai dengan wibawa. Tubunya tambun, berkulit gelap dan berbibir tebal. “Khalau shayah thidak salah, kharena khebenaran hanya milikh Allah semhata dhan khekurangan pastih mhilik shayah. Theater ituh adhalah suatu seni yang memainkan peran terthentuh, yang dimana, ada dialog dan ada jhalan certiah nyah. Sepertih itu kira-kira Pak theater ituh.”
Tepuk tangan segera kami persembahakan untuk Azhari, ia pun mengangguk-angguk kagum pada dirinya sendiri.
“Emm ... ini Pak, Pipit inget pernah baca di mana gitu. Oh iya kalau nggak salah di rumah Inggrit, waktu kapan ya? Kita main ke sana pokoknya bareng-berang banyakan. Terus teh hujan, makan bakso, tapi baksonya teh keasinan hhaa ... ha ... inget kan? Inget kan?”
“Eleuh ... kapan jelaskan teaternya ini teh Pit?” Semprot Nuraeni tak sabaran.
“Oh iya iya. Itu Pak, teater teh tempat pertunjukan!”
Kami yang lama memperhatikan Pipit berbicara tiba-tiba hampir pingsan karena jawabannya ternyata hanya dua kata.
“Ihh si Pipit mah, dikirain teh jawabannya mau panjang kamuu tehh!” tegur Rini sambil memberi sebuah cubitan gemas ke pipi Pipit yang tembem mirip kue bapau kukus.
Samsul menoleh kepadaku, dan mengangguk-nganguk setuju. Sepertinya ia sependapat bahwa anak-anak di hadapanannya ini berbeda dengan kebanyakan orang yang biasa dijumpai.
Ekskul teater diikuti murid-murid kelas satu dan dua yang bercampur menjadi satu, karena mereka semua sangat antusias.
“Oh iya aku Pak, aku!” Masitoh mengangkat tangan.
“Iya silahkan, apa teater itu?”
“Teater itu berasal dari Bahasa Yunani, theatron. Artinya tempat untuk menonton. Dalam arti sempit teater adalah drama kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan orang banyak dan didasarkan pada naskah tertulis.”