“The Miftah Show?” Acep memicingkan matanya.
Aku mengumpulkan anak-anak madrasah di dalam ruang mushola setelah jam pelajaran usai. Menjelaskan rencana pertunjukan seni yang akan digelar oleh mereka. Kami duduk bersila membentuk lingkaran besar.
The Miftah Show sendiri aku ambil dari nama madrasah ini, Madrasah Aliyah Miftahussa’adah. Sedangkan Miftahussa’adah merupakan Bahasa Arab yang berarti “Kunci Kebahagiaan”.
“Iya, The Miftah Show!” jawabku bersemangat. “Pertunjukan ini akan menjadi kunci perubahan sekolah kita, agar tidak lagi di pandang sebelah mata. Orang-orang harus tahu bahwa kalian pun adalah anak-anak yang cerdas dan berbakat.”
“Emang pertunjukannya apa saja Pak? Kita kan belum pernah bikin pertunjukan sebelumnya?” sahut Pipit tampak masih kebingungan.
“Di pertunjukan ini kita akan menampilkan nasyid, paduan suara, musikalisasi puisi dan teater. Bapak yakin kalian pasti bisa! Kita akan latihan mulai minggu ini, bagaimana?”
“Eee ... phunten Pakh....” Azhari menyela. “Khalau nasyid dhan puisi InsyaAllah kitha sudhah biasa, taphi pahdauan suarah dan theater ituh yang masih harus baghaimana Pak?”
“Iya Pak, kemarin aja kita latihan teaternya masih berantakan.” Rini menambah keraguan.
“Justru dengan pertunjukan ini kalian akan mulai berlatih dengan serius, dengan penuh kesungguhan. Agar pertunjukannya berhasil mengesankan penonton. Di sini kalian akan belajar bersikap profesional. Dan Bapak yakin kalian pasti bisa!” ungkapku berusaha mematahkan keraguan mereka.