Hari minggu pagi. Satu hari menjelang pertunjukan.
Dari data yang kupegang, akan ada seratus orang yang menyaksikan pertunjukan! Sungguh ini mendorong semangat kami sampai ke puncak!
Madrasah yang selama empat tahun dianggap rumah kos-kosan, diliputi kesunyian karena keterbatasan, jumlah murid hanya sembilan belas orang, akan didatangi seratus pengunjung untuk menonton pertunjukan kami! Ini adalah sebuah lompatan yang tinggi!!
Pukul delapan pagi.
Aku dan murid-murid madrasah melakukan latihan terakhir di ruang kelas, sekaligus menyiapkan berbagai properti pertunjukan. Mulai dari kostum, peralatan musik, sound sistem maupun barang-barang yang akan digunakan pemain teater di atas panggung.
Semuanya didata, dicek list satu-persatu, tidak boleh ada yang kurang. Kami sangat fokus dan berkonsentrasi, meskipun beberapa murid sudah terserang flu karena kelelahan berlatih setiap hari sampai sore. Namun semangat mereka tidak luntur sedikit pun.
Ketika sedang memperhatikan anak-anak berlatih, Bu Ida tiba-tiba meneleponku. Ia sedang berada di toko grosir penjualan kain, dengan nada sedikit cemas Bu Ida berkata.
“Pak Zaky, ini kain hitam yang panjangnya enam puluh kali satu setengah meter, harganya ternyata mahal! Tadinya saya kira hanya tiga ratus ribuan, ternyata harganya tujuh ratus delapan puluh ribu! Gimana nih, dari kas sekolah adanya hanya tiga ratus ribu?”
Aku diam membeku, jantungku bedegub kencang, tanda kecemasan sudah menyerang syaraf-syaraf otakku. Harga kain hitam sepanjang enam puluh meter itu ternyata hampir satu juta rupiah!
Aku berusaha mencari-cari solusi dalam kepala, tapi seketika buntu. Aku tidak tahu bagaimana cara menutupi kekurangan dananya.
“Kalau begitu tunggu sebentar ya Bu, saya pikirkan dulu, nanti saya telopon Ibu lagi.”
Hubungan telopon pun terputus. Aku terdiam karena kain hitam itu sangatlah penting bagi pertunjukan seni ini. Tanpanya ruangan akan tampak biasa saja, tidak terasa bagai gedung pertunjukan teater.
Sejak awal, pertunjukan ini memang aku rancang dengan menekan anggaran dana seminim mungkin. Karena aku tahu madrasah tidak punya uang lebih untuk pertunjukan besar seperti ini.
Sebagian besar anggaran mulai dari konsumsi latihan setiap hari hingga pengadaan barang-barang properti panggung aku ambil dari uang pribadi. Tabungan hasil bekerja di Jasa Marga pun sudah terkuras habis.
Aku coba membuka dompet, dan hanya tersisa selembar uang sepuluh ribu rupiah. Aku benar-benar tidak menyangka jika harga kain hitam akan semahal itu. Samsul pun memperkirakan harganya tidak lebih dari tiga ratus ribu rupiah. Ini sungguh diluar bayangan kami semua.
Tapi aku sudah tidak mungkin mengcansel pertunjukan. Sudah tidak ada waktu untuk menyerah. Yang aku tahu pertunjukan harus tetap terlaksana besok. Apapun resikonya, kami harus tetap maju.
Aku kembali menghubungi Bu Ida.
“Bu ... apa kita masih punya uang di kas sekolah?”
“Masih Pak … tapi untuk honor guru, hanya itu uang yang ada."
“Kalau begitu pinjam aja dulu lima ratus ribu, nanti saya langsung ganti pakai uang pribadi.”
“Iya Pak ... kalau gitu saya beli kainnya sekarang.”
“Terima kasih bu.”
Aku menutup telepon, berdiri menghela nafas panjang. Sebenarnya aku hanya bermodal nekat mengatakan itu, karena sesungguhnya aku sudah tidak memiliki uang simpanan sama sekali. Bahkan untuk bertahan seminggu ini, aku telah meminjam uang dari Kakak perempuanku sebesar tiga ratus ribu rupiah untuk biaya bensin motor kesana kemari.
Satu-satunya cara yang terlintas dalam benakku adalah menjual gitar akustik Yamaha yang sebenarnya baru beberapa minggu kubeli seharga delapan ratus ribu rupiah.
Tanpa buang banyak waktu lagi aku langsung mengirim sms ke Nandar, meminta bantuan padanya agar menawarkan gitar akustikku itu kepada teman-temannya yang bergelut di dunia musik seharaga lima ratus ribu saja. Aku membanting harganya serendah mungkin agar secepatnya bisa terjual.
*****
Pukul lima sore, kain hitam sudah datang. Kini konsentrasi mulai kami tujukan pada proses pembuatan panggung teater. Samsul yang tadinya libur kerja tiba-tiba dipanggil masuk untuk lembur di pabriknya, dan ia baru bisa ke madrasah pukul sembilan malam.
Aku cukup was-was menerima kabar itu, tapi Samsul meyakinkanku bahwa dekorasi panggung dapat selesai dengan cepat meski ia datang pukul sembilan malam. Aku tetap percaya pada pengalaman dan kemampuannya.
Sambil menunggu Samsul datang nanti malam, Aku dibantu Pak Asgun dan murid-murid madrasah mempersiapkan panggung dari meja-meja belajar siswa di kelas.
Bersama-sama ke sembilan belas murid, kami menurunkan meja-meja belajar dari ruang kelas satu dan dua satu persatu. Mengangkatnya bersama-sama ke dalam ruang pertunjukan, lalu menyusunnya menjadi panggung berbentuk persegi panjang berukuran 6 x 4 meter.
Murid-murid madrasah tampak ceria dan begitu bersemangat. Mereka saling melempar canda dan tawa. Kami bergotong-royong dalam kebersamaan yang membuat segala keterbatasan madrasah seakan tidak pernah ada.
Setelah maghrib aku menyuruh para siswi madrasah untuk pulang ke rumah masing-masing atau pun ke pondok, agar mereka dapat beristirahat dengan cukup menjelang pertunjukan esok hari.
Sementara aku, Pak Asgun dan siswa madrasah memutuskan untuk menginap di madrasah sambil memastikan semua persiapan panggung terselesaikan dengan sempurna.
“Pak, kain untuk penutup panggungnya belum bisa dipasang sekarang ya?” tanya Acep sambil mengucek-ngucek matanya.
Kami berdiri menatap panggung yang masih polos tanpa penutup dan backround kain hitam.
“Iya Cep ... harus nunggu Pak Samsul datang, Bapak juga belum tahu bagaimana cara memasang kain penutup panggungnya.”
“Sepherthinya, ithhu sesuathu yhang membhhutuhkhan keahlian khushus bhenar beghituhh Pakh?” Azhari berujar.
“Iya Ri, Bapak seumur-umur belum pernah mendekor panggung teater. Takutnya malah gagal kalau dipaksain sekarang. Lebih baik kita tunggu saja sampai Pak Samsul datang.”
“Siap Pak, saya udah nggak sabar lihat panggungnya jadi!” ungkap Ichsan dengan wajah berseri-seri.
*****
Waktu terus berlalu, jam sudah menunjukan pukul sembilan malam. Pesan singkat dari Samsul tiba-tiba masuk menyampaikan kabar yang lebih mengkhawatirkan.
Aku membaca pesan itu dengan darah yang naik sampai ke ubun-ubun.
“Brad sial banget ane hari ini! Ane disuruh lembur lagi sampai jam sebelas malam!! Jadi ane baru bisa ke madrasah paling jam setengah dua belasan. Tapi ane yakin dua jam juga kita udah bisa beresin panggungnya Brad.”
Aku bertanya-tanya di dalam hati dengan penuh ketakutan, apa cukup dalam waktu dua jam? Namun sekali lagi aku memilih untuk tetap percaya dengan pengalaman Samsul.
“Okey Brad, tenang saja, kita semua bermalam di madrasah. Kita akan stand by di sini,” balasku mengirim pesan.
Di luar sana, awan mendung yang sudah menggantung sejak sore hari, akhirnya menurunkan hujan dengan derasnya. Suaranya berdesir keras saat air hujan menerpa atap halaman madrasah yang terbuat dari viber pelastik. Jutaan tetas hujan berduyun-duyun turun membasahi .
Hawa dingin perlahan-lahan masuk ke dalam ruangan pertunjukan, cukup untuk menenangkan pikiranku yang dilanda kecemasan.
Seorang wanita berpayung hitam tiba-tiba datang menembus derasnya hujan, berjalan dengan langkah cepat sambil membawa loyang besar.
Ketika sampai di teras madrasah suaranya nyaring menyapa ceria seakan yang sedang turun adalah hujan uang recehan.
“Pak Zaky!! Lapaaaarrrr yaaa? Hhheehee, diriku kan baik hati dan tidak sombong. Jadi diriku masak indomie nih seloyang buat dirimu.” Bu Ida menaruh payungnya di teras, dan membawa masuk seloyang besar rebusan indomie yang masih mengepul hangat.