Jam 6 pagi.
Matahari mulai muncul dari peraduannya, sinar lembut mewarnai langit yang gelap. Setelah shalat shubuh tadi, aku dan Samsul beristirahat sejenak untuk sekedar mengganjal perut dengan roti tawar. Terus bekerja dan tidak tidur semalaman membuat mata kami kelelahan, begitu pun sekujur tubuh.
Pari siswi madrasah mulai datang, dengan sigap mereka membersihkan halaman, teras, dan lantai ruang pertunjukan hingga bersih. Agar para pengunjung yang datang merasa nyaman. Tentu saja mereka langsung terkesima saat melihat panggung megah yang telah jadi. Rona bahagia meletup-letup dari wajah mereka.
“Ihhh...Pak Panggungnnya BAGUUUUSS!!!” ungkap Nuraeni menggelegar dari dalam ruangan.
“Iya ini mah kayak panggung teater beneran!!” sahut Inggrit terkagum-kagum.
“Tapi jadi deg-degan yah kalau nanti tampil di atas panggung.” Nurrohmah menunjukan kerisauannya.
“Tenang saja kalian jangan takut. Harus berani, lawan rasa takutnya. Pasti akan deg-degan, tapi karena itu penampilannya harus total. Dengan begitu deg-degannya akan hilang dengan sendirinya,” jawabku memotivasi.
Rasa takut atau gugup itu memang hal yang wajar. Pasti ada beban di pundak murid-murid madrasah untuk menampilkan yang terbaik di atas panggung semegah ini. Apalagi jika mereka belum punya pengalaman tampil di atas panggung sebelumnya, tapi aku yakin mereka pasti bisa.
Samsul naik ke atas meja di atas panggung, ia menggantung lampu sorot tepat di atas langit-langit panggung. Lampu yang dapat diatur redup dan terangnya itu kami sewa dari seorang kenalan Bu Ida.
“Sekarang coba nyalain Brad,” Ujar Samsul turun dari atas meja setelah selesai menggantung lampu sorot di atas langit-langit panggung.
Aku bergerak ke belakang panggung, meraih saklar lampu yang sudah terhubung pada sumber listrik. Kuputar sakelar perlahan-lahan, lampu sorot mulai menyala, terus kuputar hingga putaran terakhir. Lampu menyorot terang benderang, lampu ini memiliki semacam penutup yang membuat cahayanya fokus ke tengah panggung.
Aku segera berlari ke depan, melihat panggung dari tengah ruangan. Sungguh indah pemandangannya!! Panggung pertunjukan bagaikan mutiara yang bersinar di dalam laut yang gelap. Semua mata hanya akan terpikat padanya. Karena area tengah panggung adalah satu-satunya bagian dalam ruangan pertunjukan yang bersinar di antara kepungan kegelapan. Konsentrasi penonton benar-benar dapat tertuju pada setiap adegan teater.
“Bagaimana Brad?” seru Samsul dari atas panggung.
“Menakjubkan Brad, fantastis!!!"
“Kereennnn ihhhh PAKKK!!!” tambah para siswi madrasah bersorak sambil bertepuk tangan penuh kebanggaan.
*****
Pukul tujuh pagi, dua jam sebelum pertunjukan dimulai.
Aku, Samsul, Pak Asgun dan murid-murid madrasah yang berjibaku semalaman membuat panggung, secera bergantian membersihkan diri. Mandi air dingin di pagi hari membuat rasa pegal dan kantuk luntur terbawa air.
Setelah mengganti baju di lantai dua, aku turun kembali ke bawah untuk mencari sisir, karena menyadari rambutku berantakan tak karuan.
“Rambut Pak Zaky bagus ya, gaya rambutnya begitu aja Pak, keliatan lebih ganteng ya ya ya,” Pipit tersenyum lebar, kedua kelopak matanya berkedip-kedip ceria seperti di film kartun.
Rini langsung mendorong manja bahu sahabatnya itu.
“Ihh ... Pipit mah, masa rambut Pak Zaky begitu dibilang bagus. Tapi kok belum sisiran Pak?”
“Nah ... Bapak dari tadi nyari sisir, lupa bawa dari rumah. Kalian ada yang punya?”
“Oh ... aku punya Pak, tunggu sebentar.” Nuraeni dengan cepat membuka tasnya, bergerak layaknya doraemon yang memilih bermacam benda dalam kantong ajaib.
“Nahh, ini Pak!!”
Aku tertegun sekejap melihat sisir super besar dengan gigi-gigi yang jarang disodorkan oleh Nuraeni.
“Itu sisir Nur?” tanyaku keheranan.
“Bukan Pak, sikat WC! Pak Zaky mah ada-ada aja....”
“Itu mah sisir buat gajah Teh Nur mah....” Masitoh tertawa malu-malu sambil menutup mulutnya.
Dengan polos Nenden menunjukan wajah bingung.
“Emang gajah ada rambutnya ya?”
“Nggak ada! Hhaahaa ... gajah kan nggak ada rambutnya.” Tawa Nurrohmah mendayu mirip lagu Es Lilin Kelapa Muda.
Seperti biasa keunikan murid-murid ini selalu berhasil mengundang tawa, mereka punya selera humor yang aneh tapi menggelitik.
Bu Ida tiba-tiba datang membawa sebuah dus besar dengan cukup tergopoh-gopoh. Ternyata ia sudah menyiapkan nasi kuning untuk sarapan kami semua.
“Paakk Zakkkyy!! Paakk Sammsul!! Pakkk Asguuunnn, anaaakk-anaakkk ayo siniii saraapannn duuluuu!!!” Suara melengking Bu Ida terdengar hingga ke kamar mandi.
Tentu saja itu membuat kami semua segera berkerumun di dalam ruang pertunjukan. Dengan cekatan Bu Ida membagikan nasi kuning yang dibungkus kertas minyak warna cokelat.
Sambil duduk melingkar, kami semua mengisi perut bersama-sama, diselingi canda tawa dan senyuman di mana-mana. Aku menceritakan perjuangan mendirikan layar panggung semalam, dan kekonyolan yang terjadi berkali-kali karena kami lupa membawa palu dan alat pemotong kayu. Anak-anak tertawa terbahak-bahak.
Sungguh momen ini tidak dapat diciptakan dengan uang, terlalu mahal untuk dibeli. Rasa persaudaraan dan kekeluargaan bagiku merupakan salah satu hal paling indah di dunia ini, dan aku tidak ingin kehilangnnya.
*****
Pukul sembilan pagi.
Anak-anak sudah selesai melakukan geladi bersih di atas panggung. Sebagian lain membantu Bu Ida menyiapkan konsumsi bagi para penonton yang menghadiri pertunjukan. Namun Masalah baru perlahan muncul, penonton yang hadir baru beberapa orang saja.
Aku coba menenangkan diri, mungkin para penonton yang akan hadir masih di jalan menuju ke madrasah. Maka kuundur jadwal pementasan hingga jam 10.00 pagi. Karena dengan persiapan yang menguras begitu banyak tenaga, materi dan mental, pertunjukan ini akan hampa tanpa penonton.
Satu jam kemudian, keadaan ternyata tidak berubah. Ruang pertunjukan masih sepi, pikiranku mulai kalut tak karuan. Aku naik ke lantai dua, memandang ke arah jalan raya. Berharap-harap sekelompok pelajar atau pengunjung muncul dari balik angkot yang berlalu-lalang.
“Belum ada lagi ya Brad penontonya?” Samsul muncul menaiki anak tangga, berjalan menghampiriku.
“Iya Brad ....” Aku menoleh lemah, berpegangan pada pagar pembatas teras lantai dua. Kami berduapun berdiri memandang jalan raya.
“Ane takut motivasi anak-anak jatuh kalau jumlah penontonnya tidak seberapa,” ujarku lagi.
“InsyaAllah penontonnya bertambah nanti Brad, mungkin masih di jalan. Tapi kita harus persiapkan mental anak-anak juga. Jumlah penonton tidak boleh jadi alasan untuk tidak total. Pertunjukan ini harus tetap kita tampilkan dengan kesungguhan hati,” ungkap Samsul tidak patah semangat.
“Kalau pertunjukan ini berhasil, ane sebenarnya sudah siapkan pertunjukan yang lebih besar Brad. Pertunjukan yang mampu mengangkat nama sekolah ini, agar bisa setara dengan sekolah-sekolah umum lainnya. Ane ingin anak-anak madrasah ini memiliki rasa percaya diri, bahwa mereka mampu meraih masa depan yang lebih baik, sama seperti anak-anak lainnya.”
“Pak! Pak Zaky....” Wajah Aep menyumbul dari balik anak tangga. “Kata Pak Asep Dadan pertunjukannya dimulai saja, sudah jam sepuluh Pak.”
Aku menarik handphone dari dalam saku celana, jam sepuluh ternyata tak terasa.
“Ayo Brad, kita mulai pertunjukannya, kasihan yang sudah nunggu dari tadi,” ujar Samsul mencoba mengembalikan semangatku.
Pintu ruang pertunjukan ditutup, lampu ruangan masih tetap menyala. Aku bisa melihat sekitar lima belas orang penonton berwajah cemas karena pertunjukan belum juga dimulai.
Aku memberi kode pada Bu Rara untuk membuka pertunjukan, ia guru Bahasa Inggris di madrasah kami yang bersedia bertindak sebagai MC. Sehari-hari gaya bicara Bu Rara selalu riang gembira mirip anak TK.
Dengan wajah berseri-seri ia membuka acara diiringi semangat menggebu-gebu. Bu Rara memang punya kemampuan membangun kecerian di sekitarnya, itulah alasanku memintanya menjadi MC.
“Assalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh! Selammmaaatt paagggiii semmuaaaaaaaaa!!!!!” Suara Bu Rara meyentak penonton yang hadir, mereka tampak terkejut-kejut, makhluk apakah gerangan yang ada di hadapan mereka?? Tapi itu adalah cara terbaik untuk memecah suasana yang kaku.
Selanjutnya Bu Rara nyerocos bak kereta cepat. Menceritakan sejarah singkat madrasah, dan pertunjukan apa saja yang akan kami gelar saat ini. Dengan sesekali melempar humor yang membuat penonton tertawa.
Selanjutnya acara pembukaan menampilkan pembacaan ayat suci Al-Qur’an beserta terjemahannya, yang dibacakan oleh Azhari dan Pipit. Semua orang tertegun mendengar lantunan suara dari kedua murid kami yang penuh kekhusyuan.
Setelah selesai, Bu Rara kembali menancap gas.
“Okeeyy!! Kakak tahu kalian sudah tidak sabar lagi ke acara utama, iya kann??” Suara Bu Rara menggema ke seluruh ruangan. “Baiklah! Kita sambut dengan meriah pertunjukan seni THE MIFTAAHHH SHHOOOWWW!!”
Beberapa tepuk pun tangan terdengar menyambut. Aku, Samsul dan murid-murid madrasah sudah berada di belakang panggung yang terhalang layar penutup kain hitam.
Pertunjukan pertama dimulai oleh grup nasyid. Azhari sang vokalis, dapat membangun komunikasi dengan penonton, pengalamannya manggung ke mana-mana telah memberinya kematangan bagaimana membangun suasana.
Mereka mambawakan dua buah lagu yakni “Sholatun” dan “Ya Rasulullah”. Alat pukul mulai dimainkan, perlahan bersahut-sahutan. Kemudian mendadak kompak, lantang seirama. Jujur saja aku cukup tekejut, permainan mereka terdengar sangat padu, seakan mereka telah lama bermain sebagai sebuah grup.
Tanpa sadar penonton ikut bernyanyi dan bershalawat bersama, melantunkan puja puji kepada Sang Nabi penuntun akhlak dan budi pekerti. Penampilan mereka berakhir sempurna. Para penonton memberi tepuk tangan meskipun tak cukup untuk menghasilkan kemeriahan, namun persaanku lega karena pertunjukan pertama berjalan dengan mulus.
“Penontonnya sedikit ya Pak,” ucap Ichsan yang tampil bersama grup nasyid. Ia perlahan turun ke belakang panggung disusul Acep, Syahdan, Azhari, dan Aep.
“Yang penting kalian bermain total, penampilan kalian sudah sangat bagus!” jawabku mengacungkan dua jempol.
“Lakukan yang terbaik ya Pak! Siap Acep mah, nggak ada penonton juga yang penting total!!”
“Eh Pak!” Roby yang sedang memakai peci ala kabayan tiba-tiba sedikit membuka kain hitam yang menutup jendela, memandang dari sedikit celah yang ada. “Itu kayaknya ada kerumunan orang yang masuk ke gang Pak, kayaknya mau nonton ke sini Pak!! Iya Pak! Itu mau ke sini Pak, ada banyakan!!”
Anak-anak madrasah lain bergegas mengintip dari jendela, sementara aku langsung berlari membuka pintu pertunjukan dan melangkah ke luar.
Di balik pagar madrasah, kerumunan pelajar dari sekolah lain tampak berkumpul dengan senyum malu-malu. Mereka terlihat bingung untuk masuk, mungkin karena tidak yakin apakah sudah sampai di sekolah yang tepat, tempat pertunjukan seni berlangsung.
Ada keheranan yang jelas tergambar di wajah mereka melihat bangunan dan halaman madrasah yang sangat sempit, berbeda dari sekolah pada umumnya.
“Ayo masuk! Jangan malu-malu, pertunjukannya sudah dimulai. Ayo sini!” panggilku dengan senyuman paling lebar, berusaha meyakinkan bahwa mereka tidak salah alamat.
Berbondong-bondong mereka semua masuk ke halaman madrasah. Hatiku langsung berbunga-bunga, seakan melihat hujan turun di musim kemarau panjang!!
Satu persatu penonton yang tak disangka-sangka itu masuk ke dalam ruangan. Tepuk tangan terdengar menyambut mereka, bukan dari penonton lain melainkan dari anak-anak madrasah yang sedang bersiap di belakang panggung. Kegembiraan tidak sanggup mereka sembunyikan. Suasana tiba-tiba berubah, penonton memenuhi ruangan!!
Aku kembali masuk ke balik layar belakang panggung. Anak-anak melompat-lompat penuh kegirangan.