Selamat datang, 62!

V.N.Lietha / Vica Lietha
Chapter #2

PROLOG

Minggu, 1 Juli 1962

Depan Patung Selamat Datang, Jakarta

Pukul 10.30 WIB

*Patung selamat datang, dok. kumparan.com

Pagi ini cerah. Beda dari biasanya. Arini seorang gadis belia berdiri tegak pandangi Patung Selamat Datang tepat di bagian bawahnya. Megah sekali Patung Selamat Datang. Katanya patung ini untuk sambut tamu-tamu dari negara-negara asia yang akan bertanding di Asian Games ke empat bulan depan. Maka dari itu patungnya hadap arah utara. Biar nanti dari arah Bandar Udara Kemayoran yang ada di sebelah utara Jakarta, para tamu dari negara-negara asia datang langsung disambut sama patung yang bentuknya gambarkan satu laki-laki dan satu patung wanita sama-sama angkat tangan sambil senyum lebar riang gembira.

Arini si gadis kini tengah berdiri tepat di bawah patung selamat datang buat tiru gaya patungnya. Angkat satu tangan dia. Senyum wajahnya. Usaha keras dia biar bisa pura-pura sambut tamu yang datang. Tapi dipikir-pikir senyumnya masih terpaksa. Masih belum ikhlas senyumnya. Si gadis turunkan dulu tangannya. Kemudian coba ulang angkat satu tangan sambil hadapi patungnya lagi. Kini tersenyum dia lebih lebar. Rasanya usahanya kini lebih baik dari tadi.

Sebagai gadis baru masuk umur tujuh belas tahun, Arini bisa rasakan jenjang pendidikan cukup tinggi. Sudah kelas tiga SMA dia. Tinggi sekali dia enyam pendidikan buat ukuran seorang gadis. Teman-temannya banyak yang hanya sampai tingkat SD atau SMP sudah berhenti sekolah. Arini tidak demikian. Selain dia memang keras kemauannya, Arini adalah anak seorang guru. Bapaknya guru di sebuah SMA Negeri Jakarta. Mengajar ilmu pasti bapaknya. Prinsip bapaknya beda dengan kebanyakan orang. Bapak Arini ingin si anak dapat pendidikan tinggi. Walaupun Arini wanita, tak salah diberikan pendidikan tinggi sama seperti kaum laki-laki.

Arini merasa beruntung dapat seorang bapak dengan keteguhan prinsip tanpa kompromi namun terbuka pikirannya. Luas wawasannya. Apalagi ibunya juga bukan wanita biasa. Ibunya seorang wanita asli Belanda. Dulu ibunya berasal dari keluarga pejabat Belanda di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, kebanyakan keluarga ibunya pulang kampung ke Belanda, kecuali Ibu Arini. Beliau tak ikut pulang karena dapat jodoh di Jakarta dan menikah, lantas punya anak semata wayang, Arini ini orangnya.

Karena punya ibu 'londo' dan bapak seorang pribumi buat tampilan fisik Arini sangat cantik. Rambutnya berwarna kemerahan dan panjang sampai tutupi punggungnya. Hidungnya mancung. Matanya tajam. Bibirnya penuh menawan. Waktu dia sedang angkat tangan sambil senyum tiru Patung Selamat Datang, banyak orang di jalan pandangi dia. Apalagi pagi ini si gadis pakai pakaian kemeja tangan pendek warna merah muda yang balut pas badannya dan rok warna senada. Sebagian besar orang yang lihat dia berdiri di bawah patung berlokasi di depan Hotel Indonesia yang masih dibangun, barangkali bingung lihat kelakuan seorang gadis masih belia tiru-tiru patung. Sedangkan sebagian orang lainnya barangkali terpesona pada kecantikan Arini yang alamiah menawan. Mereka takjub di Jakarta ada anak gadis secantik dia dengan tampilan 'londo' sedang berdiri di sana pakai baju warna merah muda.

Akan tetapi dia yang sedang dipandangi tampak kurang peduli dengan pendapat orang disekitar tentangnya. Arini tetap saja pada tujuan kedatangannya kesini. Dia ingin lihat Patung Selamat Datang kemudian tiru gayanya. Sudah lama Arini impikan itu. Bahkan barangkali sejak pertama kali Patung Selamat dDatang mulai dibangun bulan Agustus tahun 1961, satu tahun lalu, Arini sudah bayangkan akan bisa lihat langsung patung ini, lantas berdiri di bawahnya untuk ikuti gayanya.

Bahkan sebenarnya niat Arini tiru-tiru bukan hanya gaya patungnya saja. Arini memang impikan bahwa dialah nantinya yang akan berdiri sambut tamu-tamu dari negara-negara Asia. Dia bayangkan bisa bicara sama orang dari Korea, Jepang, Filiphina, Malaysia, India, dari Arab, dan negara asia lainnya. Arini ingin kenalan sama mereka. Ingin berbagi pengalaman. Sebagai anak gadis memang dia punya cita-cita tinggi sekali. Beda sekali sama kebanyakan anak gadis seusianya yang kebanyakan sudah diberi tahu orang tuanya kalau tugas anak gadis itu nanti hanya urus suami atau rumah saja. Anak gadis seusia Arini tidak diberi cita-cita muluk-muluk. Karena bagi sebagian orang dewasa peran wanita hanya sebatas di dapur dan tempat tidur saja.

Lihat selengkapnya