Rabu, 4 Juli 1962
Sebuah sekolah SMA negeri di Jakarta
Pukul 07.00 WIB
Lonceng sekolah sudah berdentang. Murid-murid mulai jalan keluar dari kelas ke halaman sekolah. Mereka yang terlambat masuk ditahan oleh dua orang guru di depan gerbang. Ditanya satu-satu mereka. Di depan ada tujuh orang murid datang terlambat. Guru yang jaga di gerbang satu orang rambutnya sudah putih semua. Satunya lagi pakai kacamata tebal warna hitam.
Guru yang rambutnya putih semua salah satu guru senior. Paling tua usianya. Tahun depan pensiun beliau. Pak guru tua berdiri tegak. Kurus tubuhnya. Rapih bajunya. Atasan bajunya kemeja putih lengan pendek. Pada sakunya ada satu pena buat kasih nilai ke muridnya. Di bawah, bapak guru pakai celana kain warna cokelat. Sepatunya juga warna cokelat. Pak guru tua bertanya pada murid pertama yang datang terlambat. Tegas suaranya, “kenapa kau terlambat, Solihin?”
Murid yang ditanya keringat dingin. Takut dia. Tunduk kepalanya pandang tanah, atau barangkali lihat semut yang baris di bawah cari remah-remah nasi. Murid yang ditanya namanya Solihin. Kurus sekali badannya. Tulangnya sampai buat tonjolan di pipi. Baju putih-putih seragam SMA yang Solihin pakai makin perlihatkan tubuh cekingnya. Ditanya dengan nada tegas sama bapak guru tua gemetar dia. Takut-takut Solihin jawab, “tadi saya antarkan es batu dulu, Pak Guru, ke warung Bu Bibah.”
Jawaban Solihin belum cukup puaskan bapak guru tua. Maju bapak guru itu agar berdiri lebih dekat. Tangan kanannya naik ke arah telinganya Solihin, lantas beliau jewer telinga muridnya sampai Solihin pikir rasanya mau copot telinga itu. “Kau jangan banyak alasan! kau ini anak sekolah. Harus pintar kau atur waktu. Jangan jadikan perintah orang tua sebagai alasan. Kalau kau cermat, waktu antar es batu pun bisa kau atur supaya bantu kau tiba tepat waktu di sekolah ini!"
Murid yang dijewer tampak giginya dari balik bibir. Beradu tegang gigi itu tahan sakit. Tampak nyeri wajahnya. Telinga dipelintir seperti buat seluruh badannya juga ikut terpelintir. Sambil nyengir nyeri dia jawab, “Iya, Pak Guru. Maaf, Pak Guru. Maaf,” jawab si murid sambil tambah tundukkan kepala.
“Kau tahu salahmu?”
“Tahu, Pak Guru.”
Dengar jawaban Solihin, pak guru tua maklum. Dilepas jewerannya di kuping. Disuruh masuk Solihin. Bapak guru tua lalu keluarkan pena sambil ambil lembar catatan dari bapak guru lain yang berkacamata tebal di sampingnya. Ditulisnya nama Solihin sebagai murid kategori datang terlambat.
Masih ada enam orang murid lain datang terlambat. Giliran bapak guru kacamata tebal yang sambut anak-anak telat ini. Ditanya mereka satu-satu. Dibentak-bentak kalau alasan tak jelas. Setelahnya bapak guru tua dan bapak guru kacamata akan suruh masuk murid-murid datang terlambat tadi agar bergabung sama teman-temannya yang sudah berbaris rapih di halaman sekolah.
Di antara para murid SMA negeri yang rajin dan sudah berdiri rapih, Arini salah satunya. Si gadis cantik bergabung bersama murid lain bentuk barisan rapih per kelas. Arini murid kelas tiga jurusan ilmu sosial. Jurusan ilmu sosial baru ada di kurikulum pendidikan baru tahun 1961 kemarin. Sebelumnya jurusan SMA hanya ada tiga yaitu jurusan A, B, dan C. Kini sesuai kurikulum pemerintah, sejak kelas dua para murid diarahkan masuk empat jurusan. Ada jurusan ilmu sosial seperti Arini. Ada jurusan ilmu pasti, budaya, dan ilmu pengetahuan alam. Pilihan Arini di ilmu sosial sedikit beda sama bapaknya yang ahli ilmu pasti. Rupanya sebagai seorang anak, Arini lebih pilih masuk jurusan yang beda sama bapaknya karena anggap lebih kuasai ilmu sosial.
Pilihan si gadis cantik ini memang benar. Nilainya bagus-bagus sejak masuk jurusan ilmu sosial. Dan di rumah dia makin giat belajar. Hal ini dikarenakan anak-anak kelas tiga jurusan ilmu sosial rajin-rajin orangnya. Selalu tepat waktu mereka, juga rapih bajunya. Teman-teman Arini seolah ingin bersaing sama anak-anak dari jurusan berbeda dalam berbagai hal termasuk nilai pelajaran. Arini yang tumbuh sebagai remaja dalam suasana persaingan sehat di lingkungan sekolahnya, tumbuh sebagai murid wanita dengan sifat gemar berkompetisi. Suka bersaing dia. Apalagi dalam hal prestasi sekolah dan juga cabang olahraga, dia suka berlomba-lomba supaya jadi yang terbaik.
Watak Arini yang suka bersaing ini tidak main-main. Semuanya dimulai ketika Arini belajar dari sosok idola bernama Herawati Diah. Wanita Indonesia. Wartawati. Herawati Diah bisa sekolah tinggi sekali sampai Jepang dan Amerika. Arini pelajari baik-baik sosok idolanya dan dia tahu beliau punya koran Bahasa Inggris yang judulnya The Indonesian Observer, koran hebat berbahasa Inggris yang pertama kali dibagikan saat Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Arini ingin ikuti jejaknya Herawati Diah. Dia ingin bisa sekolah jurusan sosiologi sampai ke Barnard College di New York, Amerika.
Inilah sebabnya Arini sungguh-sungguh belajar, bukan hanya agar bisa bersaing sama teman-temannya, namun juga demi masa depannya. Barangkali, pikirnya semua masa depan yang indah bisa diawali dari pendidikan, dan Arini sangat percaya bahwa pendidikan adalah cara yang bisa buat orang berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan orang lain.
Hanya saja semua cita-citanya bisa terwujud atau tidak ditentukan sekarang. Hari ini juga, yaitu dari keseriusan si gadis ikuti kegiatan belajar di sekolah, termasuk dalam upacara pagi yang diadakan selalu di halaman sekolahnya sebelum masuk ke kelas. Sebagaimana biasa setiap pagi seluruh murid berkumpul di halaman sebelum masuk kelas. Para murid pakai baju seragam yang sama berwarna putih-putih. Bagi murid wanita atasannya kemeja putih lengan pendek berkerah. Bawahannya rok panjang sampai di bawah lutut. Ada garis-garis lurus di bagian atas roknya. Bahan kainnya harus disetrika lama. Kalau tidak, lecek bentuknya. Kurang sedap dipandang mata. Arini perlu waktu lebih dari satu jam buat setrika roknya saja di rumah. Apabila ditambah bajunya, lama waktu haluskan seragam sekolah setiap hari bisa lebih dari satu jam tiga puluh menit.