Selamat datang, 62!

V.N.Lietha / Vica Lietha
Chapter #4

BAB 2. JAKA: UANG

Kamis, 5 Juli 1962

Sebuah rumah di Rawamangun, Jakarta

Pukul 21.00 WIB

Jaka seorang anak SMA Negeri baru pulang ke rumah malam. Dua bulan lalu Jaka baru masuk tujuh belas tahun usianya. Dia masuk jurusan ilmu pasti. Jaka pulang malam karena tadi bantu jual koran sore Sinar Harapan di dekat Pangkalan Udara Halim. Hasilnya lumayan. Jaka bisa dapat tambahan uang untuk beli buku atau tambah-tambah bayar spp sekolah. Sebagai seorang pemuda, Jaka merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Jaka anak yang lahir pertengahan. Tiga dari saudara kandungnya adalah laki-laki, yang tiga lagi wanita.

Adiknya laki-laki semua, sedangkan kakaknya perempuan semua. Satu orang kakak wanitanya sudah nikah dan ikut suaminya ke daerah Wonosobo. Dua orang kakaknya yang lain masih tinggal bersama orang tuanya. Mereka belum nikah. Jadi di rumah kecil bergaya khas betawi di bilangan Rawamangun, Jaka hidup bersama bapak, ibunya dan lima orang saudara kandungnya. Ketiga adiknya masih kecil-kecil, yang paling bungsu berusia dua tahun. Pengais bungsunya baru empat tahun. Sedangkan adik persis di bawah Jaka baru berusia dua belas tahun.

  Dengan jumlah anggota keluarga yang banyak buat rumah kecil Jaka jadi terlihat sumpek. Rumah Jaka bercat warna putih. Luas rumah beserta halamannya sebesar 250 meter persegi. Bangunannya sederhana. Dipan dari bambu hadir di halaman rumah buat ngobrol santai berikut hiasan lampu gantung kerek serta meja anyaman warna cokelat biasa dipakai untuk letakkan kopi dan gorengan. Masuk ke dalam rumah terdapat satu meja lebar bentuk kotak di tengah ruang keluarga ditemani empat buah kursi kecil warna hijau buat tambah nyaman. Di sebelahnya ada radio tabung warna cokelat.

*Radio tabung, Dok.Gramho.com

Malam ini, seperti biasa setelah pulang ke rumah, Jaka sebenarnya ingin sekali dengar radio. Sayangnya waktu dia masuk rumah. Bapak ibunya dan kakak-kakak serta adik-adiknya masih belum tertidur. Mereka berkumpul di ruang tamu. Bapak, ibu dan dua kakak Jaka duduk di empat kursi kecil. Adik-adiknya lesehan saja di lantai rumah. Mereka tampak bicarakan sesuatu. Jaka masuk rumah lalu cium tangan pada kedua orang tuanya dan dua kakaknya. Habis itu adik-adiknya yang hampiri Jaka buat gantian cium tangannya.

Di antara seluruh anggota keluarganya, ibunya lah yang pertama kali sapa Jaka. “Malam sekali kau pulang, Nak?” kata ibunya. ibu Jaka berbadan gemuk. Kulitnya kecoklatan seperti kebanyakan wanita pribumi. Beliau sudah masuk usia akhir empat puluh. Badan beliau gemuk karena belum pulih dari kondisi melahirkan si bungsu dua tahun lalu.

 “Iya, Bu. Tadi Jaka bantu jual koran sore di Halim,” Jaka jawab sopan pertanyaan ibunya.

“Sudah makan belum? ada nasi di meja makan. Lauknya pun masih ada tahu sama tempe dan sayur terong,“ ibunya bangkit dari kursi buat ambilkan Jaka makan.

Jaka sadar ibunya mau siapkan dia makan. Jaka cepat bilang ke ibunya, “nanti biar Jaka ambil sendiri, Bu. Sudah, Ibu duduk saja.”

Dengar perkataan Jaka, ibunya duduk kembali.

Bapak Jaka yang duduk di samping ibunya kemudian bicara, “Nak, duduklah ada hal yang ingin kami bicarakan!” bapak Jaka kerja di bengkel. Usianya lebih tua dari ibunya, bapak Jaka sudah masuk usia 52 tahun. Kulitnya kehitaman karena biasa kerja keras. Apa saja barangkali bisa dikerjakan oleh bapaknya. Mulai dari bantu betulkan mobil sampai radio tabung. Pokoknya bagi bapaknya Jaka, setiap hari harus ada yang dikerjakannya. Supaya semua keluarganya di rumah bisa tetap makan.

Dengar perintah dari beliau, Jaka anggukkan kepala patuh. Duduk dia di lantai sambil gantian pangku adik bungsu laki-lakinya. Setelahnya Jaka diam sepenuhnya. Ia patuh saja tunggu bapaknya bicara. Bapaknya memang tengah ambil gelas kopi di meja kemudian minum seteguk, lalu beliau ambil rokok sebatang, bakar macis , kemudian mulai hisap rokok dan hembuskan pelan-pelan.

Baru setelah beberapa hembusan asap rokok tergambar jelas di udara, bapaknya bicara, “Nak, kami sulit untuk biayai sekolah kau lagi tahun ini!”  

Jaka lihat bapaknya bicara. Dia dengarkan perkataannya. Sebagai anak Jaka paham. Jaka tunggu mau bicara lagi tidak bapaknya. Hanya setelah Jaka yakin bapaknya sudah cukup bicaranya, dia baru berani berkata dengan pelan, “tidak apa-apa, Pak. Sebenarnya Bapak tak usah bingung biayai sekolah saya1. Saya jualan koran setiap sore saja kelihatannya sudah cukup buat bayar sekolah.”

Ibunya yang duduk pandangi anaknya ikut nimbrung bicara, “kau tidak kewalahan, Nak? Pagi sekolah sampai sore. Setelahnya kau jualan koran?”

“Jaka bisa bagi waktu kok, Bu.”

Kedua kakak wanita Jaka hanya diam dengar obrolan antara orang tua dan anak perjakanya. Mereka belum berani ikut nimbrung bicara. Mereka simak saja pembicaraan ini sambil sesekali ambil kacang rebus yang ada di atas meja untuk dimakan.

Jaka kemudian lanjut berkata masih dengan sopan santun seperti sebelumnya, “jadi Bapak sama Ibu gak usah bingung. Jaka sendiri akan coba cari uang buat bantu Bapak sama ibu.”

Lihat selengkapnya