Minggu, 5 Agustus 1962
Toko Sepatu Tjia, Pasar Senen, Jakarta
Pukul 15.00 WIB
Sudut mentari mulai tampak tekuk ke sebelah barat, tampakkan swastamita cemerlang, semburat cahayanya jingga dengan sedikit bercak-bercak putih. Sebagian remaja barangkali sedang istirahat di rumah kala jelang senja, tapi Arini beda. Si gadis cantik justru semangat sekali. Jantungnya berdebar kencang seperti mau lompat keluar. Kepalanya bulak-balik toleh ke kiri kanan cari sesuatu.
Sore ini Arini pakai gaun katun hitam panjang motif polkadot putih bertangan buntung yang dia lapisi dengan kaus hitam tangan panjang di bagian dalam. Gaun panjangnya bagai lambai-lambai tertiup angin sembari kagumi kecantikannya yang teramat kentara dengan rambut berponinya yang dibiarkan tergerai sebatas alis buat tambah cantik tampilan wajahnya. Sekarang Arini memang tengah kagumi dandanan Ibu Nurjanah, gurunya, dan dia ikuti gaya rambut juga busananya.
*Busana tahun 60an. Dok.filmcomment.com
Rasanya Arini tepat dandan demikian cantik tiru gurunya karena dia memang ingin lihat pembukaan Hotel Indonesia. Penasaran dia. Sebulan lalu dia baru dari sana. Bukan di Hotel Indonesianya secara langsung, tapi di Patung Selamat Datang tepat sebelah depannya. Arini heran demikian cepat hotel bintang lima ini selesai dibangun. Penasaran dia dibuatnya. Sore ini dia ingin lihat secara langsung kemegahan hotel yang kalau dia lihat dari jauh bentuknya seperti bentuk formasi huruf T yang indah dan bakalan diresmikan oleh Presiden Soekarno.
Hanya saja sebelum berangkat ke sana, ada sebuah misi dulu yang harus diselesaikan. Misi di pundak Arini bukan main-main. Dia ditugaskan oleh gurunya buat beli sepatu. Tepatnya sepatu voli buat dia dan teman-temannya yang sebentar lagi akan lawan tim nasional. Untuk misi ini Arini tidak mau selesaikan sendirian. Jadi tengak-tengok dia di belantara keramaian Pasar Senen, buat cari Halimah si hidung bertahi lalat manis yang sudah janjian ketemu dengannya di depan Toko Sepatu Tjia.
*Toko Tjia, pasar senen tempo dulu. Dok.i.pinimg.com
Sekarang Arini sudah berada di depan Toko Sepatu Tjia. Toko Tjia berdiri indah di antara toko-toko kecil sederhana yang berjajar di sepanjang jalan dengan terpal terpasang di bahu jalan yang digunakan untuk jajakan sebagian dagangan. Hampir seluruh bangunan toko yang Arini pandang adalah toko yang banyak didatangi orang. Mereka jadikan toko-toko di Pasar Senen sebagai tempat cari bahan kebutuhan sehari-hari.
Termasuk dalam hal ini adalah sepatu. Toko Tjia tenar sebagai penjual sepatu kualitas wahid. Makanya di depan tokonya orang hilir mudik keluar masuk. Ada yang jalan kaki. Ada yang naik sepeda ontel, becak dan juga mobil pribadi, trem, atau angkutan kota. Masalahnya di antara semua pilihan kendaraan tadi entah naik apa si Halimah. Kenapa pula dia belum muncul batang hidungnya, padahal sekarang sudah lebih dari jam tiga sore. Kalau terus seperti ini bisa sakit leher Arini karena lelah tolah-toleh cari kawannya yang tak jua datang. Untunglah di saat kesabaran Arini sudah hampir habis, Halimah sahabatnya tiba di depan toko sepatu Tjia dan langsung sapa Arini, “hai, Rin!” sapa Halimah. Sore ini dia pakai baju rapih, sebuah gaun biru lengan pendek berkerah dengan pinggang yang dibalut sabuk berwarna putih.
*Busana wanita tahun 60an. Dok.bp-guide.id
“Dari mana saja, Kau? sudah jam berapa ini?” Arini sambut Halimah dengan kesal.
Kawannya kasih jawaban polos, “ah, maaf, maaf, maaf,” jawabnya sambil minta maaf namun cengengesan dengan gigi terlihat.
Geleng-geleng kepala Arini. “Kau jangan cengangas-cengenges seperti orang bodoh begitu, Halimah! kau bisa bikin kita berdua terlambat, tahu!” nada kalimat barusan disampaikan Arini lebih tinggi dari biasanya.
Dengar Arini kesal, Halimah hanya cengengesan lagi. Kini sambil garuk-garuk kepalanya kemudian bilang, “maaf, ya!” Halimah mesem saja sambil terus sampaikan permohonan maaf.
Bila diteruskan obrolan ini akan benar-benar terlambat mereka. Untung Arini cepat sadar. Ia berkata, “sudah kita bahas nanti saja tentang kenapa kau terlambat! ayo kita masuk ke toko, kita punya tugas cari sepatu dari bapak guru!”
Cepat Arini genggam tangan Halimah agar mereka berdua segera masuk ke dalam toko sepatu Tjia yang letaknya tepat di sebelah toko sepatu bata. Sebagaimana layaknya tempat jual sepatu, di dalam toko, Arini dan Halimah segera disambut oleh berbagai sepatu dengan bermacam model. Ada sepatu untuk bapak-bapak dan ibu-ibu. Ada juga untuk anak muda. Bahkan ada juga untuk anak kecil. Berbagai sepatu tadi tentu bangkitkan minat Arini dan Halimah untuk milikinya. Apalagi mereka masih muda usianya. Masih ingin bergaya mereka, baik di sekolah maupun di lingkungan pertemanan. Sayangnya mereka datang ke sini bukan buat pilih-pilih sepatu yang diinginkan.
Mereka datang ke sini buat jalankan misi dari gurunya untuk belikan sepatu anggota tim volinya. Misinya adalah ke toko Tjia, bilang sama penjualnya, seorang kokoh tua bahwa Arini dan Halimah dikirim ke sini oleh Pak Gintoro. Sudah itu saja. Jadi misi Arini dan Halimah hanya sampaikan amanat saja. Soal bentuk dan ukuran sepatu urusan yang punya. Mereka hanya perlu terus laju lurus ke meja kasir buat temui Pak Tjia, pemilik toko yang diminta temui oleh pelatih voli sekaligus guru olahraga mereka.
Pak Tjia adalah pria pengalaman. Rambut di sampingnya sudah putih semua. Di tengah rambutnya sudah hilang. Botak karena dimakan usia. Pak Tjia pakai kacamata tebal buat bantu beliau jalankan usaha sepatu di Pasar Senen. Arini dan Halimah kini hampiri beliau di kasir lalu beri salam hormat kemudian sampaikan pesan dari Pak Gintoro. Arinilah yang bicara, “Koh, kami diutus guru kami, Pak Gintoro, buat temui Kokoh. Kami disuruh beli sepatu voli.”
Pak Tjia yang diajak bicara simak Arini baik-baik. Beliau anggukkan kepala tanpa harus kasih jawaban. Tangannya tunjuk dua buah kursi yang ada di dekat kasir, tampaknya suruh agar Arini dan Halimah tunggu dulu sebentar. Arini awalnya tak paham isyarat ini. Apalagi saat Pak Tjia malah hilang ke ruangan di balik kasirnya, tambah bingung si gadis cantik. Tapi Halimah, temannya yang suka cengengesan rupanya sadar. Diajaknya Arini duduk di kursi yang ditunjuk tadi.
“Halimah, kau yakin kita disuruh duduk di sini?” Arini masih bingung.
“Iyalah,” Halimah bicara sambil senyum. “Kalau tidak kenapa Pak Tjia tunjuk kursi ini? beliau tunjuk kursi kan berarti kita disuruh duduk, Rin!”
Keduanya adalah sahabat karib. Halimah dan Arini bersama sejak kelas satu sampai sekarang. Mereka sudah sangat saling kenal. Termasuk di atas lapangan voli, apa pun pukulan kesukaan Halimah, Arini sudah hapal. Demikian pula Arini, tipe pukulan pertama apa yang disukainya Halimah , hapal dia. Sebab tosser akan bisa bangun serangan maut bila bola pertamanya sudah benar. Bila tidak, bangunan serangan Arini akan tanggung, mudah terbaca dan buruk bagi serangan tim selanjutnya.
Mungkin ini sebabnya, Pak Gintoro kirim mereka ke sini karena mereka berdua memang sudah saling paham satu sama lain. Pak Gintoro tampaknya ingin mereka ambil peran lebih di tim voli putri terkuatnya sekolah mereka, khususnya dalam pertandingan lima belas Agustus mendatang.
Pak Gintoro ingin berikan penghargaan tampaknya. Pak guru lihat sepatu Arini dan kawan-kawan sangat jelek. Sudah banyak tambalan jahitan di sana-sini. Kurang layak dipakai buat bertanding nanti. Padahal mereka adalah tim juara. Sepatunya jelek begitu. Maka Pak Gintoro rencanakan kasih mereka hadiah sepatu untuk hargai benar perjuangan mereka yang begitu tangguh selama tiga tahun terakhir.
Tapi Arini dan Halimah belum sadar sepenuhnya tentang penghargaan dari gurunya yang disampaikan secara diam-diam. Barangkali kemunculan Pak Tjia sambil bawa enam pasang sepatu dari ruangan di belakang kasir akan buat mereka sadar. Pak Tjia keluar dibantu sama orang tokonya. Dijejerkan sepatu di lantai tepat di hadapan Arini dan Halimah yang masih duduk di kursi. Sepatunya masih rapih di dalam bungkus kardus. Total enam sepatu terpajang di depan kedua anak gadis SMA yang merupakan pemain voli andalan ini.
Tanpa bicara Pak Tjia keluarkan dua sepatu dari kardus. Diserahkannya pada Arini dan Halimah. Sepatu yang sangat bagus. Warnanya jingga. Ada list putih di tengahnya. Bahannya kulit asli. Nyaman sekali dipegang. Lihat bentuknya saja sudah buat Arini dan Halimah girang bukan main.
Lihat dua anak gadis di depannya sudah sama-sama pegang sepatu, Pak Tjia lalu berkata, “Arini nomor 39, Siti nomor 37, Halimah nomor 36, Dewa nomor 38, Sumiati nomor 37, Maisaroh 38,” beliau pandangi Arini tepat di kedua bola matanya bak akuntan sedang berikan laporan keuangan lantas beliau tanya, “betul semua ukurannya?”
Arini dan Halimah tercekat. Kaget mereka penjual sepatunya tahu terlebih dahulu ukuran sepatunya. Sambil gugup Arini jawab, “betul, Pak. Bagaimana Bapak bisa tahu?”
Halimah di sampingnya sahut Arini sambil terkekeh sebagaimana biasa.
Pak Tjia tidak jawab pertanyaan Arini. Beliau malah bilang ke orang toko yang bantu angkat sepatu tadi, “siapkan plastik biar mudah dibawa sama nona-nona ini.”
Setelah ucapkan kalimat tadi Pak Tjia beranjak bangkit. Arini dan Halimah yang sedari tadi terpaku di kursi bertambah bingung. Sepasang sepatu yang tadi sempat mereka pegangi serta-merta dikembalikan ke kardusnya supaya bisa dibungkus. Barangkali belum pernah dalam hidup mereka beli sepatu secepat sekarang. Benar-benar cepat sampai tidak perlu coba barang sekali atau dua kali. Sepatu hanya diperlihatkan saja, disebutkan ukurannya, lalu dibungkus kembali.
Arini heran. Bertanyalah dia, “Koh, maaf apa kami tidak perlu coba sepatunya terlebih dahulu?”
Sejatinya hendak menuju ke kasir Pak Tjia jadi balik kanan dengarnya. Dipelototi Arini. Geleng kepala beliau. “Pasti pas di kakimu! dan pasti pas di kaki teman-temanmu yang lain! Pak Gintoro sudah kasih ukuran kaki kalian”