Kamis, 9 Agustus 1962
Gedung Radio Republik Indonesia, Jalan Merdeka Barat, Jakarta.
Pukul 19.00 WIB
*Gedung RRI tahun 1962. Dok. Arsip Negara Republik Indonesia.
Jaka apes terus belakangan ini. Dipalak dia di Metropole, dipalak pula di kawasan lLapangan Ikada. Rupanya jualan koran sudah sangat sulit di ibu kota. Masing-masing tempat sudah ada premannya. Mereka di sana cari uang. Sama seperti Jaka sebenarnya. Bedanya mereka sudah terlebih dahulu di sana dan mereka disebut preman karena ingin dapatkan uang lewat cara cepat juga halalkan segala cara. Orang yang datang kemudian, harus siap ditendang kalau berani dekati wilayah kekuasaan mereka.
Barangkali inilah sebabnya, sampai jam tujuh malam Jaka baru bisa jualan sediki koran. Bukan tidak ada yang mau beli. Tapi Jaka terus diusir dari satu tempat ke tempat lain hingga kesulitan betul jajakan korannya. Kini Jaka coba peruntungan terakhirnya malam ini. Dia mampir ke depan gedung RRI di jalan Medan Merdeka Barat. Kebetulan di depan gedung RRI terlihat cukup ramai juga.
Banyak orang lalu lalang di hadapan gedung tinggi RRI yang langsung berhadapan dengan jalan medan merdeka. Gedung RRI sangat tinggi. Bisa pegal leher Jaka lihatnya. Di atas gedung tertulis tulisan besar RRI. Di atasnya lagi terlihat menara radio yang tinggi ke angkasa. RRI punya semboyan “sekali di udara tetap di udara”. Betul sekali semboyannya sedangkan pemancar radionya saja sedemikian tingginya. Bagi Jaka keberadaan kantor pusat Radio Republik Indonesia punya kedudukan khusus di hatinya, yaitu siaran RRI selalu didengarnya bersama keluarganya hampir setiap hari.
Mungkin hanya bila radio tabungnya rusak sajalah keluarga besarnya baru jalani hari tanpa kehadiran RRI. Kalau radionya tidak bermasalah pasti mereka selalu dengar. Mulai dari warta berita, lagu-lagu terpopuler masa kini sampai sandiwara radio, semuanya jadi makanan keluarga Jaka sehari-hari. Entah bagaimana kehidupan keluarganya tanpa RRI. Demikian pikir Jaka sambil apit sekian eksemplar koran di tangan kirinya dan satu eksemplar koran tampak muka di tangan kanannya. Semoga saja di RRI Jaka bisa jualan koran tanpa ada preman ganggu dia.
Capai juga rupanya diusir terus sepanjang sore. Jaka berharap peruntungannya berubah. Dia mulai jualan koran. Sama seperti biasanya, Jaka teriak bacakan berita utama tajuk surat kabar, “Mari Bapak! mari Ibu! dibeli korannya! pemerintah akan bagikan sepuluh ribu televisi buat sambut Asian Games! pemerintah akan bagikan sepuluh ribu televisi buat sambut Asian Games! mari dibeli Bapak dan Ibu! Siapa tahu Bapak dan Ibu yang akan dapatkan televisinya setelah baca berita ini!”
Suara Jaka keras terlontar dari bibirnya. Berita yang dipilihnya untuk dibacakan pun pas. Orang tertarik dengarnya. Di hari-hari jelang pembukaan Asian Games tanggal 24 Agustus besok, segala hal tentangnya pasti bisa bikin orang beli korannya. Termasuk sekarang. Orang yang lalu lalang di depan RRI tertarik dengar suara keras Jaka. Didatangi oleh mereka pemuda yang bawa koran ini. Dibeli oleh mereka dagangannya, lantas mereka berlalu sambil asyik baca koran. Yang jadi daya tarik tentu kemungkinan dapat televisi gratis. Semua orang pasti ingin televisi gratis.
Rupanya dengan daya tarik pemasarannya yang unik, cukup cepat Jaka bisa jual korannya. Terhitung sampai detik ini baru jalan lima belas menit saja dari pertama kali jualan di wilayah RRI, koran di tangannya sudah terjual dua puluh eksemplar. Sisa lima koran lagi. Orang di depan RRI tertarik ingin dapat televisi rupanya. Jaka senang lihatnya, semakin semangat dia. Coba dia lirak-lirik ke seluruh penjuru jalan, siapa tahu ada lagi yang mau beli korannya.
Sayangnya sementara jalanan sepi. Hanya ada bapak dan ibu berlalu naik becak dan sepeda ontel di sekitaran jalan medan merdeka barat. Jaka coba tawarkan pada mereka. Akan tetapi kebanyakan dari mereka tidak tertarik. Mereka duduk saja di becak atau ontelnya sambil pandangi jalan lurus di depannya. Dan tepat pada saat itulah dari dalam RRI keluar seorang laki-laki hampiri Jaka. Laki laki dari gedung RRI pakai topi warna cokelat. Ia jalan dekati pedagang rombong pikul kopi tidak jauh dari sana untuk pesan segelas kopi hitam, lalu duduk di salah satu bangku kayu panjang lengkap dengan rombong pikul yang dijadikan meja saji oleh pemilik dagangan untuk letakkan cangkir-cangkir kopi dan beberapa dagangan kue basah. Seruak aroma kopi hitam harum gelitik hidung Jaka. Bapak bertopi cokelat terima cangkir berisi kopinya dari si pedagang, di tiupnya beberapa kali kopi hitam sampai asap panasnya berkurang, lalu tenggak kopinya pelan-pelan.
*Pedagang rombong pikul kopi. Dok. pinterest.com
Jaka coba dekati bapak itu, tawarkan dia koran, “Mari Bapak dibeli koran sorenya! pemerintah akan bagikan sepuluh ribu televisi buat sambut Asian Games! mari dibeli Bapak! siapa tahu Bapak akan dapatkan televisinya setelah baca berita ini!”
Bapak yang sedang hirup kopi pandangi Jaka. Tertarik juga beliau rupanya. Jaka sebaliknya, dia ulangi kalimatnya tadi untuk lebih tarik minat si bapak agar beli korannya. Bapak tadi semakin amati Jaka. Dilihatnya pemuda ini baik-baik. Sekilas tatapannya pandangi koran yang ditawarkan berikut tajuk beritanya. Karena disekitarnya sepi, Jaka coba tawarkan secara sopan korannya tanpa harus berteriak seperti sebelumnya. “Mau beli korannya, Pak? siapa tahu Bapak dapat televisi.”
Dilihat tajuk berita utama oleh bapak tadi lalu ditanya Jaka, “ada berita tentang kemungkinan aku dapat televisi dari koran ini?”
Jaka berkata yakin sekali, “ada berita pemerintah akan bagikan sepuluh ribu televisi buat sambut Asian Games, Pak.”
Bapak di depannya bingung wajahnya. Terangkat satu alisnya. Beliau lanjut bilang, “bukan itu yang aku tanya. Nih dengar ya, pertanyaanku adalah apa benar ada berita tentang kemungkinan aku dapat televisi dari koran ini?”
Jaka tertegun. Ragu dia jadinya. “Mmm, tampaknya ada, Pak?”
“Tampaknya? kau belum yakin benar?”
Telan ludah si pemuda bingung. Coba jawab dia, “logikanya kan demikian, Pak? kalau pemerintah bagikan sepuluh ribu televisi, semua orang Jakarta punya peluang dapat."
Bapak di depannya anggukkan kepala. Mungkin pikirnya logika anak ini boleh juga. Beberapa saat kemudian beliau kembali bertanya, “tapi kan bisa jadi kau salah. Mungkin pemerintah sudah siapkan orang-orang yang akan terima televisi tersebut.”
“Iya, Pak. Tapi apa mungkin pemerintah masih ada waktu buat pikirkan itu? bukankah sepuluh ribu orang itu banyak, Pak? sedangkan pemerintah sudah harus pikirkan dari masalah Jembatan Semanggi sampai protes negara Israel juga Taiwan karena tidak diikutsertakan dalam Asian Games.”
Sebagai jawaban dari pendapat si pemuda barusan bapak tadi ambil gelas kopinya, kemudian dihirup sedikit. Bapak tadi pikir sebentar sebelum berkata, “lalu ada berita apalagi?” tanya bapak itu lagi, alis tebal bentuk bulan sabit di wajah kurus bapak itu terangkat sedikit.
“Berita tentang persiapan siaran percobaan Televisi Republik Indonesia, Pak. Upacara peringatan tujuh belas Agustus nanti akan ada siaran percobaan TVRI."
“Siaran pertama?”
“Bukan, Pak. Yang benar siaran percobaan pertama.”
Bapak itu kembali tertawa lebih riang dari sebelumnya.
Jaka terheran-heran dengar tawa riang bapak itu. Tidak ada berita lucu untuk ditertawakan.
“Pintar kau, ya,” seru bapak itu yang tertuju pada Jaka. “Kusuruh kau baca berita lain kau tetap bahas berita tentang televisi. Walaupun sebenarnya beda sedikit beritanya, toh tetap sama. Pintar kau, Nak!”
Jaka tersipu malu. Tunduk saja dia. Pipinya bersemu merah dapat pujian seperti ini.
“Nak, apa pendapat kau tentang pembentukan TVRI? kau senang tidak?” tanya bapak itu sambil sesap kopinya kembali.
“Bagaimana tidak senang, Pak. Ada RRI saja kami sekeluarga sudah senang apalagi ada TVRI.”
“Memang apa pendapat kau perbedaan antara RRI dan TVRI?”
“Pendapat saya perbedaannya, RRI utamakan siaran pakai suara pada pemirsanya. TVRI utamakan siaran pakai gambar.”
Bapak tadi duduk serius sekali. Beliau simak baik-baik jawaban Jaka, lalu ia tanya kembali, “kau sudah pernah lihat televisi?”