Rabu, 15 Agustus 1962
Volleyball Court, Gelora Bung Karno, Jakarta.
Pukul 14.00 WIB
*Volleyball Court Gelora Bung Karno. Dok. Antara news.
Hari yang ditunggu pun datang. Ini hari di mana tim sekolahnya Arini dapat kesempatan main lawan tim nasional voli putri. Pertandingan dilakukan di Volleyball Court, Gelora Bung Karno. Tempat yang spesial. Nanti cabang voli Asian Games akan digelar di sini. Bila diperhatikan secara seksama lokasinya ada di sebelah barat Gelora. Atau di sebelah kiri stadion utama. Di selatannya ada lapangan baseball. Dan di sebelah utaranya ada Atletic Stadium tempat berlangsungnya cabang olahraga atletik.
Saat Arini bersama kawan-kawannya serta Pak Gintoro masuk ke Gelora dengan sewa dua buah opelet, di jalan ada papan petunjuk jalan ke arah Handgame stadium. Mereka segera tuju arah sana. Di sekeliling mereka bendera-bendera negara peserta Asian Games sudah mulai berkibar di tiang-tiang yang lingkari stadion utama. Dua opelet yang dinaiki Arini bersama kawan-kawan lintasi stadion utama, mereka semua merasaan takjub sekali lihat pemandangan Gelora Bung Karno. Dalam waktu singkat mereka pun tiba di Volleyball Court.
Pengurus PBVSI yang bulan kemarin serahkan piala di kejuaraan tingkat SMA sambut mereka di depan pintu stadium. Pak Gintoro lah yang disapanya pertama kali, “selamat siang, Pak.” Pak Gintoro jawab salam beliau sambil berjabat tangan. Kemudian beliau alihkan pandangan ke Arini dan rekan-rekannya sambil sapa mereka dengan tawa lebar, “apa kabar anak-anak, kalian siap berlaga?” Tentu saja anak-anak itu segera jawab, “siaaap, Pak.” Pengurus PBVSI itu acungkan dua jempolnya dan ajak anak-anak masuk ke dalam guna lihat bagian dalam stadium khusus voli tersebut.
Di dalam Volleyball Court terdiri dari dua buah lapangan utama dikelilingi oleh tribun penonton di kedua sisinya. Masing-masing tribun dapat diisi oleh lima ratus orang sehingga secara keseluruhan ada seribu penonton akan masuki stadium dalam sekali main. Bagi cabang voli laki-laki lapangannya yang ada di sebelah kanan. Lapangan yang kiri diperuntukkan bagi cabang olahraga voli putri. Pengurus PBVSI bawa mereka ke lapangan sebelah kiri dan siapkan sepuluh bola sekaligus untuk mereka berlatih serta nanti diperuntukan saat pertandingan.
Tentu saja ketersediaan lapangan yang baik dan bola dengan kualitas nomor satu bukanlah perhatian utama Arini dan kawan-kawan dalam pertandingan kali ini. Masalah utama tim juara SMA voli putri se-Jakarta adalah lawan mereka. Lawan mereka bukan anak SMA dari sekolah lain, akan tetapi tim nasional Indonesia. Pemain bola voli putri timnas adalah yang terbaik di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tugas mereka bikin bangga negara dan rakyat Indonesia. Tugas mereka bukan main-main. Jadi pasti mereka akan sungguh-sungguh. Arini sadari kenyataan ini, dari semalam dia tidak bisa tidur pikirkan latih tanding yang akan dihadapinya.
Arini akan coba sebisanya agar penampilan tim sekolahnya nanti tidak bikin malu. Malah alih-alih bikin malu, Arini sebagai tosser ingin tim sekolahnya bisa imbangi permainan timnas. Bagi dia kata “imbangi” bukan berarti sesuatu yang terlampau di luar rasionalitas. Imbangi itu buat Arini adalah kemampuan teman-temannya berikan perlawanan terbaik dan bikin pemain timnas yang hebat-hebat pun kewalahan hadapi timnya Arini, persis sebagaimana nasihat Pak Tjia tempo hari.
Namun demikian Arini dan kawan-kawan harus hadapi dulu kegugupan mereka sendiri. Sebab bagaimana mereka tidak gugup sedangkan anak-anak ini hanya bisa terpukau saja di tengah lapangan. Kalau mau diibaratkan seperti mengalir air liur mereka saking terkesimanya. Mereka tidak berani bermimpin bisa main secara langsung di lapangan sedemikian megah. Tapi takdir sudah bawa mereka kesini. Pak Guru Gintoro yang sadari ini pertama kali. Pak Guru sedang bantu taruh tas perlengkapan mereka di pinggir lapangan ketika sadari kenyataan anak-anak didiknya segan masuk lapangan, padahal bola sudah dipersiapkan. Berdiri saja seperti patung mereka sama sekali tidak bergerak.
Sambil tahan geli perasaannya lihat kelakuan anak-anaknya, Pak Gintoro bicara, lebih lantang dari biasanya supaya mereka sadar, “Hei, mau sampai kapan kalian jadi patung di tengah lapangan? ayo kesini! kita harus latihan. Kata Pak Ridwan pengurus PBVSI, pemain tim nasional sedang dalam perjalanan kesini!”
Seperti biasanya sang guru olahraga, Pak Gintoro, berpenampilan sama seperti guru olahraga yang lain. Pak Gintoro lebih sering pakai baju olahraga daripada baju guru biasanya. Masalahnya Pak gurunya Arini ini bukan berasal dari orang yang punya uang. Jadi baju olahraganya hanya dua training yang dipakai beliau bergantian. Satu baju warnanya merah, celana trainingnya warnanya putih. Biasa dipakai di hari Senin sama Rabu. Satu set lagi bajunya warnanya abu-abu, celananya hijau, biasa dipakai hari Selasa, Kamis sama Sabtu. Hari Jum’atnya Pak Gintoro pakai baju guru biasa seperti teman-temannya.
Tahun 62, sekarang, Pak Gintoro sudah masuk 45 tahun umurnya. Tapi beda sama guru-guru laki-laki yang biasanya sudah tampil tua di umur segitu. Pak Gintoro masih terlihat muda. Tubuhnya gempal. Dengan tinggi badan lebih pendek dari Arini, tapi posturnya tegap. Kulitnya cokelat terbakar matahari. Rambutnya tebal disisir pakai minyak jadi berkilat. Pak Gintoro tidak berkacamata. Matanya masih tajam sekali sebagai bapak guru olahraga.
Kini Pak Gintoro sadar anak-anak didiknya sedang gugup. Belum lagi bertemu lawan sudah keder sedikit mentalnya. Sudah sedikit ciut nyalinya. Beliau tidak ingin keadaan yang bisa buat rugi timnya berkelanjutan. Beliau ambil tiga buah bola voli yang diberikan Pak Ridwan dari PBVSI. Sambil berdiri tegak, pak guru lempar satu bola ke Arini terus bilang, “Rin, kau cepat ganti baju lalu pimpin teman-temanmu pemanasan! cepatlah berlatih!”
Arini yang diperintah lihat datangnya bola. Awalnya kaki si gadis rasanya tidak sanggup berjalan. Bagai tertancap ke bumi kakinya saking gugupnya. Namun lihat bola datang tertuju padanya, ditemani bunyi pantulan bola yang terdengar nyaring karena luasnya lapangan bola voli Gelora, buat Arini rasakan kesadarannya pulih secara perlahan. Kakinya mulai bisa diangkat, kegugupannya walau cuma sedikit sudah berkurang. Arini rasakan kakinya bisa bergerak. Dia sambut bola, Digenggamnya dengan kedua tangan.
Dirasakan oleh Arini permukaan bola volinya. Masih sama, tidak ada yang berubah. Sekarang coba dia lihat lapangannya. Sebenarnya toh masih sama juga. Lapangan ya sama. Mau di kampung, di sekolah, di sini, sama saja. Begitu pula tinggi netnya, sama saja. Sebenarnya tidak ada yang harus dia gugupkan. Tidak ada. Sambil terus katakan kalimat itu dalam hati, Arini tepuk bolanya. Bunyinya bergema, mantab bunyinya. Lagi Arini coba tepuk bolanya, kini lebih keras. Semakin mantab bunyinya.
Teman-temannya lihat kelakuan tosser mereka. Mereka dengar suara bola yang ditepuk. Dari awalnya lembut kemudian makin keras. Tanpa harus bicara, mereka seolah ditegur kesadarannya oleh teman mereka, Arini, bahwa mereka datang ke sini buat main voli, dan mereka semua punya bakat main voli. Rasanya belum pernah mereka senang dengar bola yang ditepuk seperti itu. Akan tetapi detik ini mereka rasakan senang. Seperti terangkat beban demikian berat dipundak mereka yang sebelumnya bikin mereka langkahkan kaki pun tak sanggup.
Waktu Arini hentikan pukulan bolanya mereka semua terdiam. Arini pelan hadapi teman-temannya, semuanya. Mereka saling bertatapan, seluruh temannya pandangi Arini. Hati mereka sudah ringan sebelumnya akibat dengar bola bergema di Gelora Bung Karno. Mental mereka yang ciut sudah naik sedikit, lihat tosser mereka berdiri gagah dengan latar belakang stadion yang megah buat tumbuh keyakinan di hati mereka masing-masing. Dan waktu Arini bicara, mereka senang sekali dengarnya, “teman-teman, bapak dari Persatuan Bola Voli Indonesia sudah kasih kita kesempatan main voli lawan tim nasional. Pak Gintoro juga belikan sepatu voli dari toko Tjia yang kita pakai sekarang.”
Arini tatap teman-temannya tepat di matanya. Sudah jadi karakternya tidak tunduk ketika bicara. Dia lihat mata temannya dengan pandangan yakin. Kemudian dia lanjutkan, “aku rasakan gugup sama seperti kalian.”
Teman-temannya anggukkan kepala.
“Keringat dinginku juga sama deras seperti kalian,” Arini tambahkan kekuatan di nada suaranya.
Lagi teman-temannya anggukkan kepala bareng. Halimah yang suka cengengesan saja, tiba-tiba jadi lebih serius dengar Arini bicara.
“Tapi kok sayang rasanya, bila rasa gugup ini khianati kepercayaan pak guru dan Pak Ridwan pada kita.”
Pak Guru Gintoro yang namanya disebut alihkan pandangannya pada murid-muridnya. Sama sekali beliau tidak berniat campuri urusan mereka. Beliau berdiri saja dalam diam sambil sedekapkan tangannya di depan dada.
Arini alihkan tatapan dari teman-temannya untuk pandangi gurunya. Dia tunduk hormat kepada gurunya. Pak Gintoro beri isyarat suruh Arini lanjutkan bicaranya, Arini pahami tanda pak gurunya. Dia balik pandangi temannya, lalu dikepalkan tangan satu ke depan dada kemudian bilang dengan nada tegas sekali. “Ayo kita bikin bangga pak guru! kita bikin bangga sekolah! kita tunjukkan kepada para pemain tim nasional siapa kita!”
Hati teman-temannya bergelora dengar perkataan Arini. Terbakar mereka. Sudah siap berjuang. Kalau perang di Hotel Yamato Surabaya tahun 45 masih terjadi, hampir bisa dipastikan satu di antara teman Arini, barangkali Maisaroh si tukang smash, akan panjat itu atap Hotel Yamato buat kasih turun bendera Belanda lalu dirobek warna birunya. Benar-benar terbakar mereka, Tterbangkitkan semangatnya, lenyap rasa gugup dan gundahnya. Segera saja mereka berganti baju dan siap bertanding.
Baju voli timnya Arini berwarna kuning di bagian atasnya, keseluruhan trainingnya biru. Mereka pakai sepatu merek Siong Vo yang dibeli di Toko Tjia tempo hari. Mereka mulai latihan. Berbagai teknik latihan dasar bola voli mereka gelar di lapangan Gelora Bung Karno. Pak Gintoro selaku pelatih sadar ada dua hal penting yang bakal terjadi setelah pertandingan lawan tim nasional sebentar lagi. Dua-duanya punya makna bagus, juga punya makna buruk. Tergantung bagaimana mereka semua ambil maknanya nanti.
Untuk makna bagusnya, Pak Gintoro sadar pengalaman anak-anaknya akan tambah pesat. Bisa latih tanding lawan tim nasional bola voli putri barangkali akan terus diomongkan oleh anak didiknya ini sepanjang umur mereka. Namun demikian ada pula makna buruknya, apabila mereka terbantai nanti habis-habisan, bisa saja mereka enggan untuk main voli lagi. Mereka bisa saja berhenti lakukan olahraga ini kalau bicara kemungkinan terburuknya.
Sebagai guru tentu saja Pak Gintoro sangat tidak inginkan hal itu yang terjadi. Tapi sebagai guru pula beliau harus perhatikan kondisi mental dari murid-muridnya. Mereka kebanyakan masih di antara tujuh belas tahun usianya. Usia gadis yang labil, masih cari jati diri. Mudah terombang-ambing dalam perkara yang tidak penting bagi orang dewasa, tapi bisa jadi seperti perkara hidup mati buat mereka. Seandainya saja mereka dibantai di pertandingan kali ini, bisa saja mental mereka yang terkena.
Setidaknya lihat bagaimana Arini bakar semangat anggota setimnya bisa bikin pak guru enyahkan dulu rasa khawatirnya. Namun ketika lihat anggota timnas datang, rasa kecut di hati pak guru kembali. Anggota timnas putri masuk dengan anggun ke dalam stadion dikawal oleh Pak Ridwan dari PBVSI dan pelatih timnas. Tinggi jangkung mereka, juga cantik-cantik. Bukan hanya tampilan baju olahraga voli merah putihnya yang bikin anggun tapi juga energi yang terpancar dari dalam diri para pemain timnas ini. Tubuh mereka pancarkan energi berupa kekuatan, kecepatan, dan ketepatan. Arini dan kawan-kawan di lapangan juga tersapu oleh energi semangatnya, berhenti latihan mereka lihat anggota timnas voli masuk ke lapangan.