Selamat datang, 62!

V.N.Lietha / Vica Lietha
Chapter #10

BAB 8. JAKA: PAWAI RAKYAT

Jumat. 17 Agustus 1962

Jakarta, Lapangan Banteng

Pukul 14.00 WIB

Lapangan Banteng. Dok.facebook @Jakarta Tempo Dulu

Suara drumbass nyaring bertalu-talu bergema di Lapangan Banteng bakda Salat Jumat. Di sampingnya tiupan terompet nan bersemangat ikut ramaikan suasana. Sesekali bunyi simbal diadu juga bikin keriuhan semakin terasa. Seluruh kemeriahan ini terjadi guna meriahkan HUT RI yang ketujuh belas tahun. Sebuah usia yang spesial. Momen ini istimewa karena satu minggu setelah HUT RI ketujuh belas, Jakarta akan gelar ajang Asian Games keempat.

Di tengah situasi istimewa nan demikian riuh hadir Jaka, seorang anak SMA jurusan ilmu pasti yang dapat kerja dari TVRI karena diberi rekomendasi oleh Bapak R. Maladi, seorang Menteri Penerangan. Pak menteri anggap Jaka perlu belajar soal televisi agar berhenti anggap televisi bisa bodohi rakyat lebih cepat daripada radio. Kebetulan rekomendasi Pak Menteri Maladi tepat, TVRI memang sedang butuh tenaga banyak untuk bantu-bantu stasiun televisi pertama di Indonesia ini bikin siaran uji cobanya. Direncanakan TVRI akan siarkan secara luas Asian Games keempat, satu minggu lagi mulai dari acara pembukaannya sampai dengan penutupannya. Namun sebelum itu TVRI lakukan dulu siaran percobaan yang dilakukan di dua tempat, satu di Istana Negara liput pidato Presiden Soekarno di HUT RI ketujuh belas. Satu lagi di Lapangan Banteng buat liput pawai rakyat.

Sebenarnya Jaka direncanakan dibina secara baik di TVRI dari sisi pikirannya. Bahkan dia direncanakan akan dijadikan salah seorang penulis beritanya karena kecerdasannya dianggap unggul oleh pak menteri. Namun situasi terkini TVRI memang perlu banyak bantuan dari mulai hal terkecil. Si pemuda diperbantukan supaya belajar teknik kamera video yang dimiliki oleh televisi pertama di Indonesia. Pekerjaannya kecil, hanya bantu angkat kamera beserta perlengkapannya, akan tetapi ini adalah hari pertamanya bekerja.

 Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan pawai rakyat setelah peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan selalu berlangsung meriah. Seluruh rakyat turun ke jalanan buat peringati momen sakral bagi Bangsa Indonesia. Mereka yang dulu berjuang lawan Belanda, Jepang, atau masih berjuang lawan pemberontakan separatis di daerah akhir-akhir ini seperti DI/TII, PRRI, Permesta dan lainnya, pahami pawai sebagai sebuah refleksi makna kemerdekaan, bahwa segala pengorbanan yang mereka berikan untuk nusa dan bangsa tidaklah sia-sia. Generasi penerus mereka yang diperjuangkan kemerdekaan hidupnya, kini bisa isi kemerdekaan dengan bebas tanpa ada pihak yang ancam mau bunuh mereka seperti dahulu.

Sedangkan bagi mereka generasi muda yang seperti Jaka yang lahir di periode tahun 45 ke atas, maka kehadiran pawai buat mereka bisa lebih hargai jasa-jasa para pahlawan. Berulang-ulang Jaka diingatkan, baik oleh kedua orang tuanya, maupun oleh gurunya agar selalu hargai jasa para pahlawan. Mereka telah berjuang korbankan segalanya demi kemerdekaan. Lantas kenapa anak-anak muda rasanya sulit sekali hargai jasa para pahlawannya? Jaka ingat pesan ini sembari duduk di samping kamera besar, kamera terbesar yang pernah Jaka lihat seumur hidupnya, guna liput suasana yang terjadi di Lapangan Banteng.

Tepat di hadapannya hadir para tentara berseragam loreng. Sebagian sudah tua kelihatannya, sebagian lagi masih muda sekali. Jaka bayangkan mereka yang sudah tua pastilah telah banyak berperang bela negara, sebaliknya mereka yang muda baru akan mulai berjuang. Kebetulan sebagai bekas penjual koran, Jaka ketahui banyak berita. Situasi pemberontakan separatis belum banyak reda di sejumlah daerah, banyak gerakan ingin pisahkan diri dari NKRI. Kehadiran tentara-tentara di depannya akan sangat penting artinya untuk jaga keutuhan bangsa.

 Akan tetapi Jaka sadar apa artinya tentara tanpa rakyat. Jadi apabila tentara penting, rakyat lebih penting. Mereka rakyat biasa yang tengah bersuka ria rayakan kemerdekaan di Lapangan Banteng adalah penentu utama perjuangan revolusi sebagaimana biasa dilontarkan oleh Pemimpin Besar Revolusi Presiden Soekarno dalam setiap pidatonya. Kini di Lapangan Banteng, negara tengah gelar hajatan besar untuk hargai seluruh komponen rakyat agar gembira rayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia dalam bentuk pawai akbar.

Pawai rakyat bolehkan semua orang lakukan beragam penampilan agar suasana meriah. Ada yang datang gunakan paduan alat-alat musik riuhkan suasana, mereka adalah anggota marching band yang berjalan dengan langkah berderap-derap. Di sekeliling mereka semua , Sang Saka Merah Putih yang berkibar di setiap tempat hadirkan semangat bergelora pada tiap insan manusia yang datang.

*Pawai dengan Marching Band. Dok.instagram @jkt.monochrome

Jaka teringat sesuatu ketika pandangi kibaran bendera pusaka. Dulu saat Jaka masih SMP, dia dengar di kursi depan rumahnya bagaimana bapaknya bicara kepada tetangganya betapa bangganya mereka ketika Bung Karno pidato di Sidang Umum PBB Tahun 60 di New York. Sebagai anak SMP tidak banyak yang dia ketahui, tapi si pemuda tidak mau hanya bertopang dagu. Dia catat baik-baik momen tersebut di kepalanya, dan pada waktu masa SMA tiba, Jaka berusaha teliti benar-benar apa yang sebenarnya terjadi di New York tahun 60 itu. Bak pucuk dicinta ulam pun tiba, Jaka dapatkan jawabannya.

Ada seorang guru ahli ilmu sejarah yang terangkan kepada dia bahwa pidato Presiden Soekarno di New York tahun 60 sangatlah monumental. Judul pidatonya “To Build The World a New”. Kata gurunya apabila dijelaskan, otaknya Jaka belum bisa cerna maknanya, tapi intisari Pidato Presiden Soekarno adalah beliau tawarkan ide baru guna tata kehidupan bangsa-bangsa di dunia dengan konsep saling hargai perbedaan satu sama lain, tanpa harus ada imperialisme atau kolonialisme model baru. Dengan otak sederhananya Jaka tetap sulit cerna apa maknanya, namun dia bikin pemahamannya sendiri, barangkali yang mereka maksud adalah tawaran agar terapkan nilai-nilai Pancasila yang sangat mulia kepada dunia.

Barangkali demikian pikir Jaka, sebab yang namanya Pancasila terbukti bisa ciptakan harmonisasi kehidupan bagi warga masyarakat yang berbeda-beda di hadapannya sehingga bisa hidup dalam satu kesatuan yang kokoh. Bagi Jaka contohnya adalah bagaimana kompaknya grup marching band mainkan musiknya. Setiap elemen dari marching band berbeda-beda alat dan fungsinya. Ada alat perkusi, ada alat tiup. Pemainnya juga beda-beda asalnya, ada yang dari Jakarta, dari Jawa, dari Batak, ada juga dari Borneo, atau dari Ambon, tapi mereka kompak saja mainkan alat riang gembira hingga merdu lagu terdengar.

Bagi mereka yang punya mata peka untuk lihat lebih jauh, kompaknya anggota marching band yang ritmis sekali gerakannya ternyata bisa pengaruhi orang-orang yang berada di sekitar mereka. Lihatlah pada saat barisan iring-iringan marching band maju, iringan masyarakat ikut berjalan maju. Mereka terdiri dari beberapa kelompok yang cukup banyak, mulai dari siswa-siswa sekolah, komunitas masyarakat, perangkat pemerintah, hingga utusan masyarakat umum yang dibagi per kelurahan dan kecamatan. Mereka semua seperti ikuti irama dari marching band yang kompak tadi dengan patuh sambil kenakan berbagai pakaian unik yang tonjolkan corak keanekaragaman Indonesia.

*Pawai Kemerdekaan tempo dulu. Dok. Arsip Nasional Republik Indonesia

Tepat ketika ada orang-orang yang kenakan pakaian unik tadi lintas di dekatnya, Jaka dengar kamerawan TVRI bicara padanya, “Jaka coba kau cari dulu stop kontak buat colok kabel ini! kabel ini berfungsi hidupkan mikrofon supaya suara bisa kita tangkap dan dengar nanti di videonya.”

Pak kamerawan tadi serahkan satu rangkaian kabel panjang kepada Jaka dengan satu ujung stekker berwarna putih. Sigap sekali Jaka ambil kabel tadi sambil jawab, “siap, Pak!”

Mau disuruh apa saja ikhlas Jaka. Dia dikasih kerjaan saja sudah senang sekali, apalagi di TVRI. Stasiun televisi pertama di Indonesia yang bakal siaran sebentar lagi. Ibaratnya mau Jaka disuruh kerja di sana hanya untuk bersihkan sampah berserakannya saja dia sudah senang. Jaka adalah seorang pribadi pemuda yang dilatih oleh bapaknya agar berpikiran sederhana. Dia sekolah tidak macam-macam. Kalau orang tuanya tidak bisa bayari lagi biaya sekolahnya, maka cari kerja dia. Jaka bukan pemuda rumit. Ditawari kerja di TVRI oleh bapak menteri, pasti diambilnya.

Kini dapat tugas colok kabel, berangkat Jaka. Semangat dia, walau dia bingung ke mana harus colok kabelnya. Lapangan Banteng sangat ramai manusia. Sayangnya sulit cari sumber listrik yang tersedia. Si pemuda coba cari ke mobil OB Van TVRI yang ada di dekatnya. Sayang sumber listriknya penuh semua. Seharusnya ada dua mobil OB Van TVRI yang bisa digunakan, hanya saja yang satu sedang tugas ke Istana Negara buat liput kegiatan Presiden.

*OB Van TVRI. Dok. Senandika.web.id

Jaka telah toleh kiri kanan coba cari kemungkinan lain. Sebagai seorang pemuda Jaka belum mau berhenti berusaha. Dia ditugaskan colok kabel, dia akan coba cari dimana sumber listriknya. Walau sesulit apa pun dia akan coba cari. Masalahnya hanya ada satu kemungkinan yang bisa dilihat oleh si pemuda, di sana, di dekat mobil mereka ada satu mobil OB Van lain yang sedang liput pawai HUT kemerdekaan, Jaka baca tulisannya tertera NHK.

Dari luar negeri tampaknya, itu mobil OB Van milik NHK. Jaka belum bisa bahasa asing sama sekali. Bahkan bodoh dia urusan bahasa asing, namun tidak ada kemungkinan lain. Barangkali hanya di mobil OB Vannya NHK Jaka bisa dapatkan sumber listrik. Sejenak maju mundur Jaka timbang baik-baik keputusannya. Dia tidak bisa bahasa asing. Lantas bagaimana cara dia bicara sama mereka. Tapi kalau tidak sama mereka sama siapa lagi? di saat seperti ini Jaka putuskan kembali kepada pikiran sederhananya. Dia harus coba bicara sama orang di mobil NHK, hanya di sana kemungkinan terbaiknya.

 Coba beranikan diri jalan Jaka ke mobil NHK yang parkir. Mobilnya tampak lebih bagus, lebih maju juga peralatan yang digunakannya. Di dekat mobil tampak ada tiga orang sedang lakukan aktifitas sama dengan kru TVRI, mereka tengah operasikan kamera abadikan peristiwa. Jaka datang bawa kabel panjang. Dia lihat tiga orang yang sedang duduk. Satu orang pakai topi warna kuning, satu orang pakai kemeja batik warna cokelat, satu orang lagi pakai kaos bertuliskan Asian Games 62 dengan bendera Jepang di atasnya. Tiga-tiganya tampaknya orang Jepang. Jaka kenal dari bendera yang melekat di baju salah seorang di antaranya dan penampilan mereka yang berkulit kuning.

Di sekeliling mereka berempat masyarakat masih padat sekali. barisan marching band dan rombongan masih keliling Lapangan Banteng. Suasana hiruk pikuk. Tiga orang Jepang kompak lihat Jaka bersama, kecuali orang pakai topi kuning yang sedang pegang kamera seperti kamerawannya TVRI, dua orang lainnya terus lihat Jaka.

Di film hitam putih tentang samurai yang pernah dilihatnya, Jaka sering lihat orang Jepang suka tundukkan kepala sebagai isyarat hormat. Berarti bagi orang sana sikap sopan santun harus diutamakan. Si pemuda dapat ilmu lalu anggukkan kepala terlebih dahulu dari mereka, tunduk dalam-dalam Jaka di hadapan mereka. Waktu Jaka angkat kepalanya lagi tampak kedua orang tadi balas penghormatannya sambil bungkukan badan.

Setelah bungkuk, tersenyum Jaka, tampak semua giginya.

Dua orang Jepang di depannya tidak tersenyum, mereka terlihat bingung tampaknya. Khususnya orang yang pakai kaos Asian Games, dia bertambah bingung lihat kabel panjang yang dibawa si pemuda. Karena lihat kedua orang yang hendak disapanya tidak tersenyum, Jaka coba bicara pakai Bahasa Indonesia, “Selamat siang, Bapak-Bapak, saya25 boleh pinjam sumber listriknya? saya perlu sumber listrik buat siaran TVRI.” Sambil berbicara, Jaka angkat satu tangan kanannya sembari tunjukkan kabel panjang warna hitam dengan stekker putih di depannya.

Orang Jepang yang pakai baju batik jawab dia. Tampangnya baik, sudah cukup berumur beliau. Coba beliau jawab Jaka dengan bahasa yang terdengar baik dan gerakan tangan. Jawaban bapak itu terdengarnya pakai bahasa Jepang.  

Jelas saja Jaka tidak paham jawabannya, namun alih-alih bingung dengar jawabannya yang beda bahasa, Jaka tersenyum lebar saja. Dia bicara lagi, “betul, Bapak. Saya perlu sumber listrik buat colok kabel. Bisa kah Bapak-Bapak dari NHK bantu saya?”

Kini giliran bapak yang pakai kaos jawab, sama jawabnya pakai Bahasa Jepang. Bapak berkaos gunakan telunjuk tangan kanannya sepertinya telunjuknya terarah ke kabelnya Jaka. Diajak bicara oleh dua orang Jepang, sama sekali tidak paham satu kata pun pemuda ini, tapi tetap penuh senyum saja dia. Kini malah maju dia bawa makin dekat kabelnya sambil tanya, “boleh, Bapak, saya pinjam sumbernya?”

Kedua orang Jepang tadi sama-sama jawab. Temannya yang pegang kamera bertopi kuning coba bantu bapak Jepang berbaju batik. Bicara juga dia, tapi sama saja, Jaka tetap saja tidak paham apa yang dibicarakan. Mereka saling bicara bahasa masing-masing selama beberapa saat sebelum akhirnya laki-laki yang berkemeja batik berdiri dari kursinya lantas antar Jaka begitu saja ke dalam mobil OB Vannya NHK. Beliau buka pintunya, di sana ada satu lubang sumber listrik yang belum terpakai. Beliau bicara Bahasa Jepang dan Jaka masukkan kabelnya ke sana. Setelah kabel masuk, tunduk-tunduk Jaka sambil senyum manis.

Bapak berkemeja batik senang tampaknya lihat Jaka tersenyum terus, murah senyum mungkin pikirnya anak ini. Diajak Jaka dekati tempat duduk mereka tadi. Mereka cuma bawa tiga kursi kecil, kurang buat Jaka. Orang yang pakai kaos mau berdiri supaya kasih Jaka tempat duduk tapi pemuda umur tujuh belas tahun itu bergerak cepat. Tangannya sentuh punggung bapak berbaju kaos sambil berkata, “jangan berdiri, Bapak, saya jongkok di sini saja!”

Tanpa tunggu orang di sebelahnya paham atau tidak ucapannya, jongkok Jaka di sebelah mereka. Tepatnya dia jongkok di samping bapak yang berkemeja batik. Lihat Jaka jongkok di dekat mereka, duduk lagi mereka bertiga dengan tenang dan berbicaralah mereka. Bapak kemeja batik pertama kali bicara panjang pakai bahasanya.

Jaka jawab, “nama saya Jaka, Pak. Saya di sini bantu-bantu kru TVRI di mobil sebelah sana itu. Kalau Bapak perlu bantuan saya, Bapak jangan ragu-ragu bilang saja ke saya!”

Habis Jaka bicara, bapak kamerawan bertopi kuning yang gantian bicara.

Jaka coba tanggapi beliau, “oya saya lihat kamera Bapak lebih bagus dari kami. Tapi jujur Pak, kamera TVRI juga bagus. Belum pernah seumur hidup saya lihat kamera sebagus punyanya TVRI. Kalau Bapak-Bapak ini petugas dari TV NHK, Pak? NHK apakah seperti TVRI di Jepang sana? rencananya TVRI, kami, akan lakukan siaran pertama di pembukaan Asian Games keempat satu minggu lagi.” Jaka bicara lancar saja, seperti mereka yang diajak bicara bisa bahasa Indonesia.

Ketiga bapak di sampingnya lihat Jaka bicara dan dengarkan baik-baik, sama sekali mereka tidak potong ucapannya. Baru ketika anak muda di samping mereka selesai bicara, bapak berkaos Asian Games tanggapi perkataannya. Jaka dengarkan Beliau baik-baik, angguk-angguk kepala dia seolah paham, padahal dia bisa saja paham, bisa saja sama sekali tidak. Jaka kemudian berikan tanggapannya. Kata Jaka, “kalau Bapak-Bapak nanti liput Asian Games juga? Bapak-Bapak kirim berapa orang atlet dari Jepang sana? pasti hebat-hebat atlet dari negara Jepang sana.”

Yang berikan jawaban bapak pakai kemeja batik. Panjang beliau cerita sampai Jaka harus potong sebentar cerita beliau. Jaka angkat kedua tangannya masih dalam posisi jongkok. Kedua tangannya ditangkupkan ke depan wajah seperti orang sedang berikan puja-puja. Sambil begitu Jaka tunduk-tunduk minta maaf lalu Jaka panggil tukang penjual kacang rebus yang lewat di depan mereka.

Jaka bilang pada ketiga orang Jepang di sampingnya, “sebentar ya, Pak, saya belikan dulu kacang rebus buat Bapak-Bapak.” Habis bicara Jaka pesan ke penjual kacang rebus yang sepantar usianya dengan Jaka. Penjual kacang rebus itu datang mendekat, “Mas, saya beli dua plastik kacang rebusnya! uang saya dari TVRI cukup buat beli dua plastik saja!”

Ketiga orang Jepang tadi rupanya bingung lihat kelakuan Jaka, mereka diam saja. Di depan mereka si penjual kacang rebusnya asyik siapkan pesanan Jaka dan kasih ke pemuda itu setelah kacang rebusnya siap. Ambil uang di kantong, Jaka bayar si penjual lalu dia bangkit dan tawarkan kacang rebusnya kepada ketiga orang Jepang. Kata Jaka, “mari, Pak, dimakan kacangnya!”

Sebenarnya, dari raut wajahnya, ketiga orang asing di depannya enggan terima tawaran Jaka. Tapi barangkali mereka merasa kurang enak tolak tawaran pemuda yang sedemikian tulusnya, jadi mereka ambil saja kacang yang ditawarkan, masing-masing satu genggam. Tersenyum lebar Jaka saksikan teman-teman barunya mau diajak makan kacang rebus. Digabungkannya kacang yang dua plastik tadi dalam satu plastik, sedang plastik kosongnya dia ambil dan si pemuda letakkan kacang rebus dalam satu plastik di depan mereka bertiga lantas kembali jongkok di samping mereka sambil buka kantong plastik kosong yang diperuntukkan buat sampah.

Dia bilang kepada ketiga bapak-bapak di sampingnya sambil kupas kacang dan buang di plastik yang dia sediakan, “enak kacang rebus Lapangan Banteng. Paling enak dimakan hangat! mari, Pak!” tangan kanan Jaka himbau sahabat-sahabat barunya agar mulai santap kacangnya. Berikutnya dia ambil sendiri kacang di tangannya dan masukkan mulut kemudian buang kulit kacangnya ke plastik.

Orang-orang Jepang suka kebersihan. Mereka cermati cara Jaka makan dan mereka sadari anak muda ini sadar kebersihan. Dia tidak buang sampah kulit kacangnya sembarangan dan mereka lihat anak ini sungguh-sungguh ajak mereka makan sampai disiapkan kantong buat sampah olehnya. Lihat kesungguhan si pemuda, mereka mulai ikut kupas kacangnya dan mulai makan. Satu per satu kacang mereka buka dan mereka makan, lalu mereka pun tenggelam dalam diskusi dua bahasa yang aneh.

Pada satu sisi orang-orang di jalan yang lihat Jaka ngobrol sama orang asing pasti pikir dia jago Bahasa Jepang. Keahlian Bahasa Jepang memang masih dimiliki oleh generasi lama yang hidup di masa pendudukan Jepang, sedangkan anak muda ini jelas lebih muda usianya daripada masa pendudukan yang hanya berumur tiga setengah tahun tersebut. Mereka yang lihat pemandangan Jaka bicara santai dengan kru NHK Jepang tentu takjub, padahal di sisi lain mereka tidak sadar empat orang berbeda bangsa di depan mereka sebenarnya sedang bicara dengan bahasa yang sama-sama tidak mereka pahami.

Lihat selengkapnya