Selamat datang, 62!

V.N.Lietha / Vica Lietha
Chapter #12

BAB 10. JAKA: EVER ONWARD

Senin, 27 Agustus 1962

Dekat Athletic Stadium Gelora Bung Karno

Pukul 14.30 WIB

*Logo Asian Games 1962. Dok.wikipedia

Jaka bawa-bawa kamera sepanjang pagi tadi, sudah tiga hari dia demikian. Sejak pembukaan Asian Games dimulai, banyak sekali tempat yang harus dia kunjungi secara bergantian karena ada berbagai cabang olahraga yang dipertandingkan di sekitaran kompleks olahraga Gelora Bung Karno. Contohnya siang ini ada final lari seratus meter putra. Wakil Indonesia M. Sarengat akan berlaga di nomor lari sprint, lokasi pertandingannya adalah di Athletic Stadium. Di sana cabang-cabang olahraga atletik dipertandingkan.

*peta Gelora Bung Karno tahun 1962. Dok.koleksi pribadi penulis.

Tidak jauh dari Athletic Stadium atau di sebelah selatannya, beberapa meter jauhnya ada Handgame Stadium, tempat yang sangat ingin Jaka kunjungi, tapi belum sempat terus dia kunjungi karena belum ada tugas liput ke sana. Di Handgame Stadium ada Volleyball Court bersebelahan dengan Baseball Stadium. Volleyball Court adalah lokasi pertandingan voli baik putra maupun putri. Jaka sangat ingin bisa saksikan Arini bertanding.

 Namun apa daya tugas belum mungkin bawa dia ke sana. Kru TVRI akan prioritaskan cabang olahraga yang akan bisa sumbang medali emas bagi Indonesia. Menurut sebagian besar mereka, kekuatan Indonesia ada di cabang bulu tangkis. Stadion tempat bulu tangkis berlaga namanya Badminton Hall, tempatnya di sebelah tenggara stadium utama atau tepat di sebelah kirinya parkir timur Gelora. Jaka berkali-kali harus liput ke sana, dan betul sekali, perkembangan atlet Indonesia sangat cerah di sana. Bisa jadi dari cabang olahraga bulu tangkis bakalan jadi lumbung medali emas nantinya.

Inilah sebabnya dari pukul delapan pagi sampai pukul sebelas siang Jaka bantu bawa kamera TVRI di Badminton Hall. Sedianya kru TVRI akan tetap di sana karena jadwal sesi kedua badminton adalah dari pukul 14.30 WIB sampai dengan maghrib. Hanya saja dari Athletic Stadium, kru TVRI peroleh informasi bahwa nanti mulai dari pukul 15.00 WIB sampai dengan pukul 18.50 WIB jelang salat isya akan ada nomor final seratus meter. Mereka harus liput ke sana, siapa tahu M. Sarengat, wakil Indonesia bisa kumandangkan lagu Indonesia Raya di Athletic Stadium. Maka berangkatlah mereka semua para kru TVRI yang sebelumnya bertugas di stadium dekat parkir timur ke arah barat yang lumayan terasa jauh jaraknya bila dilakukan sambil panggul kamera.

Jaka si pemuda saja rasakan beratnya beban itu. Benar-benar berat bawa-bawa kamera. Apalagi kabel-kabel dan tripodnya pun wajib dibawa serta ke sana kemari. Kamera yang sekarang dipanggul Jaka adalah kamera merek Auricon, kamera yang tujuannya nanti dipakai buat liput berita-berita dengan lebih mudah. Kamera ini lebih kecil ukurannya daripada kamera TVRI yang bentuknya besar dan sulit dipindah-pindah tempatkan. Bentuk Auricon lebih ramping, tripodnya atau kaki-kaki penopang kamera agar berdiri kokoh di bawah kamera, lebih mudah untuk dibawa dan dipindahkan. Namun demikian bawa kamera tidaklah semudah kelihatannya, diperlukan kehati-hatian yang ekstra dan Jaka rasakan beban terasa makin berat.

*Kamera Auricon. Dok.Museum Pendidikan Kominfo

Lintasi jalan dari parkir timur ke barat perlu perjuangan lebih, padahal Jaka hanya makan nasi bungkus lauk satu buah telur bulat tadi siang di Badminton Hall. Agak pening kepalanya ketika berjalan dan semakin pening begitu tiba di dekat kawasan Handgame Stadium. Kunang-kunang hadir di matanya yang tadinya hanya satu titik bertambah pesat sampai tutupi kedua matanya. Karena rasakan tubuhnya kehilangan kekuatan, pegangan Jaka di kamera Auricon jadi kendur. Hampir kamera lepas dari tangan akibat kakinya yang lunglai. Untungnya Jaka masih sempat sadar. Dia pegangi kuat-kuat kamera, lantas dia peluk ke dadanya bersamaan jatuhnya tubuh Jaka secara terlentang di depan Volley Court.

Kru TVRI yang bersama dia ada tiga orang, semuanya sama-sama teriak lihat Jaka jatuh. Mereka khawatirkan dua hal, yang pertama keselamatan Jaka, yang kedua keselamatan kameranya. Apabila kamera Auricon sampai rusak, bisa berantakan semua liputan Asian Games mereka yang baru masuk di hari ketiga. Namun demikian lihat Jaka mampu selamatkan kameranya buat mereka tarik nafas lega. Jaka memang jatuh dan kesakitan akan tetapi kamera selamat di dalam dekapannya.

Bapak Alex Leo salah seorang kru TVRI yang bertugas sama Jaka dan juga sebagai reporter lapangan segera lari dekati Jaka. Dengan cemas beliau tanya, “Jaka, kau tidak apa-apa?”

Jaka masih pegangi kameranya. Berdebar keras hatinya. Apabila kamera Auricon itu rusak, entah bagaimana nasibnya, sebentar dia raba kameranya baik-baik baru setelah yakin kameranya aman Jaka jawab, “kameranya aman, Pak,” jawabnya polos. “kameranya aman.” jawab Jaka lagi dengan hembusan nafas panjang sekali.

Pak Alex Leo geleng-geleng kepala. Beliau bilang, “kau tak usah pikirkan kameranya dulu. Bagaimana kondisi? kenapa kau bisa jatuh tiba-tiba begitu?”

Kunang-kunang di mata Jaka memang masih banyak sekali. Jaka jawab, “saya kunang-kunang, Pak. Pegangan saya oleng.”

Sambil panggil dua orang kru TVRI lainnya agar dekati mereka, Pak Alex Leo kasih perintah ke kedua temannya, “coba tolong kalian cari dulu yang jual teh manis. Belikan dulu satu bungkus buat Jaka! kasian dia pening kepalanya, kurang gula.”

Jaka yang diperhatikan malah tidak enak hati. Berusaha dia ucap, “Pak Alex saya baik-baik saja. Ini tolong dibantu bawa kameranya, Pak. Maafkan saya tapi dibawa saja dulu ke Athletic Stadium sekarang, karena sebentar lagi M. Sarengat akan berlaga. Saya ditinggal saja, Pak. Nanti saya susul ke sana!”

Alex Leo sadari kebenaran ucapan pemuda di depannya yang kini berusaha duduk sambil serahkan kamera ke kru TVRI. Tapi sebelumnya beliau tanya dulu, “kau benar tak apa-apa, Jaka? kau yakin mau kami tinggal di sini?”

Jaka anggukkan kepalanya. “Yakin, Pak. Saya ijin duduk di sini sebentar biar kunang-kunang di mata saya hilang dulu. Nanti saya susul ke sana.”

Walau berat hati tinggalkan anak muda ini, Alex Leo sadari memang waktu sangat terbatas di tengah mereka. Sambil tinggalkan uang 25 rupiah agar Jaka bisa beli teh manis sama nasi bungkus, Alex Leo bersama dua kru TVRI yang lain tinggalkan Jaka. Anak itu kini duduk saja sambil bersandar ke tembok di dekat Volleyball Court. Jaka alami nyeri sekali di kakinya, tampaknya kakinya terkilir dia sewaktu jatuh. Cuma dia takut bilang ke Alex Leo karena kalau bilang nanti dia bisa dilarang ikut liput Asian Games, padahal Asian Games adalah impiannya.

Maka walaupun sakit sekali, Jaka duduk saja di sana sambil tahan sakitnya, siapa tahu sakitnya bisa hilang sendiri. Sayangnya tidak demikian. Jam besar di Athletic Stadium sudah tunjukkan pukul 15.12 WIB, Jaka tetap belum bisa bangun. Kakinya yang terkilir adalah kaki sebelah kanan. Masih belum bisa digerakkan, masih nyeri. Bagaimana Jaka bisa lanjutkan perjuangan jika berdiri saja dia tidak bisa, rasanya Jaka ingin jeritkan tangis sekali. Hati Jaka terluka sangat pedih, lebih pedih dari rasa sakit di kakinya. Jangan-jangan segala perjuangannya guna bantu TVRI, demi bisa dapat uang untuk bayar sekolah berakhir begitu saja.

Tepat di saat satu butir air mata jatuh di pipinya, Jaka dengar suara seorang gadis hadir sapa dia. “Hei, kau kenapa, Jaka? kau sakit?” tanya seorang gadis.

Jaka palingkan wajahnya. Di sana Arini berdiri. Pakai baju lengan panjang tim nasional berwarna merah dengan lambang garuda tersemat di kantong sebelah kiri bajunya. “Hei, kau jawab aku kalau ditanya!” sebagaimana sebelumnya Arini goncangkan kedua bahunya dengan cengkraman yang keras. Tatapan matanya juga langsung terarah ke mata Jaka.

Jaka terguncang-guncang. Bingung mukanya namun senang sekali hatinya. Walaupun kakinya masih belum bisa bergerak, masih nyeri, bahkan lebih nyeri dari sebelumnya, kehadiran Arini di depannya sudah cukup buat hatinya berbunga-bunga.

Arini tampil dengan rambut kuncir kuda. poninya ditata lebih rapih di atas alis matanya, mirip bintang film barat Audrey Hepburn yang filmnya pernah ditonton Jaka. Pakai seragam tim nasional Arini makin bertambah cantik. Dia guncang-guncang terus si pemuda, bikin kesulitan Jaka jawab pertanyaan namun si pemuda berusaha keras, “aku baik-baik saja,” katanya sambil berusaha tegakkan duduknya.

*Audrey Hepburn, Dok. American Gallery

Arini perhatikan jawaban pemudi di depannya sambil lihat ekspresi wajah kesakitannya. Dia sadar jawaban tadi penuh dusta. Sambil bentak keras Arini bilang, “kau bohong, ya? kau terlihat sama sekali tidak baik-baik saja.”  

Jaka geleng-geleng kepala. “Tidak! aku baik-baik saja. Aku baik-baik saja.”

“Buktikan kalau kau memang baik,” Arini tantang dia. “Coba kau bangkit berdiri. Sekarang jamannya ‘berdikari’ berdiri di atas kaki sendiri! berdirilah!” sebagai seorang gadis yang biasa tanding olahraga, gadis cantik ini paham bagaimana caranya tantang seseorang agar jujur dengan dirinya sendiri.

Seakan malu lihat gadis pujaannya, Jaka berupaya bangkit. Tumpuan kakinya berusaha diperkuat. Dia berusaha bangun saja dari duduknya. Sayangnya hal itu tidak bisa dilakukannya. Rasa sakit benar-benar datang dari pergelangan kakinya di sebelah kanan, sepertinya ini bagian kakinya yang terkilir paling parah. Dari berusaha bangkit Jaka rebah lagi. Pasrah dia. Sambil gemetar dia berusaha tahan sakit di kakinya.

Kini Arini bisa lihat sendiri keadaan pemuda di depannya. Tanpa ragu dia berkata, “ayo ikut aku, kita ke pos medis dekat sini, kau harus diperiksa!”

Jaka ngeri dengarnya. Serta merta dia yang biasanya tertunduk waktu bicara sama Arini, kini tatap mata si gadis secara langsung. Arini balas dia dengan tatapan tajam sekali. Jaka gentar lihatnya, Arini bilang lebih keras, “ayo ikut aku! aku kuat bawa kau kesana!”

“Jangan! jangan!”

“Apa-apaan sih kau ini? kau cengeng sekali Jaka. Kau takut sama dokter?” Arini bingung lihat kelakuan pemuda di hadapannya.

Jaka gelengkan kepalanya berlebihan. “Tidak. Tidak. Aku tidak takut. Aku cuma,”

Lihat selengkapnya