Desa K, Oktober 1991.
Napas perempuan paruh baya itu tersengal dan sesak. Menahan amarah sekaligus ketakutan yang menyergap karena malam ini rumahnya didatangi banyak warga desa. Teriakan dan ancaman dilontarkan tanpa ampun.
"Bang Ulum! Apa yang kamu perbuat pada warga sehingga mereka kesal?" hardik Amah.
Laki-laki paruh baya bertubuh tambun itu menangis lalu memelas dengan kedua tangan ditangkup. Amah kecewa dan marah pada kakaknya yang cacat mental sejak kecil, meski Ulum sudah menggeleng sambil menangis, berkata gagap bahwa dia tidak berbuat jahat pada siapapun, Amah tidak percaya.
"Percuma menangis, Bang! Aku tidak percaya kalau kamu tidak berbuat apa-apa pada mereka. Kamu cuma jadi beban saja sejak dulu! Suamiku meninggal dunia gara-gara menolong kamu yang tidak berguna sama sekali!"
Amah tiba-tiba menarik paksa tangan kakaknya, lalu didorongnya ke dalam kamar, dan dikuncinya dari luar. Abangnya berteriak memanggil adiknya, "Aaammmah! Bbbuka! Aaammmah, jangan kunci. Waarrgaa mau bakar rumah kita, Ammah. Dengar itu, Ammmaaah!"
"Aku tidak peduli lagi sekarang!" teriak Amah.
Dia menarik tangan anak semata wayangnya yang berdiri ketakutan melihat sikap ibunya sekasar dan setega itu pada pamannya.
"Kardian, kamu ikut Ibu. Kita tinggalkan rumah ini. Rumah sialan ini! Aku tidak mau disalahkan warga atas semua kelakuan tak jelas pamanmu. Aku tidak mau tinggal di desa ini lagi. Kita pergi ke kota."
"Ibu, Mang Ulum jangan ditinggal. Kasihan dia," lirih Kardian membujuk ibunya.
"Kamu ingin melihat ibumu diamuk warga? Kamu mau kita susah terus?" kecam Amah pada anaknya.
Kardian malah menangis, akhirnya menurut. Walaupun sebenarnya hati tidak tega.