Kematian bukanlah akhir dari segalanya.
***
Bandar Lampung, Maret 2012.
Tiga hari setelah kepergian orang tertua dalam rumah besar itu. Juanda, supir, dan pelayannya, menginap sampai tujuh hari di rumah mendiang Jauhar.
Rumah mendiang kakaknya di Lampung ternyata tidak sebesar rumah di Desa K. Juanda masih belum paham, mengapa kakaknya dulu menyerahkan tanah yang luas beserta rumah lebih besar dua kali lipat kepadanya untuk dikelola. Sebagian rumah dan tanahnya adalah tambahan dari dua petak tanah milik si kakak.
Perkebunan kopi dan karet, ladang tebu, dan ladang sayur miliknya sekarang dari sebagian tanah milik kakaknya. Setahun berlalu setelah gempa di Liwa tahun 1994, perkebunan dan pertanian garapannya kembali bangkit. Dua tahun setelah itu keuntungan dari tanah garapannya kembali melesat terutama ladang tebu, dan sayuran. Tebu-tebunya dijual pada pabrik gula di kota. Setiap panen, sebagian keuntungan dikirim untuk kakaknya.
Rumah kakaknya yang besar itu juga cepat sekali terjual. Hasil penjualan diberikan semua pada Jauhar, tapi kakaknya hanya minta setengah bagian saja.
Juanda sebetulnya merasa tidak nyaman mendapatkan pendapatan besar yang sebagian dari pemberian kakaknya itu. Dia sungkan, apalagi pada anak dan menantu kakaknya. Akmal, meski menantu Jauhar itu orang baik, selalu menghormatinya. Dia tidak nyaman menerima bantuan dari mendiang kakaknya selama ini.
Juanda berpikir, apakah dirinya tamak? Di Desa K, rumor warga banyak yang mengatakan bahwa dia seorang gila uang, pekerja keras, dan gila harta. Telinganya panas juga mendengar rumor itu. Apalagi anak semata wayangnya, Anwar dibilang pemuda sombong dan kurang gaul.
Istrinya pun tak luput dari rumor warga, suka pamer perhiasan. Namun, dia menyadari Amidah kerap terlihat memakai perhiasan jika ke luar rumah. Padahal hanya pergi ke warung tetangga saja. Juanda sudah menegur, tapi sayangnya tidak dihiraukan.
"Akmal, Paman mau bertanya. Sebelum bapak mertuamu meninggal dunia. Apa ada pesan terakhir darinya, atau tanda-tanda?" tanya Juanda pada Akmal, setelah acara tahlilan selesai.
Akmal termenung, pandangannya naik ke langit-langit plafon rumah lalu terpaku di sana sambil merokok dan tatapannya turun ke lantai.
"Begini … Kalisah sempat bilang, malam sebelum bapak wafat. Malam itu bapak ingin ngobrol berdua dengan Kania. Kalisah sudah memberi obat resep dokter setelah bapak makan bubur. Kania biasa menghiburnya karena sejak kecil dekat sama bapak. Kami pikir malam itu biasa saja, Paman, tapi ternyata malam itu malam terakhirnya," jawab Akmal, matanya berkaca-kaca.
Juanda mengangguk, lalu mengisap batang rokoknya lagi. Dia tahu, bahwa sejak kecil Kania adalah cucu pertama dan kesayangan kakaknya. Dia pun tahu bahwa karena Kania, kakaknya memutuskan pindah ke kota. Rela meninggalkan semua harta bendanya supaya Kania terhindar dari hal buruk, yang waktu itu dirasa pelaku masih berkeliaran, belum jelas siapa.
Waktu itu Ulum sudah dinyatakan meninggal dunia pada kebakaran di rumahnya sendiri. Juanda menyadari, jika selama ini Ulum bukan pelaku. Sayang, sudah terlanjur terjadi. Dia sampai kini ikut merasa bersalah seperti kakaknya.