Bandar Lampung, Maret 2012
Malam kelima di rumah mendiang kakeknya Kania, masih mengadakan tahlilan yang dilakukan keluarga inti saja. Akmal yang memimpin doa pembuka dan penutup, Juanda memimpin bacaan surah Yaasiin, tahlil, dan zikir.
Cuaca malam itu sangat dingin, diperkirakan dua puluh dua derajat celcius. Langitnya hitam kelam, tidak berbintang, tidak mendung, tidak gerimis, tidak pula hujan. Pintu rumah itu dibuka lebar.
Mereka mengadakan tahlilan kecil di ruang tamu. Duduk melingkar di lantai beralaskan karpet bulu. Kursi-kursi masih diletakkan di beranda rumah dengan aman karena ditutupi plastik bening.
Kalisah dan Bibi Asiah sebelumnya sudah menyiapkan camilan kue kering, rengginang ketan hitam, dan opak goreng. Enam gelas mini bersama satu teko berisi kopi hitam manis yang masih panas di atas nampan, diletakkan di tengah lantai ruang tamu yang beralas karpet bulu.
Angin malam berembus pelan dari luar, masuk ke dalam ruangan memberi rasa gigil di telapak kaki. Setelah pembacaan tahlilan selesai, mereka menikmati camilan dan minuman kopi.
Akmal dan Juanda lalu ke luar mencari tempat untuk merokok. Mereka duduk di beranda. Nando ikut menyusul sambil membawa segelas kopi yang baru dituang.
"Kek, Nando mau tanya. Apa benar, orang yang sudah meninggal dunia, sebelum empat puluh hari ruhnya masih di rumah yang ditinggali?" tanya Nando tiba-tiba. Papanya mengerutkan dahi.
Juanda malah tersenyum, diisap pelan batang rokok yang baru dinyalakan lalu asapnya diembuskan ke udara. Sementara Nando mencari posisi duduk yang nyaman.
"Menurut orang zaman dulu sih, iya. Mendiang kakekmu mungkin sekarang ruhnya ada di antara kita. Ruhnya bisa melihat, mendengar, tapi tak bisa menyentuh," jawab Juanda.
Nando seketika mengedarkan pandang ke berbagai arah, lalu menelan ludahnya. Langsung pindah duduk merapat pada papanya.
"Nando! Apaan sih? Kamu seperti bocah kemarin saja. Takut?!" celetuk papanya, risih karena Nando duduk merapatkan bahu ke samping badan papanya.
Juanda malah tertawa melihat tingkah kekanakan cucunya itu. Meski Nando tubuhnya lebih besar dari Kania dan sudah dewasa umurnya, tapi di mata Juanda pemuda itu masih kekanakan dan penakutnya belum hilang sejak kecil.
"Apa Nando ada salah sama mendiang kakek, ya? Makanya bertanya begitu," canda Juanda menakuti, membuat Nando mengerutkan dahi.