Sungai yang tenang tanpa riak, bukan berarti baik-baik saja. Siapa tahu di dalamnya bahaya mengancam.
***
Desa K, April 2009.
Tidak disangka, gerimis turun siang itu di Desa K. Fajri merapatkan tempat duduknya ke dalam, dan menyelamatkan koran yang tengah dibaca. Dia masih di kedai begitupun dengan pria yang baru dikenalnya, Kurdi.
"Oh, iya. Jika Anda jadi bekerja di desa ini, nanti tinggal di mana?" tanya Fajri.
Kurdi terkesiap, dia baru saja mengisap sebatang rokok setelah selesai makan siang.
"Oh, iya. Saya juga bingung. Di sini tidak ada sanak-saudara. Semua keluarga ada di desa seberang. Apa di sini ada kamar sewa atau rumah sewa?" jawab Kurdi, balik bertanya.
"Kalau kamar atau rumah sewa sepertinya di sini belum ada," jawab Fajri sambil mengibas rambutnya yang terkena cipratan rintik gerimis.
"Begini saja, Anda mampir ke rumah saya sebentar. Mungkin ibu saya punya solusi. Rumah kami besar, kamarnya ada dua yang kosong di ruangan bawah," ujar Fajri memberi saran.
Kebetulan sekali, Kurdi beruntung bertemu pemuda itu. Cuma, Kurdi agak sungkan, karena dia pendatang baru di desa itu.
"Wah, terima kasih sekali, Kak. Saya merasa terbantu. Boleh saya lihat-lihat dulu. Kalau cocok, saya mau sewa kamarnya," kata Kurdi.
Ijah yang masih dalam kedai sedang membuat adonan pisang goreng, mendengar pembicaraan Fajri.
"Bagaimana kalau Anda menyewa kamar di rumah saya. Di sini tersedia dan dekat jika mau makan. Kebetulan sekali ada dua kamar yang kosong," ujar Ijah, ikut menanggapi.
Mendengar tawaran satu lagi, Kurdi jadi bingung, apakah akan menerima tawaran Fajri atau pemilik kedai ini.
"Benar juga Kak Ijah. Rumahku jauh dari warung dan jalan besar. Anda sebaiknya menerima tawaran Kak Ijah ini," ujar Fajri.