Desa K, April 2009.
Mentari pagi bersinar lebih cerah dari biasanya. Awal hari di tanggal tua, lima hari mendekati akhir bulan April. Ijah sedang mencatat isi dagangannya, dan apa saja bahan yang habis untuk dibeli sekalian ke pasar tradisional yang ada di perbatasan kabupaten. Jarak perjalanan ke sana lumayan jauh dari desanya.
Ijah sudah bicara pada bapaknya, akan ada penyewa kamar di bawah rumah. Bapaknya mengizinkan kamar itu disewa, biar tidak kosong lama dan bapaknya Ijah tidak mematok mahal harga sewa. Harga sepantasnya saja.
Kurdi datang kembali ke kedai Ijah, kali ini bersama motor Honda Supra X 125, sambil membawa tas ransel di pundaknya. Ijah terpaku melihat pemuda itu, karena pertama kali bertemu Kurdi di kedainya hanya lenggang saja.
Pemuda itu memarkir motornya ke pinggir pagar kedai Ijah, dan turun sambil menjinjing tas kain yang gembul, dan tas ransel di pundak. Kurdi mengucap salam pada pemilik kedai, Ijah membalas salam dengan wajah yang biasa datar sembari melirik tas bawaan Kurdi.
"Kak Ijah, hari ini saya mulai pindah kesini, sudah boleh, kan?" tanya Kurdi.
"Boleh saja. Wah, bawaannya banyak juga. Ini kunci dan gemboknya, silakan," jawab Ijah lalu memberikan kunci dan gembok kecil pada pemuda itu.
Kurdi menerimanya dan mengangguk, lalu pergi ke kamar sewanya setelah menerima kunci dan gembok.
Hari ini Darul sedang bersekolah. Anak laki-laki Ijah itu duduk di bangku sekolah dasar, kelas dua. Daftar sekolah sedikit terlambat dari anak yang lain, karena waktu itu masa berkabung yang beruntun. Setahun sebelum suami Ijah wafat, ibunya meninggal dunia karena komplikasi maag kronis.
Bapaknya sedang kerja di ladang tebu mereka yang hanya seluas tanah dua kali kedai. Ijah berniat pergi ke pasar sekarang, tapi dia menunggu tukang ojek langganan. Sayangnya, tukang ojek itu belum lewat juga di jalan depan rumahnya.
Kurdi melihat Ijah menutup lebih awal kedainya. Padahal dia ingin pesan secangkir kopi dan makan camilan pisang goreng.
"Kak Ijah, kok kedainya tutup?" tanya Kurdi heran.