Setelah melakukan pembayaran, aku berniat langsung pulang ke rumah. Aku tidak sabar ingin membaca buku ini dan merasakan sedikit surga yang ada di dunia.
“Hei Alen, habis ini kamu mau kemana?” tanya Derra.
“Pulang.”
“Bagaimana kalau kita mampir ke suatu tempat seperti toko ku-“
“Tidak mau,” kataku memotong perkataanya.
“Kenapa?”
Satu minggu sekelas dengannya membuatku berpikir bahwa dia memiliki sifat penasaran yang tinggi. Mau bagaimanapun, orang seperti itu tidak akan berhenti sampai jawaban yang ia inginkan tercapai.
Tidak, ada satu jawaban lagi yang dapat membuat dia mundur dengan seketika.
“Aku sibuk berpacaran,” jawabku.
Hal itu adalah bohong. Selama aku menghembuskan nafas selama 17 tahun, aku tidak pernah memiliki hubungan yang dinamakan ‘pacaran’. Menurutku sendiri, selama aku membaca novel dan menonton film, aku rasa berpacaran itu sangatlah merepotkan. Lagipula ‘pacaran’ ada hubungannya dengan ‘cinta’. Dan, hal itu adalah sebuah kepalsuan.
Setelah aku berkata seperti itu, dia sepertinya berhenti berjalan atau mungkin dia pergi ke tempat lain karena aku tidak melihatnya di sampingku. Namun, beberapa detik kemudian, dia terlihat berjalan dengan cepat melewatiku, lalu berhenti tepat di depanku dengan memasang tatapan meragukan sesuatu.
“Bohong!!”
“Hah?”
Tentu, sudah wajar aku terkejut. Bukan hanya jawaban yang dia berikan, dia juga berhenti di depanku dengan jarak kurang lebih 30 centimeter. Jarak yang begitu dekat membuat jantungku menerima dampaknya. Jantungku seperti ada sesuatu yang membenturnya dengan keras dan membuatnya berhenti berdetak untuk sesaat.
Bagiku hal ini adalah hal yang sensitif. Bagaimana jika aku bersentuhan dengannya dan menyentuh hal-hal yang tidak diinginkan? Dan yang paling merepotkan adalah 'cowok selalu salah'. Oleh karena itu, aku memundurkan langkahku untuk menjaga jarak dengannya.
Namun, setelah aku memundurkan langkahku, dia memajukan langkahnya ke arahku dan membuat suasana seperti sebelumnya.
“Kamu sedang berbohong kan?”
“Tidak.”
Setelah mendengar jawabanku, dia menyipitkan kedua matanya lebih tajam sehingga memberikan sebuah tekanan besar.
“Biar kuperjelas perkataanmu, kamu berpacaran sama buku? Atau guling?”
Apa-apaan pertanyaaan itu? Seakan-akan dia tidak pernah percaya bahwa aku berpacaran dengan seorang perempuan.
“Hei, gini-gini aku normal”
“Hmmm … Benarkah?” katanya dengan nada yang meragukan dan mendongkakkan wajahnya ke wajahku lebih dekat.
Hei, ini terlalu dekat!
“Terserahlah!” kataku tanpa memperdulikannya lagi, lalu aku berjalan kembali untuk menghindar dari keadaan ini. Di sisi lain, aku ingin pulang ke rumah.
Buku yang baru kubeli adalah buku yang sudah lama kunantikan. Aku ingin membacanya! Aku tidak boleh membuang-buang waktuku di sini!
Namun, dia menjajarkan jalannya di sampingku lagi.