Air Hocket adalah permainan hoki meja yang mengharuskan pemain memasukkan pin hoki ke lubang lawan untuk mencetak poin. Jika dilihat, ini adalah permainan duel, dimana kau harus memainkannya dengan satu orang lagi. Biasanya game semacam ini digunakan untuk menyombongkan diri jika mengalahkan musuhmu atau yang lebih parahnya lagi adalah sebuah taruhan.
Setelah menempelkan kartunya, sebuah cahaya warna-warni langsung menghiasi lapangan tersebut, dan waktu yang ditunjukkan oleh papan yang berada di tengah lapangan sudah berjalan.
Karena pinnya berada di areaku, aku mengambil pin tersebut dan mencoba untuk memulai pukulan pertama. Mau bagaimana pun, pandanganku lurus yang dapat melihat apa yang ada di depanku. Dan aku mendapati dia yang menatapku serius dengan posisi sudah siap untuk melawanku, ditambah senyuman yang bangga — atau lebih ke arah licik?
“Kamu tahu? Aku belum pernah kalah dengan temanku jika memainkan game ini loh.”
“Oh begitu.”
“Benar, bahkan aku selalu mengalahka mere-“
SMASH!!
Dengan kecepatan yang begitu cepat, pin hoki tersebut melewati tangannya dan memasuki gawang. Angka nol di kiri pada papan yang berada di tengah berubah menjadi angka 1.
Benar, point pertama telah didapatkan olehku. Sebagai dampaknya, dia tidak bergerak sama sekali dan mengedipkan matanya beberapa kali dengan cepat. Tak lama kemudian, dia mengerutkan alisnya.
“Hei, aku belum siap tahu!”
“Aku kira dengan ekspresi seperti itu kau sudah melakukan persiapan. Lagipula, waktu sudah berjalan. Bukankah artinya permainan ini sudah dimulai?”
“Kamu seharusnya memastikan lawanmu siap dulu tahu!”
“Di permainan sepak bola, kau pikir penjaga gawang dapat meminta untuk menghentikan pertandingan dengan alasan belum siap setelah waktu sudah berjalan?”
Dia mengerutkan alisnya, terlihat sedang kesal ke arahku, lalu dia mengambil pin hoki yang berada di kolong mejanya.
Setelah mengambil pin tersebut, dia menaruhnya di lapangan. Dengan posisi sudah siap, dia mengambil ancang-ancang untuk memukul pin itu. Namun dia berhenti seketika sebelum melakukan pukulan tersebut dan menatap ke arahku dengan terkejut — tidak, dia menatap ke arah yang lain.
“Oh ternyata itu ada temanku. Halo Putri,” katanya sembari menatap sesuatu dan melambaikan tangannya.
Temannya? Ini gawat! Jika aku ketahuan bahwa laki-laki yang sedang bersamanya ini adalah diriku, mungkin aku tidak akan hidup tenang di sekolah. Semua laki-laki akan memusuhiku, bahkan mungkin perempuan juga.
Namun, aku tidak terlalu peduli bahwa itu adalah temannya atau bukan. Oleh karena itu, aku tidak perlu memastikannya dan masih menatap lurus ke depan.
Dia beralih menengok ke arahku, lalu dia memasang ekspresi kesalnya lagi. Aku tidak mengerti kenapa dia berekspresi seperti itu.
“Apa?” tanyaku.
“Kamu adalah laki-laki yang aneh!”
“Hah?”
“Seharusnya kamu menengok dengan refleks ke arah yang aku tunjuk. Tapi, kamu tidak menengoknya sama sekali.”
“Kenapa harus begitu?”
“Itu wajar bukan?”
Wajar? Aku tidak mengerti seperti apa kriteria wajar di matanya itu. Namun, seharusnya kau sudah tahu bahwa aku seperti itu karena tidak memiliki kepedulian sedikitpun. Namun, aku rasa dia tidak pernah memikirkannya.
“Jika penjaga gawang tidak fokus dan selalu mengalihkan perhatiannya, maka dia akan terus kebobolan.”
“Oh, seserius itu kah kamu bermain ini? Atau begitu senangkah kamu bermain denganku?” katanya dengan nada menggoda.
“Tidak sama sekali.”
Dia cemberut lagi. “Meskipun bercanda, itu menyakitkan tahu!”
“Maaf.”
Meminta maaf kepada seseorang yang baru kau temui itu mudah, hanya mengeluarkan kurang lebih satu kata saja. Dampaknya, dia yang terlihat kesal berubah menjadi tenang ataupun senang.
“Baik, aku memaafkanmu.”
Benar, dia pasti akan memaafkanmu. Apakah karena tidak ingin ada kecanggungan nanti? Ataukah dia ingin menjaga hubungan ini? Aku tidak terlalu tahu tentang itu, yang pasti dan apapun itu, aku tidak peduli.
“Cara seperti itu tidak bekerja ya? Baiklah.”