Game dance sudah berakhir. Skor di papan terlihat berbeda jauh sekali, dimana aku mendapatkan skor yang sangat rendah. Namun, bukan hal itu yang kupedulikan. Entah kenapa, orang-orang sekitar terlihat berkumpul, dan kami menjadi pusatnya. Sebagai seorang penyendiri, aku tidak menyukai ini. Keringat dingin sudah membasahi tubuhku. Dan beberapa dari mereka terlihat tersenyum dan tertawa. Mungkin dia mengejekku karena tidak bisa memainkan game itu.
Di sisi lain, gerakan Derra sangat lincah dan dia terlihat sangat menyukai itu. Apakah dia ingin menjadi penari?
“Yey, aku menang.”
Aku tidak menanggapinya. Kemenangan memang menyenangkan, dan kekalahan seharusnya menyebalkan. Namun, kekalahan ini terasa begitu hambar bagiku.
“Karena aku menang, aku dapat meminta sesuatu kan?”
“Hei, tidak ada janji seperti itu.” jelasku.
“Hehe, hanya bercanda.”
Setelah itu, kami pun memainkan game-game lain, seperti drum, memukul jambur, dan bermain mobil. Kemudian …
“Aku mau memainkan ini.”
Dia berhenti di salah satu permainan, menggesekkan kartu, dan kemudian menatapku dengan tersenyum percaya diri. Lalu berkata,
“Kamu tahu, aku hebat kalau memainkan permainan ini.”
Aku menatapnya sebentar, kemudian beralih ke depan.
Permainan 'Capit Boneka' sangat digemari orang-orang, bahkan terkadang aku sendiri suka melihatnya dari youtube. Permainan kotak kaca yang dipenuhi dengan boneka yang imut dan satu mesin capit. Gagang pengendali untuk mengendalikan capitannya sesuai posisi yang kita inginkan. Lalu, tombol capit untuk mencoba mengambil boneka dari posisi tersebut. Waktu di permainan ini hanya 30 detik. Jika melewati waktu itu, maka capitan tersebut otomatis turun ke bawah.
Saat ini, dia sedang fokus untuk mengendalikan gagang pengendali. Seolah-olah sudah posisi yang diinginkan, dia menekan tombol capit.
Capitan itu bergerak ke bawah dan mencapit sebuah boneka yang bewarna merah muda. Lalu, capitan itu terlihat sedang mengangkat boneka tersebut, kemudian membawanya menuju sebuah kotak yang berada di ujung.
“Dapat! Dapat!”
Dia terus berkata seperti itu, seolah berharap bahwa capitan ini mendapatinya.
Capitan itu terus mengangkat bonekanya. Namun, sebelum sampai keujung, boneka tersebut terjatuh, yang artinya dia telah gagal. Sebagai gantinya, dia hanya mengedipkan matanya beberapa kali, lalu menatapku.
“Tadi itu hampir saja hehe.”
Dia tertawa kecil untuk menutupi kegagalan. Aku hanya menatapnya saja untuk membalas perkataanya. Namun, entah kenapa dia terlihat sedikit marah kepadaku.
“Apa? Selanjutnya aku akan mendapatkannya tahu!”
Aku hanya mengangguk untuk membalasnya. Aku tidak ingin berkata apa-apa soal itu.
Dia mencobanya kembali. Namun beberapa saat telah berlalu, setelah 5 kali percobaan, dia tetap saja gagal dan sekarang dia terlihat frustasi.
“Katanya kau hebat, tapi kau belum mendapatkannya satu pun,” ejekku.
“Salah satu kekuatanku adalah pantang menyerah. Jika kamu mudah menyerah, mau jadi apa nantinya?”
Mengatakan hal yang memotivasi untuk menutupi kepayahannya itu tidaklah buruk. Mau bagaimanapun, dia memang keras kepala.
Sudah terhitung 10 kali percobaan, namun tidak ada hasil yang dia dapatkan. Saat ini mulutnya terbuka lebar dan dia terdiam seperti patung.
“Sudah?” tanyaku.
“Kekalahan memang menyebalkan!.” Dia merengek, kemudian dia menatapku dengan menyipitkan kedua matanya kesal. “Kamu harus mencobanya!”
“Aku tidak hebat, jadi lupakan saja.”
“Aaah, ayolah!”
Jujur, aku tidak ingin mendengarkan rengekkannya lagi. Oleh karena itu, aku menggangguk begitu saja untuk menyetujuinya. Lalu, dia menyuruhku untuk bertukar posisi dan kemudian dia menggesekkan kartunya.
Waktu di permainan ini sudah berjalan. Aku mencoba untuk memainkan permainan ini. Di saat aku menyentuh gagang pengendali untuk mencoba mengarahkan capitan, entah kenapa gagang pengendali ini terasa hangat di tanganku. Ah sial, kenapa aku memikirkan hal itu?