Dua minggu telah berlalu. Tidak ada yang berubah dalam kehidupanku—tidak, mungkin ini sedikit berubah karena kehadiran seorang gadis yang tak lama ini kukenal.
Selamat pagi, Alen.
Sampai jumpa, sampai ketemu besok, Alen.
Kata-kata tersebut selalu kudengar di sekolah.
Setelah kejadian selasa di minggu pertama, dia selalu menyapaku di saat pagi hari dan memberikan salam perpisahan kepadaku setelah pulang sekolah setiap hari. Dia selalu mengikutiku di saat jam istirahat. Dia juga lebih sering berbicara kepadaku di kelas tentang beberapa hal. Jika dilihat-liat, aku seperti sedang berteman dengannya.
Namun, itu bukanlah hal yang positif bagiku.
Aku merasakan ada sesuatu hal yang menggangguku. Hal tersebut dapat kurasakan ketika sedang berjalan bersama gadis itu. Mereka tampaknya tidak menyukainya. Benar, mereka yang kumaksud adalah orang-orang yang dekat dengannya.
Bukannya aku telah menyadari bahwa mereka sedang membicarakanku dari belakang, akan tetapi perilaku mereka seperti sudah siap untuk menembakkan beberapa peluru kepadaku. Tidak, maksudku bukanlah perilaku, lebih tepatnya adalah tatapan mereka. Tatapan yang mengartikan sebuah perasaan yang menjijikan terhadap sesuatu. Tatapan yang mengintimidasi. Dan, mereka memandangku seperti itu.
Tidak heran juga, aku orang yang tidak pernah tersenyum dan menyapa mereka, selalu disapa oleh orang yang mereka sukai. Mereka mungkin tidak rela bahwa gadis itu terlalu dekat dengan laki-laki yang menyedihkan sepertiku.
Oleh karena itu, sebaiknya aku harus menjaga jarak dengannya.
Jika tidak, aku mungkin akan mendapatkan masalah di kemudian hari.
***
Meskipun jam istirahat pertama belum berbunyi, aku bergegas berjalan menuju kantin untuk membeli beberapa makanan dan minuman. Dalam beberapa langkah aku berjalan dari luar kelas, ada seorang gadis mencoba untuk berbicara padaku.
“Hei Alen, mau ke kantin?” tanya Derra mencoba untuk menjajarkan jalannya di sampingku.
“Ya.”
“Aku tidak membawa bekalku, jadi aku mau ke kantin juga untuk membeli beberapa makanan,” katanya “Tujuan kita sama.”
Aku hanya berdiam diri saja tanpa merespon perkataanya.
“Hei Alen, apa kamu istirahat di tempat biasanya?”
“Mungkin.”
“Oh begitu ya. Mungkin aku juga akan ke sana untuk menikmati makananku,” katanya. Lalu, dia tersenyum ke arahku. “Ayo kita ke sana Bersama!”
Aku terdiam karena ekspresi dan senyumannya. Entah kenapa, apa yang sedang dia lakukan membuat perasaanku bercampur aduk.
Selama ini aku berpikir bahwa ‘apa yang sedang kulakukan selama satu minggu ini?’. Aku tahu, meskipun aku hanya mengikuti alurnya, hal itu akan menjadi masalah di kemudian hari. Aku tidak bisa berdiam diri saja. Tidak peduli apapun itu, jika aku tidak mencoba untuk bertindak seperti biasanya, maka semuanya tidak akan terselesaikan.
Sebuah satu kesalahan di masa lalu, akan berdampak sampai sekarang.
Oleh karena itu, aku tahu apa yang harus kulakukan.
Aku berhenti melangkah, berdiam diri untuk beberapa detik, lalu menatapnya. Seakan-akan dia menyadari bahwa aku tidak sedang berjalan di sampingnya, dia juga berhenti berjalan, lalu membalikkan badan, dan menatap ke arahku kebingungan.
“Ada apa? Kenapa kamu berhenti?”
“...” Aku menatapnya cukup lama.
“Apa?” Dia memeringkan kepalanya dengan ekspresi yang sangat polos.
Aku terdiam sebentar memberikan sebuah jeda waktu untuk berpikir. Dia juga terdiam seperti sedang menunggu untuk mendengarkan perkataanku. Seakan-akan sudah waktunya, aku membuka suara
“Kenapa … kau sering berbicara kepadaku?” tanyaku
“Eh? Memangnya salah ya?” tanyanya terheran.