Aku membiarkan gadis itu masuk ke rumahku. Entah kenapa dia langsung menyetujui penawaranku itu. Mungkin secara terpaksa karena cuaca hari ini sedang hujan dan tidak mau terjatuh sakit.
Ngomong-ngomong, hal ini untuk pertama kalinya sejak di bangku SMA, seorang gadis — tidak, seseorang datang ke rumahku. Bahkan, aku sudah lupa apa saja yang harus dipersiapkan jika kedatangan seorang tamu.
Aku mencoba menengok ke arah gadis itu. Lalu, aku mendapati dia yang sedang menatap sekitar, mengamati apa yang ada di sekelilingnya. Sesampai di ruang tamu, aku menyuruh dia melakukan sesuatu.
“Duduklah!” kataku
Dia mengangguk “Emm, terima kasih.”
Dia duduk di bangku tersebut, lalu menaruh tas sekolahnya di sampingnya, sedangkan aku masih berjalan menuju dapur.
“Apa kau mau minum?” tanyaku.
“Emm, boleh.”
Satu langkah yang kuingat untuk memperlakukan tamu dengan baik adalah menawarkan sebuah minuman. Dia menyetujui penawaranku dengan ekspresi yang tidak marah— meskipun tidak ditemani dengan senyuman.
“Kamu sudah mendingan?” tanyanya. Dia sedikit memasang ekspresi khawatir.
“Ya, lumayan.”
Jarak dapur dengan ruang tamu tidak begitu jauh, sehingga dia masih dapat melihat ragaku di ruang tamu dan mendengar suaraku tanpa berteriak.
Aku membuka kulkas dan melihat ke beberapa tempat, mencari sesuatu untuk disediakan. Karena keadaan cuaca sedang hujan, maka aku akan membuat minuman yang hangat. Di kulkasku ada bahan untuk membuat teh dan kopi. Oh iya, ada coklat juga. Namun, aku tidak akan menawarkannya karena membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membuat coklat panas. Biasanya seorang gadis tidak menyukai kopi. Namun, aku tidak tahu apa dia lebih menyukai kopi atau teh. Sebaiknya, aku bertanya terlebih dahulu
“Mau teh atau kopi?” tanyaku.
“Aku mau coklas panas.”
Aku mengedipkan mataku untuk beberapa detik. Opsi yang dia katakan bukankah keluar dari jalur?
“Aku tidak pernah menawarkan itu.”
“Memangnya tidak ada coklat panas ya?”
“Ada sih.”
Sial, aku keceplosan mengatakannya!!
“Yaudah, aku mau coklat panas!”
“Hei, aku bukan pembantumu.”
“Apakah kamu pernah mendengar tentang ‘Tamu adalah raja’? Jika kamu sudah pernah mendengarnya, seharusnya kamu mengerti tentang itu!”
‘Tamu adalah raja’ adalah peribahasa yang selalu digunakan oleh para tamu. Dengan peribahasa tersebut, mereka dapat meminta apapun meskipun itu yang sangat sulit untuk dilakukan oleh sang tuan rumah. Begitu pintarnya mereka menemukan peribahasa tersebut pada saat sedang bertamu.
Aku mendesah dengan pelan. Mau tidak mau aku harus membuatnya. Lagipula, aku juga ingin menikmati coklat panas di kala cuaca sedang dingin.
“Kamu tinggal sendiri?” tanya gadis itu.
“Ayahku bekerja di luar kota, dia jarang pulang ke rumah.”
“Oh begitu,” katanya menganggukkan kepalanya. “Kalau ibumu? Apakah dia bekerja juga?”
Aku terdiam sebentar untuk beberapa detik. Lalu, aku berkata.
“Ibuku sudah tidak ada.”
Dia terkejut, lalu dia membuka suara dengan nada seperti sedang merasa bersalah. “M-Maaf, aku mengatakan yang tidak boleh kutanyakan.”
“Ya, tidak apa-apa.”
Aku kembali fokus untuk membuat coklat panas, sedangkan dia sibuk melihat-lihat sekitar. Aku menyiapkan dua gelas, bubuk coklat, susu kaleng, dan gula. Tak lupa juga aku memanaskan air menggunakan teko karena aku ingin membuat coklat hangat. Kutaruh bubuk coklat dan gula sebanyak satu sendok makan. Lalu, aku menunggu air mendidih di teko.
Tekonya sudah berbunyi menandakan air telah panas. Aku mengangkat gagang teko, lalu menuangkan air panas tersebut ke dalam dua gelas yang sudah disiapkan. Kemudian, aku menuangkan susu kental supaya lebih manis dan mengaduknya. Setelah selesai, aku membawanya secara perlahan.
Setelah sampai di ruang tamu, aku memberikan salah satu gelas ini kepadanya.
“Ini coklat panasnya!”
“Terima kasih banyak.”
Dia mengambil gelas tersebut dengan kedua tangannya secara perlahan. Lalu, dia meniup coklat panasnya secara hati-hati.
Aku duduk tepat di seberang mejanya. Kebiasaan manusia adalah pandangan selalu lurus. Dari pandangan lurus tersebut, aku melihat dia yang sedang mencoba menikmati coklat panas yang baru kubuat.
Di saat dia meniup coklat panasnya, hal yang terfokus pada pikiran dan pandanganku adalah sebuah bibirnya. Warna merah muda yang sangat menawan dan begitu tipis. Pemandangan yang tidak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Kurasa, aku akan salah paham jika melihatnya terus-menerus pada saat dia melakukan seperti itu.
Hal yang bisa kulakukan untuk menghidari hal tersebut adalah melihat gelasku sendiri. Namun, penglihatan ini bisa melihat dengan sekilas apa yang ada di depanku juga. Tanpa disadari, aku sedikit menatapnya lagi.
Aku sedikit terkejut karena dia sedang menatapku dengan wajah yang lumayan serius. Karena aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, aku mencoba untuk bertanya.
“Apa?”
“Hei, kamu … masih ingat yang kemarin?” tanyanya.
“Kemarin?”
“Ya. Kemarin.”
‘Kemarin’ yang dia maksud mungkin adalah waktu kejadian itu, dimana aku mengungkapkan kata-kata yang kasar kepadanya. Tidak heran, dia akan menanyakannya untuk menjadikan bahan obrolan disaat sedang berdua denganku. Bagi seseorang yang memiliki sifat penasaran yang tinggi, pasti ingin tahu alasannya aku melakukan hal tersebut.
Namun, aku akan berpura-pura bodoh di depannya.
“Kemarin bukannya aku tidak masuk sekolah?”
“Aaah, jangan pura-pura lupa!”
“Aku memang tidak masuk kemarin. Memangnya ada apa? Apakah terjadi sesuatu?”
“Kemarin tau, kemarin! Ke-ma-rin!”
“Kau sedang sakit? Mau minum obat?”
“Ih nyebelin banget sih!”
Aku hanya mengedipkan mataku seoah-olah tidak mengerti apa yang sedang dia katakan, padahal aku secara sengaja memberikan sebuah respon yang bodoh kepadanya. Jika dipikir-pikir, apakah aku sedang sedikit menikmati dirinya yang sedang kesal?
“Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan,” kataku.
Pernyataanku membuatnya terdiam sejenak, lalu dia mengalihkan pandangannya ke arah yang lain. Tak lama kemudian, dia membuka suara.
“Di saat … kau mengatakan hal yang kejam kepadaku.”
Setelah aku menyadari tentang itu dan terhubung antara obrolan dengan kejadian tersebut, ekspresi gadis itu terlihat menjadi sedikit marah. Lalu, dia menatapku dengan serius.
“Aku tidak akan memaafkanmu loh!!”
“Emm,” jawabku dengan mengangguk.
“Kamu dengar tidak? Aku tidak akan memaafkanmu!!”
“Ya, aku tahu.”
Aku tahu bahwa perbuatanku sangatlah kejam bagi seseorang yang mempunyai sifat periang atau baik hati seperti dirinya. Mungkin, aku adalah orang pertama yang melakukan itu kepadanya.
Seseorang yang baik hampir mustahil memiliki musuh atau seseorang yang membenci dirinya. Meskipun ada, maka itu akan menjadi boomerang bagi seseorang yang membenci orang baik. Oleh karena itu, sebelum melakukan hal yang kejam kepadanya, aku sudah tahu akibatnya dan aku tidak akan berharap kepadanya untuk memaafkanku.
“Lalu … kenapa … kamu mengatakan itu? Pasti kamu mempunyai alasan kan?” tanyanya dengan menatapku antusias.
Suaranya menjadi pelan, membuat atsmosfer di sekitarnya terasa berat bagiku. Tatapan yang ia berikan adalah tatapan yang sangat serius yang seakan-akan memaksaku untuk menjawab pertanyaanya.
Aku terdiam. Berpikir-pikir apa yang akan kukatakan kepadanya. Lalu, pada akhirnya, aku membuka suara.
“Kenapa kau selalu ingin tahu?”
“Aku juga tidak tahu. Aku tidak ingin menyesal dikemudian hari jika aku tidak mengatakan yang ada di dalam pikiranku sekarang.”
“Meskipun itu menyakiti seseorang?”
Setelah aku bertanya seperti itu, dia tampak sedikit terkejut dan terdiam untuk beberapa detik. Kemudian, dia membuka suranya lagi.
“Em … mungkin.”
“Begitu ya.”
Manusia pasti mempunyai sifat yang dapat merugikan seseorang. Terkadang, mereka tidak peduli tentang bagaimana perasaan orang lain yang ia berikan dengan sifatnya tersebut. Namun, hal tersebut dapat dimaklumi oleh sesama manusia seakan-akan itu adalah hal yang wajar dan biasa. Karena manusia bukanlah ‘makhluk yang sempurna’. Manusia sering membuat kesalahan. Oleh karena itu, alasan seperti itulah sering yang dapat digunakan apabila manusia membuat kesalahan.
“Aku sudah memberitahunya, lalu sekarang giliranmu!” katanya.
“Giliranku? Untuk apa?”
“Alasan kamu mengatakan hal yang kejam itu padaku kemarin.”
Dia masih ingin mengetahui alasanku melakukan itu ya? Sifatnya memang tidak bisa dikendalikan.
“Ini coklat panasnya, ngga diminum?” kataku mengalihkan topik.
“Jangan mengalihkan topik!”
Nampaknya dia mulai marah lagi. Mengatakan hal yang bercanda di saat sedang serius memang sedikit menjengkelkan. Di sisi lain, aku juga harus mendapatkan hal yang kuinginkan juga.
“Lalu, apa yang kau inginkan dariku?” tanyaku.
“Aku hanya ingin tahu alasannya saja. Hanya itu.”
“Lalu, jika kau sudah tahu alasannya, apa yang akan kau lakukan?”
“Aah … itu … Setidaknya aku ingin tahu alasannya. Aku tidak akan tahu jika kamu tidak mengatakannya. Dan aku bisa salah paham tentangmu jika aku tidak mengatahuinya.”
“Lalu, jika aku mengatakannya, apa kau akan membeciku? Dan jika aku tidak mengatakannya, apa kau akan membenciku juga?”
“Ah ... Itu ... tergantung atas jawabanmu.”
Kedua hal tersebut kemungkinan mendapatkan hasil yang sama. Entah dia memaafkanku, atau membenciku.
“Lalu, apa alasannya?”
Dia masih mendesakku untuk mengatakannya. Aku hanya terdiam, menatap ke coklat panas seperti sedang memikirkan sesuatu dan mencari jawabannya di sana. Campuran suara antara detakan jam dinding dan tetesan air hujan menjadi latar belakang suasana ini, membantu menggali ingatanku yang terkubur.