Selamat Pagi, Alen

Kavi M N
Chapter #17

Impian

Hari senin telah tiba. Jam 6 pagi adalah waktunya untuk berangkat ke sekolah. Jika kau bertanya tentang ‘kenapa aku selalu berangkat lebih pagi dari yang lain?’. Maka, jawaban yang akan kuberikan adalah ‘karena pagi itu sangatlah sejuk’. Bukan hanya itu, di pagi hari jalanan masih terlihat sangat sepi, seakan-akan dunia ini hanya milikmu sendiri.

Setelah beberapa detik aku berjalan, aku berhenti karena sesuatu. Aku melihat ada seseorang yang menyandarkan tubuhnya di sebuah tiang dengan memainkan sebuah ponsel. Aku menatapnya dan sedikit bertanya-tanya tentang itu. Sebenarnya aku selalu tidak pernah peduli apa yang ada di hadapanku, akan tetapi kali ini berbeda. Seseorang itu adalah gadis yang begitu familiar dan mungkin akan membuatku jengkel jika bersama dengannya.

Dia pun menengok ke arahku. Kami saling bertatapan satu sama lain. Setelah itu, dia tersenyum dan melambaikan tangannya.

“Selamat pagi, Alen. Kebetulan sekali ya kita bertemu di sini?” tanya Derra.

“Hah? Apanya yang kebetulan?”

“Ini begitu kebetulan kan? Atau apakah ini sebuah takdir?”

“Terserahlah.”

Bukannya aku kegeeran, akan tetapi sudah jelas dia sedang menungguku di sini. Kenapa? Karena dia sedang menunggu di depan rumahku. Jadi, apanya yang kebetulan?

Aku kembali berjalan tanpa memperdulikan apa yang dia katakan. Cukup menghabiskan tenaga juga untuk memikirkan itu. Setelah melewatinya, dia pun kembali berjalan dan mencoba untuk menjajarkan jalannya di sampingku.

“Kamu selalu berangkat pagi-pagi?” tanyanya.

“Ya.”

“Kamu terlalu rajin banget. Tapi, itu memang tindakan yang bagus.”

Memujiku seperti itu terlihat seperti seorang guru yang memberi pujian untuk anak SD. Entah mengapa, medengar hal itu sangatlah menyebalkan. Di sisi lain, pasti ada alasan dia melakukan ini.

“Apa yang kau inginkan?” tanyaku

“Eh? Hmm ….” Dia memeringkan kepalanya, kemudian dia seperti sedang berpikir sesuatu selama beberapa detik. Lalu dia melanjutkan “Apa maksudnya?”

“Kau menunggu pagi-pagi begini pasti mempunyai alasan bukan?”

“Aku tidak tahu. Aku tidak mempunyai alasan sih,” katanya menatap ke arah yang lain.

Memang benar, tidak ada maling yang mengakui dirinya sendiri di saat melakukan kejahatan. Jika bukan seperti itu, dunia ini cukup adil.

Aku tidak akan memanjangkan urusan itu. Aku berniat untuk berdiam diri saja. Namun, aku berpikir bahwa dia tidak mungkin berpikir hal yang sama sepertiku. 

“Pagi ini begitu sejuk ya?”

Awal permbincangan di awal pertemuan biasanya adalah suasana. Menilai dan merasakan suasana yang ada dan membuat sebuah pertanyaan pendapat yang mungkin tidak pernah pedulikan sama sekali. Singkatanya, ini hanyalah sebuah basa-basi saja untuk memulai topik pembicaraan yang sesungguhnya.

“Alen, apa kamu membawa surat yang aku berikan kemarin?” tanyanya

“Ya, aku membawanya.”

“Benarkah? Aku percaya bahwa kamu memang membawa kertas itu, tapi aku tidak percaya bahwa kamu sudah menulisnya. Jangan bilang, kamu lupa untuk menulisnya?”

“Aku tidak sebodoh itu, kau tahu?”

“Tidak tahu.” bantahnya. “Tapi, kalau kamu sudah menulisnya, itu bagus.”

Dari ekspresinya itu, aku sadar bahwa dia sedang mengejekku.

“Lalu, apa yang kamu tulis, Alen?”

“Aku menulis namaku di bagian atasnya,” jawabku.

Dia menatapku kesal. “Ih, maksudku isinya. Apa yang kamu tulis?”

Sungguh menyebalkan di pagi hari ini untuk berhadapan dengan seseorang yang memiliki sifat keingintahuan yang tinggi. Ribuan pertanyaan yang akan keluar dari mulutnya mungkin akan menyerangku dan membuat otakku tertarik dengan keras. Meskipun begitu, aku tidak bisa keluar dari lingkaran ini.

Aku hanya berdiam diri saja tanpa mengatakan apapun. Hal yang sedang kulakakuan hanyalah berjalan dan menatap ke depan.

“Hei, apa kamu mendengarnya?”

“Meskipun aku mendengarkannya, aku tidak akan memberitahumu!” tolakku.

Sejujurnya, aku sudah lelah mengatakan ‘kau kepo sekali’. Entah kenapa, dia terlihat sangat bahagia jika aku berkata seperti itu.

“Pelit. Dasar pelit!!” katanya dengan nada yang kesal. Dia seperti sedang marah kepadaku. Bukankah seharusnya aku yang marah karena perbuatannya di pagi hari begini?

“Kau tahu apa arti dari sebuah privasi seseorang?” tanyaku.

“Iya iya. Aku tahu itu.”

“Jika kau tahu, kau tidak boleh memaksa seseorang untuk menjawab pertanyaanmu!”

Privasi adalah kepemilikan perorangan. Jika kau mengatakan privasimu kepada orang lain, maka privasi itu sudah bukanlah privasi lagi.

Namun, dia melanjutkan seolah-olah itu bukan masalah.

“Kamu tahu, ada pepatah yang mengatakan bahwa ‘Malu bertanya, sesat dijalan’?”

 “…”

 “Jika kamu tahu, kamu seharusnya memberitahu informasi kepada seseorang yang sedang bertanya!”

Lihat selengkapnya