Selamat Pagi, Alen

Kavi M N
Chapter #19

Nostalgia

Jam pelajaran pertama adalah jam olahraga. Meskipun biasanya aku tidak banyak melakukan apapun, aku sangat bersyukur apabila jam olahraga dimulai di pagi hari. Hanya dengan menghirup udara yang sejuk, hal itu sudah lebih dari cukup untuk olahraga jantungku.

Olahraga hari ini adalah …. Basket?

Jika dilihat, kami hanya mendapatkan ½ lapangan saja karena ada kelas yang berolahraga selain kelas kami. Kaos yang mereka gunakan bewarna biru yang mengartikan bahwa mereka adalah kelas 1.

“Hei, hei,” sapa laki-laki di depanku ke teman di sampingnya. “Adik kelas cakep-cakep ya?”

“Benar,” jawab temannya. “Aku akan kutunjukkan kehebatan basketku.”

Nampaknya percakapan ini tidak begitu familiar. Mendapatkan kesan keren untuk adik kelas adalah hal yang biasa di setiap sekolahan. Tidak ada yang melarangnya juga.

Namun, aku tidak ingin menjadi seperti itu.

***

Sekarang adalah giliran laki-laki untuk di tes. Kami pun berbaris sesuai nomor absen. Tes untuk hari ini cukup sederhana, kau hanya perlu memasukkan bola itu di garis luar sebanyak 10 kali. Satu bola masuk nilainya adalah 10. Jika 10 bola masuk nilainya adalah 100.

Sebenarnya aku ingin berpura-pura untuk tidak memasukkan bola itu, namun hanya untuk membuat gadis itu percaya bahwa aku memasuki UI, aku akan serius.

Namaku sepertinya terpanggil dan sekarang adalah giliranku. Aku pun melangkahkan kaki menuju ke tempat yang ditunjuk oleh guru. Lalu, aku mengambil bola basket yang ada di depanku, kemudian mencoba untuk memantulkannya ke tanah.

Bola basket yang terasa cukup berat di tangan. Namun, jika kau mencoba untuk memantulkannya, bola tersebut terasa sangat ringan. Aku sudah lama tidak merasakan sensasi ini, dan membuatku sedikit nostalgia. Kemudian, aku menatap ring.

Ah, sepertinya ring itu terlihat sangat jauh dan terlihat sangat kecil. Dia terlihat puluhan kali lipat dari jarak biasanya. Bahkan aku berpikir bahwa bola ini tidak mungkin masuk ke dalam ring tersebut.

Tidak, ini hanyalah kegelisahanku saja.

Tenanglah!

Untuk memasukkan bola ini ke ring, aku membutuhkan sebuah ketenangan.

Aku membuang rasa kegelisahanku dengan menarik nafas yang sangat dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. Sekarang hatiku sudah cukup tenang untuk memasuki bola ini.

Setelah guru tersebut meniup peluitnya, aku melemparkan bola yang ada ditanganku menuju ring.

Ceklak!

Bola pertama telah kumasukkan.

Ceklak!

Ceklak!

Bola kedua, ketiga, dan seterusnya telah masuk ke dalam ring tanpa mengenai sisi ring tersebut. Kurasa sejauh ini sudah cukup tenang dan sekarang adalah bola yang terakhir.

Bola terakhir adalah penentuan untuk mendapatkan nilai sempurna. Aku rasa hal tersebut seperti menang atau kalahnya sebuah pertandingan. Lalu, aku mencoba untuk melemparkannya. Aku merasa cukup yakin bahwa bola ini akan masuk ke ring tersebut. Karena dulu aku adalah …

Kau adalah penembak jitu.

Perkataan itu terlintas di kepalaku yang membuat ketenanganku berkurang sebelum sesaat aku melemparkan bola.

Trang!

Suara yang terbuat dari benturan antara sisi ring dan bola basket terdengar cukup kuat. Lalu, bola basket yang terjatuh dan memantul-mantul terdengar seperti sebuah kegagalan. Entah kenapa keadaan di sekitarku terdengar hening, meskipun terlihat kebanyakan orang di sekitar yang mulutnya bergerak.

Keadaan ini adalah keadaan yang ditimbulkan karena sebuah kegagalan. Penglihatan, pendengaran, dan pikiran menjadi kosong dengan seketika. Sama seperti waktu itu.

Aku menghembuskan nafas yang dalam untuk mengakhiri pikiranku.

9 dari 10 kah? Kurasa nilai 90 tidak terlalu buruk juga.

Karena aku sudah selesai, aku berniat pergi dan duduk di sisi lapangan seperti biasanya. Menyatu dengan keadaan adalah salah satu kemampuanku. 

Lihat selengkapnya