Sore hari pulang sekolah merupakan waktu dimana kau akan memasang ekspresi yang lesu, seakan-akan jiwamu sudah terisap habis. Mau bagaimana pun juga, belajar di bidang yang tidak diinginkan sangat melelahkan.
Biasanya para murid menghilangkan rasa lelah tersebut dengan cara bermain ke café, mall, atau semacamnya. Mencari suasana hati seperti menghirup udara segar, melihat benda yang diinginkan, atau bermain game center. Hal tersebut juga biasa dikenal sebagai ‘kehidupan masa muda’. Namun, kelelahan itu pun juga bisa menghilang karena hal sederhana seperti mengingat bahwa besok adalah hari sabtu.
“Selamat sore, Alen.”
Tiba-tiba ada seorang gadis yang berjalan di sampingku. Aku sudah tahu siapa gadis itu dari suaranya saja, namun aku menengoknya secara spontan.
“Mau pulang bersama?” lanjutnya dengan tersenyum.
“Tidak.”
“Oh, jawaban yang sangat dingin seperti biasanya ya.” Derra memasang ekspresi seperti ‘aku sudah menduganya’.
Gadis ini. Meskipun aku selalu menolaknya, dia tidak akan mundur dari hadapanku. Jika aku marah-marah untuk mencoba mengusirnya, aku dapat memicu perang dengan semua murid yang berada di sini. Sebuah dinding besar yang tidak bisa ditembus olehku. Sebutan yang cocok untuk dirinya.
Di sisi lain, jika aku membiarkan dia berada di sampingku, mereka mungkin bertanya-tanya ‘siapa laki-laki yang terlihat pecundang itu?’. Pada akhirnya, mereka mendekatiku dan bertanya dengan ekspresi yang penuh amarah.
Mau bagaimana pun, kedua pilihan tersebut berakibatkan hal yang buruk. Namun, aku sudah bertekad bahwa untuk menjalani hidup, aku akan mengikuti alurnya saja. Jadi, kubiarkan dia berada di sisiku.
“Ngomong-ngomong, tadi aku mendengar dari Raihan bahwa kamu diajak olehnya masuk ke klub basket ya?” tanyanya.
Raihan? Oh, mungkin laki-laki yang tinggi itu. Karena hanya dia (laki-laki) yang berbicara padaku hari ini. Dalam hal ini juga, aku baru mengetahui bahwa dia memiliki hubungan yang dekat dengan Derra. Meskipun begitu, aku tidak peduli dan itu bukan urusanku.
Tidak, satu-satunya urusanku adalah …
“Jadi, kau yang memberitahunya tentang masa SMPku?”
“Tidak.” bantahnya dengan santai. “Aku tidak memberitahu apapun tentang masa SMPmu yang berada di klub basket. Aku berani sumpah loh.”
“Eeehh?” kataku dengan nada dan ekspresi yang tidak percaya.
“Begini begini aku adalah seseorang yang selalu memegang rahasia orang lain,” katanya dengan bangga. Lalu, dia sedikit terkejut. ”Eh? Tapi ini bukan rahasia kan?”
“Terserah kau saja!”
Mau diberitahu kepada mereka, aku tetap tidak peduli dan menolak tawaran itu. Di sisi lain, jika benar bahwa bukan dia yang memberitahunya tentang aku pernah berada di klub basket, pasti ada alasan pribadi bahwa laki-laki itu mengajakku bergabung.
“Kamu tahu? Aku berpikir bahwa Raihan mengajakmu karena dia tertarik padamu,” katanya.
Oh karena itu ya alasannya? Menyadari itu, aku mempunyai alasan lagi untuk menolaknya.
“Maaf, tolong katakan padanya bahwa aku bukan kaum pelangi!”
“Aduh, bukan tertarik tentang itu yang aku maksud!” katanya dengan menatapku kesal.
“...”
“Dia tertarik pada skill basketmu tahu!”
“Oh begitu.”
Ternyata bukan apa yang aku pikirkan. Tetap saja, aku masih menolak itu. Di sisi lain, aku berpikir kenapa laki-laki itu bisa tertarik dengan skill basketku padahal aku belum pernah menunjukkan di sekolah ini?
Tidak, aku pernah memperlihatkannya sekali. Pada saat tes basket kemarin. Apa dia melihat dan berpikir bahwa dengan memasuki bola tersebut, dia menganggapku hebat? Jika seperti itu, dia begitu naif. Siapapun bisa melakukan itu.
“Dia melihatmu pada saat di tes basket katanya. Dia sangat terkagum karena melihat kehebatanmu. Ngomong-ngomong, dia juga menyukai olahraga basket loh. Dia sering bermain di sekolah. Mungkin karena itulah, dia tertarik kepadamu.”
“Jadi, dia anggota klub basket?”
“Yaps. Apa kamu tertarik?”
“Tidak. Sudah kukatakan bahwa aku tidak tertarik dengan laki-laki.”
Dia menatapku kesal lagi dan terlihat alisnya yang semakin mengkerut. “Sudah kukatakan bahwa bukan tertarik sepeti itu!!”
“Ya.”
Aku mengiyakan perkataanya, memberikan isyarat untuk mengakhiri perkataan ini. Seperti apa yang kupikirkan, dia membuka suaranya lagi.
“Lalu, kenapa kamu menolaknya?”
Seperti yang sudah kuduga juga, pasti pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Aku sudah mengantisipasi pertanyaan itu.
“Aku tidak mempunyai niatan untuk bergabung,” jawabku jujur.
“Oh begitu ya,” katanya. “Yah, mau bagaimana lagi. Itu adalah keputusanmu.”
Benar, ini adalah keputusanku yang telah kubuat pada saat memasuki SMA ini. Aku sudah membulatkan tekad untuk berhenti bermain bola basket. Hanya satu tujuan yaitu untuk mengubur sesuatu yang menghantuiku.
“Tapi, kamu tahu? Jika berpikir tentang sikap Raihan terhadapmu, aku seperti menyadari sesuatu.”
Dia berkata dengan nada yang terdengar sangat dalam dan meratapi. Lalu, dia melanjutkan.
“Menyadari bahwa sesama orang yang menyukai sesuatu pada hal yang sama, pasti akan paham satu sama lain tanpa saling berbicara.”
Aku membuka mataku lebar-lebar. Mulutku juga terbuka seperti orang bodoh. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Tanpa kusadari aku telah merenungkan perkataan itu.
Menyukai hal yang sama kah?
Perkataanya mengingatku kepada seseorang di masa itu. Kenangan-kenangan yang tersimpan dipikiranku muncul satu per satu.