Selamat Pagi, Alen

Kavi M N
Chapter #27

Sebuah Janji dan Keinginan (1)

Bel berbunyi empat kali yang menandakan bahwa pelajaran telah selesai. Dengan cepat, aku merapihkan barang-barangku yang ada di meja.

Seketika ada sebuah cahaya gelap yang menutupi di samping kananku. Aku merasakaan kehadiran seseorang di sana. Secara refleks aku menongok ke arah tersebut.

Oh, ternyata dia.

“Yo Alen, mau pulang bersama?” tanya Derra.

“Tidak.”

“Oke.”

Penolakan secara langsung seharusnya membuat dia sadar bahwa perjuangan yang dia lakukan sia-sia, setidaknya untuk hari yang sedang dia perjuangkan. Namun, cahaya gelap masih menutupi samping kananku.

“Kenapa kau masih berdiam diri di sini?” tanyaku.

“Aku sedang menunggumu.”

“Hah?”

“Aku sedang menunggumu.”

Bukan itu jawaban yang aku mau! Di sisi lain, kenapa kau berkata dengan wajah yang polos, seakan-akan kau tidak memiliki sebuah kesalahan apapun?

“Sudah aku bilang kan, aku menolaknya,” tegasku.

“Kata ‘tidak’ darimu adalah setuju. Aku tahu itu.”

Hei, apapan itu!

Secara umum, kata ‘ya’ adalah setuju sedangkan ‘tidak’ adalah penolakan. Jika kau ubah seperti itu, berarti aku selalu setuju denganmu dong? Dalam artian ini, sudah jelas bahwa dia memaksaku untuk mengiyakan perkataanya.

***

Meskipun aku sudah memasang wajah tidak peduli, dia masih berada di sampingku. Sudah berapa kali kah aku mengalami ini? Bagaimana caranya untuk menghindar? Berlari-lari?

Berlari-lari untuk menghindar darinya seperti bocah SD saja. Lagipula, melakukan hal itu membuat tenaga banyak terkuras.

”Besok adalah hari sabtu. Dapat dikatakan bahwa besok adalah libur sekolah,” katanya.

“Bocah SD pun tahu akan hal itu.”

“Kau salah. Hari sabtu SD tuh masuk karena mengikuti kegiatan pramuka. ”

“Oh begitu.”

“Karena SD tuh wajib sedangkan SMA itu dijadikan sebuah ekstrakulikuler.”

“Oh begitu.” Aku mengangguk, seakan-akan menyetujui perkataanya, sebenarnya aku tidak peduli.

“Ngomong-ngomong, bagaimana dengan klub basket? Apa kamu berubah pikiran?” tanyanya.

“Tidak sama sekali.”

Dia mengangguk beberapa kali. “Oh begitu ya.”

Sejak saat itu, laki-laki itu tidak pernah muncul dari hadapanku lagi. Mungkin dia paham arti dari penolakan. Berbeda dengan gadis yang satu ini. Memikirkannya saja selalu membuatku ingin menghembuskan nafas yang dalam.

“Alen, apa kamu ada waktu luang di hari besok?” tanyanya.

Aku terbingung seketika, bertanya-tanya akan hal itu.

Dalam pertanyaan itu, jika kau salah menjawabnya, hal tersebut dapat memicu sebuah pertanyaan berikutnya yang akan membuat bingung seharian. Sumber adalah novel, komik dan film.

Besok adalah hari sabtu. Dengan kata lain, besok adalah hari libur dimana aku selalu mengurung diriku untuk menghabiskan waktu seperti membaca buku atau menonton film. Tidak akan kubiarkan waktuku terbuang percuma karenanya.

Untuk menolaknya, aku harus memikirkan alasan dimana dia tidak dapat menolak perkataanku.

“Aku—”

“Oh iya, pasti tidak ada kan?” katanya memotong perkataanku.

Oi, oi, bagaimana kau tahu? Tidak, mungkin semua orang tahu bahwa aku tidak memiliki kegiatan. Begitulah kehidupan seorang penyendiri.

Meskipun begitu-

“Hei, aku belum meng-“

“Kalau begitu, besok aku akan menunggumu di statiun. Dah ya,” katanya, lalu berjalan dengan cepat meninggalkanku.

Dia memotong perkataanku lagi dengan cepat. Apa keluarganya semacam kepiting?

“Hei, dengarkan aku dulu!” kataku.

Dia berhenti, lalu berbalik ke arahku. “Jam 10 pagi ya!”

Bukan itu yang ingin kudengar darimu!

Dia tidak akan mendengar perkataanku karena sifat keras kepalanya. Benar-benar bahwa penolakan tidak mempan terhadapnya. Oleh karena itu, aku harus memberitahu apa tujuanku sekarang.

“Aku tidak akan datang!”

“Kamu harus datang, aku akan menunggumu di sana, dadah,” katanya, lalu melambaikan tangan.

Lihat selengkapnya