Sebelum ke atas Monas, kami harus melewati ruang bawah dan mengantri. Antrian yang cukup panjang membuat kepalaku pening. Setelah mendapatkan tiketnya, kami pun berjalan kembali. Untuk menaiki atas Monas, kami harus menggunakan lift. Di sana pun kami mengantri kembali. Sepertinya minatku sedikit berkurang karena lelah.
Saatnya telah tiba. Kami menaiki lift dan saling berdesak-desakan. Lift ini hanya dapat menampung 11 orang saja. Meskipun begitu, rasanya cukup melelahkan.
Lantai 3 adalah lantai yang kami tuju. Tak lama kemudian, pintu lift pun terbuka. Dengan cepat, Derra bergerak keluar. Namun, aku berjalan gontai. Kenapa kepalaku sedikit pusing? Bahkan untuk berjalan pun kepalaku terasa bergoyang-goyang dan jalanku tidak serentak. Apa ini dinamakan mabuk lift? Sial, aku akan malu jika ketahuan seperti ini olehnya.
“Wah … di sini sangat dingin dan nyaman sekali.”
Untung saja dia tidak melihatku. Aku berdiam diri terlebih dahulu dan memulihkan keseimbangaku ini. Setelah keseimbanganku kembali, aku berjalan menghampirinya.
“Hei, Alen lihat itu!” katanya menunjuk ke arah sesuatu.
“Apa?”
“Orang-orang dan gedung-gendung terlihat kecil ya?”
“Ya.”
Kukira atap monas terbuka. Namun, ada penghalang di setiap sisi. Hal ini berbeda seperti di balkon stasiun. Disisi lain, kelihatannya melihat dari sini terlihat lebih kecil sekali. Namun, aku tidak terlalu peduli kepada orang-orang. Aku lebih tertarik kepada gedung yang bewarna-warni yang dapat menyilaukan hatiku ini.
“Hei Alen, Kamu tahu?”
“Apa?”
“Jika, kamu meminta sesuatu di saat bintang terrjatuh, maka di suatu hari nanti, doamu pasti akan terkabul loh,” katanya menatap ke arah langit.
“Itu kan cuman dongeng.”
“Benar, itu hanyalah dongeng. Akan tetapi, aku mempercayai dongeng tersebut.”
Meskipun aku tidak peduli akan hal ini, aku tetap bertanya.
“Kenapa?”
“Mungkin waktu dulu … ibuku selalu menceritakan hal itu kepadaku. Setiap bintang terjatuh, aku selalu meminta permohonan. Bukan hanya itu, aku selalu mendengarkan cerita darinya.”
Dia seperti nostalgia akan sesuatu tentang ibunya.
Kenangan kah? Aku juga memiliki kenangan dengan ibuku yang tidak bisa kulupakan. Baik perkataannya, tingkah lakunya, dan senyumannya. Tidak heran dia mengatakan itu secara tidak sadar di saat nostalgia sesuatu.
“Begitu ya, tidak ada salahnya juga sih, mempercayai hal itu,” kataku.
“Yah, aku berharap ada bintang jatuh di sini.”
Berharap seperti itu tidak ada salahnya juga. Untuk membalasnya, aku hanya mengangguk kepalaku sekali.
“Ada bintang jatuh.”
Seseorang berteriak dengan keras. Aku dan Derra dengan spontan berbalik ke arah sumber suara tersebut. Orang tersebut menunjuk ke arah langit. Dengan spontan juga, aku menengok ke arah yang dia tunjuk.
Sungguh kebetulan yang tidak terduga. Ada bintang yang terjatuh di atas sana.
Apa-apaan ini? Sebuah keajaiban? Ataukah gadis ini mempunyai kekuatan yang terpendam di dalam dirinya? Eh? Jangan berpikiran yang aneh deh.
“Waaaahhhh benar, ada bintang jatuh Alen.”
Kedua matanya berbinar-binar seperti menggambarkan seseorang yang sedang terkejut akan kejadian yang luar biasa. Aku masih bertanya-tanya di dalam pikiranku.
Kebetulan? Apakah aku dapat percaya dengan kebetulan? Selama ini, aku tidak pernah percaya dengan yang namanya kebetulan. Semua memiliki sebab dan akibat. Meskipun bintang itu terjatuh karena alasan tertentu, tidak mungkin terjadi disaat gadis ini baru mengatakan itu. Namun, mau bagaimana pun juga, kebetulan ini memang terjadi.
Di sisi lain, ini pertama kalinya aku melihat sebuah bintang jatuh dari langit. Bintang jatuh dengan indahnya. Kilatan putih terlihat seperti jalur atau sebuah kenangan yang sudah ia lalui. Mungkin ada yang bilang bahwa itu adalah sebuah ekor. Namun, aku hanya melihat sebentar karena bintang tersebut menghilang dengan sekejap.
Hanya satu kata yang ada dipikiranku saat ini.
Bintang tadi itu terlihat mengagumkan.
“Ayo meminta permohonan, Alen!”
“Eh? Permohonan?”