Matahari pagi yang lembut mulai menyapa dari balik ufuk timur, mengusir sisa-sisa kegelapan malam. Sinarnya perlahan menerobos masuk ke kamar kosmu, membangunkanmu dari tidur. Hari ini, kamu tahu, adalah hari yang istimewa. Kamu akhirnya akan benar-benar memulai kuliahmu setelah masa orientasi yang terasa begitu panjang dan melelahkan. Tak ada lagi perasaan terdesak, tak ada lagi kepanikan seperti masa-masa SMA dulu, ketika kamu harus buru-buru berangkat dan mendengar seruan kakakmu agar tak terlambat agar bisa menumpang mobil sang kakak ipar.
Kini, segalanya terasa lebih ringan. Kosan kecilmu hanya beberapa meter dari kampus. Jarak yang dekat memberi kemewahan—kamu bisa berjalan santai ke sana, atau memesan ojek jika malas. Tidak ada lagi desakan waktu yang menghantuimu setiap pagi.
Kamu menggeliat pelan, merenggangkan otot-otot yang masih terasa kaku setelah tidur panjang. Saat matamu terbuka sepenuhnya, kamu menatap ke arah jam dinding di seberang kamar. Masih ada waktu. Kaki telanjangmu menyentuh lantai dingin, dan tanpa sadar, kamu meraih ponsel di atas nakas. Sebuah pesan masuk.
Ben
Selamat pagi, cantik. Hati-hati ke kampus, ya. Jangan lirik mahasiswa lain, ingat, kamu sudah punya aku. Love you, Calula.
Kamu tersenyum kecil membaca pesannya. Dunia selalu begitu—selalu memastikan bahwa kamu tahu betapa ia peduli padamu, bahkan jika rasa cemburu kecilnya menyelip di setiap kata. Sejak kamu pindah ke kos ini, jauh dari rumah kakakmu dan juga jauh dari kantor Dunia, ia menjadi lebih protektif. Kesibukannya mempersiapkan pembukaan kantor baru di Kalimantan membuat kalian jarang bertemu, tapi pesan-pesan seperti ini selalu menjadi penghubung. Sebuah pengingat bahwa kalian tetap ada untuk satu sama lain, meskipun jarak memisahkan.
Kamu menenggelamkan kembali ponsel ke atas nakas, dan dengan enggan beranjak ke kamar mandi. Di sana, suara air yang mengalir memenuhi ruang, membasuh rasa kantuk yang masih tersisa. Saat keluar, rambutmu basah menetes, handuk kecil melilit kepala. Hari ini masih panjang, dan ada cukup waktu untuk bersiap-siap. Hairdryer ungu di meja rias menunggu, dan dengan beberapa gerakan cepat namun lembut, rambutmu kembali tertata rapi, mengalir indah seperti biasa.
Kamu berdiri di depan lemari, membuka pintunya dan meneliti isinya dengan cermat. Tanganmu meraba-raba kain-kain yang menggantung, mencari sesuatu yang pas untuk dikenakan. Akhirnya, pilihanmu jatuh pada sweater rajut berwarna ungu tua. Bahannya lembut, melingkari tubuhmu dan menutupi sebagian lehermu yang putih. Kamu memadukannya dengan celana jeans biru dongker yang ketat, menonjolkan bentuk kakimu yang ramping. Sebuah totebag kamu ambil dan kaitkan di bahu, siap menemanimu menjalani hari.
Udara pagi di luar begitu sejuk, menyapa kulitmu dengan lembut saat kamu melangkah keluar kos. Kamu berjalan dengan santai, menikmati setiap langkah menuju kampus. Jalanan yang kamu lalui terasa tenang, seolah dunia pagi ini hanya milikmu. Pikiranmu melayang, membayangkan apa yang akan kamu temui di hari pertama kuliah ini.
Sesampainya di kampus, gedung jurusan Manajemen menjulang di hadapanmu. Di situlah kamu akan menghabiskan waktu selama beberapa tahun ke depan, mengejar impian yang telah kamu rajut dalam hati. Masih ada waktu sebelum kelas pertamamu dimulai, jadi kamu memutuskan untuk singgah di depan mading kampus. Pandanganmu tertuju pada baris-baris pengumuman yang tertempel di sana, mencoba mencari tahu apa yang menarik perhatian.
Namun, tiba-tiba, sesuatu menabrak punggungmu. Kamu terhuyung sedikit, terkejut, dan ketika berbalik, kamu melihat seorang laki-laki berdiri di belakangmu. Dia tinggi, dengan tubuh padat namun tidak berlebihan. Wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang tulus.