Kamu menelungkupkan tubuh di atas tempat tidur yang beralas sprei ungu polkadot. Kamu memang sangat menyukai segala sesuatu yang bernuansa ungu. Seluruh kosmu dihiasi warna ini, dari yang paling cerah hingga yang paling gelap. Lemari pakaian dua pintu berwarna ungu muda, meja kecil di samping tempat tidur bercorak ungu bergaris, gorden yang memisahkan kamar dan ruang tamu bergambar bunga-bunga lavender, serta karpet bulu ungu yang lembut. Meskipun kos ini tidak terlalu luas, tempat ini terasa seperti istana kecil bagi kamu. Orang tuamu mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk mendapatkan kos berukuran sedang yang terasa mewah bagi mereka.
Tanganmu yang langsing bergerak cekatan di atas keyboard laptop berwarna ungu pekat yang terletak di hadapanmu. Kamu sedang menyusun bahan presentasi untuk esok hari. Selama ini, kamu tidak pernah mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugas kuliah. Dengan kecerdasan alami dan dedikasi tinggi selama tujuh belas tahun hidupmu, kamu telah terbiasa dengan pelajaran tanpa gangguan dari perkara cinta. Kamu tidak pernah merasa terpecah antara ilmu dan cinta.
Ditemani oleh lagu-lagu Westlife yang telah menjadi favoritmu sejak masa sekolah dasar, dari album pertama hingga yang terbaru, kamu masih hafal setiap liriknya. Meskipun zaman terus berubah, kamu tetap setia pada musik yang sama. Dengan lembut, kamu melepas kacamata anti-radiasi dari pelipismu dan menutup laptop setelah menekan tombol enter, menandakan pekerjaan telah selesai. Layar laptop berukuran sedang ditutup perlahan, dan tiba-tiba terdengar melodi separuh dari lagu "Uptown Girl" yang berkumandang dari ponsel terbaru Samsung milikmu.
Tubuhmu segera bangkit dari posisi telungkup, meraih ponsel di meja, dan meletakkan benda persegi panjang itu di telinga kanannya. "Halo, Sayang," sapamu lembut.
"Iya, Ben."
"Gimana kuliahnya hari ini?"
"Seperti biasanya aja. Tapi, Ben, hari ini aku sempat kesal, deh, sama Haka." Kamu mengeluh dengan nada sebal, sambil menyilangkan kedua kakimu di atas kasur.
"Apa lagi, sih, yang dia lakuin ke kamu?" tanya Ben, sedikit tertawa di seberang sana. Ben seringkali mendapatkan curhatan serupa darimu, dan tanggapannya hanya berupa tawa kecil yang terkadang membuat kemarahanmu semakin memuncak.
"Dia ngumpetin barang-barang aku. Ngeselin, kan?" Kamu melanjutkan ceritamu dengan nada kesal, sesekali mendengus marah mengingat kejadian itu.
Tawa Ben yang lembut terdengar jelas di telingamu, membuat bibirmu tersenyum tipis. "Yaudahlah sayang, lupain aja. Mereka emang suka gitu. Haka itu senang lihat ekspresi marahnya kamu yang menggemaskan itu."
Kamu tidak membalas ucapan Ben, bibirmu semakin maju. Jika Ben ada di hadapanku, mungkin kamu akan langsung menariknya ke pelukan. Ben sering mengatakan bahwa saat kamu marah, kecantikan wajahmu semakin bersinar.
"Haka sudah sering banget bertingkah kayak gini. Pertama kali aku kenal Haka, dia ngumpetin tas aku juga. Dia juga sering ngagetin aku dari belakang. Di hari kedua, dia narik aku ke belakang kampus dengan alasan ada dosen yang nyari aku, padahal dia cuma mau nyuruh aku ngeliat orang pacaran. Pake cium-ciuman segala lagi. Di hari berikutnya ...." Kamu melanjutkan ceritamu dengan gaya dramatis, menghitung setiap kejahilan Haka.