Matahari pagi terasa sejuk menyentuh kulitmu saat kamu melangkah memasuki kantin kampus yang sudah ramai. Suasana di sini seperti biasa: dipenuhi para mahasiswa yang sibuk mengisi perut sebelum memulai aktivitas hari mereka. Kamu memilih tempat di meja pojok yang sudah dikenal baik, menyuguhkan pemandangan langsung ke area makan yang sibuk.
Di meja itu, Haka dan Dunia sudah berada, tengah menikmati nasi uduk Mbok Iyem yang terkenal lezat. Makanan yang disajikan dengan porsi melimpah tampak menggugah selera. Kamu mengambil tempat di samping mereka, bergabung dengan keramaian di meja yang dipenuhi makanan dan canda tawa.
Saat kamu baru saja duduk, kamu mulai membahas topik dengan semangat, “Ka, ada berita terbaru, gak, tentang acara kampus minggu depan?” tanyamu penuh antusias. “Gue denger ada beberapa pembicara dari luar negeri yang bakal datang.”
Haka mengangguk, menyendok nasi uduk dengan penuh kepuasan. “Iya, bener banget. Mereka bakal ngasih seminar tentang teknologi terbaru. Gue rencananya mau ikutan, tapi jadwal pastinya masih belum jelas.”
Kamu mendengarkan jawaban Haka dengan penuh perhatian, namun hatimu dipenuhi rasa gelisah. Setiap kali kamu mencuri pandang ke arah Dunia, detak jantungmu semakin berdetak cepat. Rasa cemas dan keinginan untuk lebih dekat dengannya semakin membara dalam dirimu.
Sementara itu, Dunia tampak sibuk dengan ponselnya, tenggelam dalam layar yang penuh dengan pesan-pesan yang harus diurus. Suasana di meja terasa tenang, meskipun kamu merasakan adanya jarak emosional yang mengganjal antara dirimu dan Dunia.
Haka melanjutkan percakapan dengan santai. “Eh, ngomong-ngomong, lo udah siapin materi untuk presentasi di kelas minggu ini?”
Kamu mengangguk, wajahnya menunjukkan kepuasan. “Iya, udah siap. Cuma tinggal finalisasi aja. Gue harap, sih, semuanya berjalan lancar.”
Ketika percakapan berlanjut, perasaan di dalam hatimu semakin membara. Kehadiran Dunia terasa semakin intens, seolah melingkupi seluruh ruang di dalam dirimu. Detak jantungmu berpacu semakin cepat seiring berjalannya waktu, tidak mampu menahan desiran perasaan yang menggelora.
Tiba-tiba, Dunia meninggalkan ponselnya dan bergabung dalam obrolan dengan senyuman yang membuatmu merasa lebih gelisah. “Eh, guys, ngomong-ngomong soal seminar, gue baru lihat poster di lobi. Kalian ikut?”
Kamu yang awalnya tampak tenang, tiba-tiba menjadi salah tingkah. Wajahmu memerah, dan kamu bisa merasakan ketegangan yang mengisi udara. Dunia menatap kamu dengan penuh rasa ingin tahu. “Eh, La. Ngomong-ngomong lo udah punya pacar atau belom?”
Suasana sejenak menjadi hening. Kamu tampak terkejut, mulutmu terbuka tanpa kata-kata. Haka, dengan canda dan percaya diri, tiba-tiba nyeletuk, “Oh, gue pacarnya Calula.”
Perasaan di meja itu berubah menjadi campur aduk. Kamu semakin memerah, sementara Dunia hanya tersenyum lembut, tampaknya menikmati dinamika yang tercipta.
Obrolan berlanjut dengan tawa yang tersebar di meja. Kamu, yang tampaknya ingin mengalihkan perhatian, berkata, “Eh, Haka, temenin gue ke toko buku, yuk. Gue mau nyari beberapa bahan bacaan.”
Haka, dengan semangat yang sama, menjawab, “Tentu aja, gue bisa nemenin. Dunia, lo mau ikut juga?”
Dunia mengangguk, “Boleh juga. Sekalian jalan-jalan. Tapi gue nyusul, ya. Nanti kalian duluan aja.”