Malam menjelang, dan kamu melangkah keluar dari mall dengan langkah ringan dan hati penuh kegembiraan. Suasana malam di luar begitu menyegarkan, dengan udara yang lembut membelai kulitmu, namun hatimu terasa seperti ada yang mengganjal. Setiap kali kamu berpikir tentang Dunia, perasaan hangat itu kembali menyelimuti dirimu, seolah dia adalah matahari yang mengusir kegelapan dalam jiwamu.
Setelah pamit kepada Haka, kamu dan Dunia melaju dalam mobilnya yang berkilau di bawah lampu jalan. Suara mesin yang halus dan desain motor yang sporty memancarkan aura keanggunan dan kekuatan, namun pikiranmu terus melayang pada perasaan yang menggelora dalam dirimu. Setiap senyuman Dunia, setiap tatapan lembutnya, seolah mengundang kamu untuk tenggelam lebih dalam dalam samudera perasaan yang belum sepenuhnya kamu pahami.
Saat motor berhenti di depan kos-anmu, kamu merasa seolah saat-saat indah bersama Dunia harus segera berakhir. Kamu melambaikan tangan dengan rasa enggan, melihat motor Dunia menjauh. Dalam sekejap, suasana sepi kos-anmu kembali mengelilingimu, dan kamu merasa kesepian yang mendalam.
Jauh di dasar hatimu, kamu berharap. Bahwa kamu bisa memiliki momen berdua, lagi, bersama Dunia. Walaupun kamu tahu kalau semua ini adalah sebuah kesalahan, bodohnya kamu tetap menikmatinya.
***
Di dalam kamarmu yang tenang, kamu membuka ponsel untuk mengecek pesan-pesan terbaru. Di grup chat yang melibatkan Haka dan Dunia, kamu menemukan pesan yang baru saja masuk, mengundang rasa gelisah dalam hatimu.
Haka : Besok gue mau nongkrong di kafe sama Duni. Lo ikut gak, La?
Calula : Gak bisa. Gue ada acara makan malam sama Ben.
Kamu tampak murung lantaran tidak bisa ikut andil dalam pertemuan bersama Haka dan Dunia. Seketika bahumu melorot lemas, tidak bersemangat.
Malam berikutnya tiba dengan suasana yang penuh harapan dan sedikit kecemasan. Ben menghubungimu, menawarkan makan malam romantis di sebuah restoran mewah. Kamu menerima ajakannya dengan harapan bahwa mungkin kamu akan menemukan sesuatu yang lebih dalam dari hubunganmu dengan Ben, meskipun hatimu lebih sering berpikir tentang Dunia.
Ben menjemputmu dengan mobilnya yang berkilau, dan kamu merasa tersentuh oleh perhatian yang ditunjukkannya. Setiap detil dari malam itu—dari bunga yang terhias di meja makan, hingga cara Ben menarik kursi untukmu—semuanya terasa seperti adegan dari sebuah film romantis. Kamu merasa seperti seorang ratu, dikelilingi oleh kemewahan dan perhatian yang tak henti-hentinya.
“Kamu kelihatan cantik malam ini, Calula,” kata Ben dengan nada lembut, senyumnya penuh kekaguman. “Aku sangat senang bisa menghabiskan waktu sama kamu.”
Kamu tersenyum, merasakan kehangatan dari pujian itu, namun dalam hatimu, ada keraguan yang terus membayangi. Kamu berusaha menikmati malam itu, namun perasaanmu terus terseret ke dalam lamunan tentang Dunia.
Selama makan malam, Ben berbicara tentang berbagai hal dengan penuh semangat, berusaha menarik perhatianmu. Namun, meskipun kamu berusaha untuk terlibat dalam percakapan, pikiranmu terus melayang ke Dunia. Kamu memeriksa ponselmu secara diam-diam, berharap ada pesan baru dari mereka, merasa bersalah karena ketidakhadiranmu secara emosional.
Setelah makan malam, Ben mengajakmu untuk berjalan-jalan di taman yang terletak dekat restoran. Suasana malam yang tenang dan indah seolah menawarkan kesempatan untuk menemukan kembali kebahagiaan. Namun, setiap langkah yang kamu ambil, setiap keindahan yang kamu lihat, terasa kurang berarti tanpa kehadiran Dunia.
Ben memperhatikan ketidakhadiranmu, tampaknya kecewa. “La, ada yang salah? Kamu, kok, kayaknya nggak fokus gitu?”
Kamu terjaga dari lamunanmu, rasa bersalah menyelimutimu. “Maaf, Ben. Aku cuma … lagi mikir tentang banyak hal.”
Ben menghela napas, menatapmu dengan mata penuh harapan yang tersisa. “Aku harap semuanya baik-baik aja.”