Selamat Tinggal, Dunia.

Rika Kurnia
Chapter #5

Tentang Rasa

Malam telah tiba, dan angin malam berembus lembut, seperti bisikan yang mencoba menenangkan gundah di dalam hatimu. Udara dingin menyusup perlahan melalui celah-celah jendela, membuat tirai bergetar lembut. Kamu duduk di depan meja, menatap bayangan diri di kaca yang suram, dibalut oleh cahaya temaram lampu kamar. Ada ketenangan yang samar-samar, namun jauh di dalam dirimu, hati bergejolak seperti lautan yang tenang di permukaan, namun bergelombang di bawahnya.

Pikiranmu tak pernah sepenuhnya bisa diam malam ini, terus berputar-putar di seputar undangan sederhana dari Haka dan Dunia—taman bermain. Apa yang bisa salah dari itu? Namun, justru kesederhanaannya itulah yang membuatmu resah. Kamu tak pernah bisa mengabaikan bagaimana setiap kali nama Dunia terucap, ada getaran halus yang menyentak batinmu, membawa bayang-bayang pikiran yang tak pernah kamu harapkan.

Ben, tunanganmu, selalu menjadi lelaki yang setia. Dia ada untukmu dalam setiap langkah, dengan cinta yang tulus dan perhatian yang tak pernah berkurang. Kamu mencintainya, sangat mencintainya. Namun, dalam cinta itu, ada sebuah keraguan kecil yang menelusup diam-diam setiap kali Dunia hadir dalam percakapan atau sekadar mengisi ruang pikiranmu.

Perlahan, kamu meraih ponsel, mengetik pesan dengan jari yang terasa berat, seperti setiap huruf yang kamu ketik adalah beban yang menambah kesulitanmu. Pesan itu sederhana saja, hanya sebuah permintaan izin yang biasa. Tapi, kenapa terasa begitu rumit malam ini?

"Ben, besok aku sama Haka dan Dunia mau ke taman bermain. Kamu nggak apa-apa, kan?"

Jari-jarimu berhenti di atas layar, menimbang-nimbang. Apakah kamu seharusnya jujur tentang kegelisahan yang kamu rasakan? Tapi bagaimana caranya? Tidak ada yang salah, bukan? Ini hanya rencana biasa. Namun, tetap saja, ada sesuatu di balik kata-kata itu yang menyempitkan ruang dadamu.

Beberapa detik yang seakan-akan terasa abadi berlalu sebelum ponselmu bergetar pelan, menandakan balasan dari Ben.

"Tentu, La. Aku nggak apa-apa kok. Have fun ya besok. Aku sebenarnya ada rencana ngajak kamu ke suatu tempat, tapi nggak apa-apa, mungkin lain waktu."

Matamu membaca pesan itu perlahan, dan sebuah rasa lega tipis menyusup ke hatimu. Ben selalu pengertian, terlalu pengertian. Namun, justru pengertiannya itu yang membuat rasa bersalah perlahan menjalar ke sekujur tubuhmu, seperti kabut yang tak terlihat tapi terasa.

"Thanks, Ben. Mungkin minggu berikutnya kita bisa jalan. Sorry ya."

Kamu menekan "kirim," tapi bahkan setelah itu, kata-kata itu tak mampu meredakan kegelisahan yang mengendap di dalam dada. Kamu tahu Ben pasti berharap lebih banyak darimu, ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Dan kamu juga menginginkannya—setidaknya itulah yang selalu kamu yakini. Tapi kenapa, kenapa Dunia selalu berhasil menarikmu ke arahnya, walaupun hanya dalam bayangan?

Di balik rencana sederhana untuk ke taman bermain, kamu merasakan ada sesuatu yang jauh lebih besar yang bersembunyi. Bukan sekadar keinginan untuk bersenang-senang, tetapi sebuah rahasia dalam dirimu yang bahkan belum bisa kamu namai.

***

Lihat selengkapnya