Selamat Tinggal, Dunia.

Rika Kurnia
Chapter #6

Kincir Angin

Pagi yang cerah membentang luas, dengan matahari yang bersinar lembut di langit biru. Udara segar memenuhi paru-paru saat kamu, Dunia, dan Haka memasuki taman bermain yang luas dan penuh warna. Gelak tawa anak-anak, deru wahana, dan aroma popcorn memenuhi udara, menciptakan atmosfer yang penuh semangat dan kegembiraan. Hari ini, seakan menjadi anugerah untuk melupakan sejenak segala beban dan kekhawatiran yang menggelayuti pikiran.

“Ke wahana apa dulu, nih?” Haka bertanya sambil memandang peta besar yang tergantung di pintu masuk taman, matanya bersinar penuh antusias.

“Kincir angin aja dulu, kayaknya seru tuh, buat pemanasan.” Dunia menjawab dengan nada ceria. Kamu mengangguk setuju.

Langkah kalian bertiga menuju kincir angin dipenuhi dengan obrolan ringan dan tawa. Namun, saat kalian mendekati wahana, Haka mendadak berhenti.

“Eh, gue ke toilet dulu. Bentar aja!” katanya dengan nada terburu-buru, lalu melesat menuju toilet yang berada di pinggir taman.

“Kita duluan aja, yuk.” Kamu berkata, melirik Dunia dengan senyum yang penuh pengertian. Dunia mengangguk sambil tersenyum, matanya menyiratkan rasa humor yang hangat.

Kalian berdua melanjutkan ke kincir angin, menaiki gondola yang kosong, dan duduk bersebelahan. Wahana mulai berputar perlahan, membawa kalian ke puncak. Di atas sana, pemandangan taman bermain membentang luas di bawah kalian—sebuah mozaik warna-warni dari deretan wahana yang berputar, jalanan yang dipenuhi pengunjung, dan pepohonan yang memberikan naungan hijau yang menyejukkan.

Kamu merasakan hembusan angin lembut di wajahmu, seolah menyapu semua kekhawatiran yang mengganggu. Kamu memandang ke luar, takjub dengan keindahan pemandangan. Di sisi lain, Dunia duduk dengan tenang, menatap langit dengan tatapan melamun yang penuh makna.

“Keren banget pemandangannya,” bisikmu lembut, suaramu hampir terbenam dalam keheningan yang mengelilingi kalian. Dunia menoleh, senyum tipis menghiasi bibirnya, seolah ia baru tersadar dari lamunan panjang.

“Iya, dari sini semuanya terasa lebih kecil. Seolah masalah-masalah kita juga jadi enggak berarti,” jawabnya pelan, suara penuh refleksi.

Kamu merasakan angin sepoi-sepoi lembut menyentuh wajahmu, seakan membelai dengan penuh kelembutan. Di dalam gondola kincir angin yang perlahan naik menuju puncak, keheningan yang tercipta di antara kalian terasa begitu nyaman, seolah kata-kata tak lagi diperlukan. Hanya kehadiran satu sama lain yang cukup untuk membuatmu merasa tenang.

Lihat selengkapnya