Beberapa hari setelah momen yang tak terlupakan di kincir angin bersama Dunia, Ben, dengan senyum hangat yang selalu ia pakai saat ingin menyenangkanmu, mengajakmu keluar. Kali ini, katanya, ia ingin membawamu ke tempat yang sangat romantis dan unik. Awalnya, ajakannya seharusnya menggelitik rasa bahagia dalam hatimu—karena Ben selalu tahu bagaimana membuatmu merasa istimewa. Namun, ada sesuatu yang mengendap-endap di dalam dirimu, sesuatu yang tak bisa kamu abaikan begitu saja.
Malam itu, kalian menyusuri jalanan kota yang sunyi, gemerlap lampu kota di kejauhan hanya tampak sebagai bayangan buram di balik kaca jendela mobil. Hawa malam mulai menusuk kulit, tapi di dalam hatimu, ada badai lain yang jauh lebih dingin, yang mendera tanpa henti. Kamu tersenyum kecil pada Ben setiap kali ia melontarkan candaan ringan, namun hatimu tak ikut tertawa. Ada beban tak kasatmata yang menggantung di antara kalian, semakin berat seiring waktu berlalu. Sesuatu yang tak berani kamu ungkapkan.
Kamu tiba di tempat yang Ben maksudkan. Sebuah restoran kecil, tersembunyi di balik gang sempit, seolah-olah berada di dunia yang berbeda dari hiruk pikuk kota. Cahaya kuning redup menyinari taman kecil di sekitar restoran, memantulkan bayangan pepohonan rindang yang bergoyang lembut tertiup angin malam. Di sudut-sudutnya, bunga lavender tergantung di pot-pot kecil, menebarkan aroma manis yang hampir seperti melodi, lembut namun memikat.
“Kita di sini,” Ben berkata pelan, suaranya penuh kebanggaan akan pilihannya.
Kamu melangkah masuk, menghirup udara yang dipenuhi wangi lavender dan aroma masakan yang menggoda. Sebuah meja di sudut ruangan menanti, jauh dari pengunjung lainnya. Hanya kalian berdua dan lilin kecil yang bergoyang di tengah meja, cahayanya yang hangat mencoba menghalau bayang-bayang yang semakin panjang di dalam hatimu.
Ben menarik kursi untukmu dengan penuh perhatian, seperti biasanya, dan senyumnya mengembang begitu tulus. "Aku tahu kamu suka tempat yang tenang," ujarnya sambil duduk di hadapanmu. "Jadi aku cari yang spesial untuk kita malam ini."
Senyummu tersungging, tapi hatimu terasa jauh. Seharusnya, malam ini adalah malam di mana kamu merasa dicintai, dihargai, dan terhubung sepenuhnya dengan Ben. Tapi ada yang mengganjal, seperti duri halus yang menusuk hati setiap kali kamu memandang wajahnya yang penuh harap.
Makanan datang, dan obrolan ringan pun mengalir. Ben bercerita tentang pekerjaannya, tentang momen-momen kecil yang biasa kalian bagi dalam tawa, namun entah mengapa malam ini terasa hambar di bibirmu. Kamu tertawa, tapi tidak merasakan kebahagiaan itu di dalam dadamu.
Dan kemudian, Ben menyentuh topik yang membuat hatimu semakin bergolak—hari pertunangan kalian.