Pagi itu, bandara penuh dengan hiruk-pikuk yang khas—deretan pelancong berlalu-lalang, suara pengumuman yang bergaung dari pengeras suara, dan langkah kaki yang terburu-buru mengisi lantai yang mengilap. Udara beraroma kopi yang baru diseduh dari kafe-kafe kecil di sudut terminal. Kamu berdiri di sana bersama Ben, di area keberangkatan, tepat di depan pintu masuk pemeriksaan keamanan.
Matamu mengikuti gerakan Ben yang tengah mengecek ponselnya, wajahnya penuh dengan fokus yang serius, seperti biasa. Dengan setelan rapi, ia tampak seperti seseorang yang sudah siap menguasai dunia. Namun, meski penampilannya selalu terjaga sempurna, kamu bisa melihat lelah di balik senyumnya—lelah karena tanggung jawabnya sebagai direktur, juga lelah karena menyiapkan segalanya untuk hari pertunangan kalian.
Suara koper yang berderit memenuhi ruang di sekitarmu saat orang-orang berlalu. Kamu bisa merasakan suasana bandara yang tak pernah tidur—tempat yang menjadi persimpangan bagi banyak perjalanan, baik untuk awal yang baru atau perpisahan sementara. Tapi untukmu, pagi ini, bandara menjadi tempat di mana kebingungan hatimu semakin menguat.
Ben menoleh, menyadari bahwa kamu belum mengucapkan banyak kata sejak kalian tiba di sini. "Kamu nggak apa-apa, kan?" tanyanya, suaranya tenang tapi penuh perhatian.
Kamu mencoba tersenyum, meski terasa berat. "Enggak apa-apa. Aku baik-baik aja, kok," jawabmu dengan lembut, menunduk sedikit saat kamu mengatakan itu. Di sekitar kalian, kehidupan terus berjalan; para penumpang lain yang mungkin sedang bersiap untuk petualangan mereka, tidak mengetahui bahwa di sudut ini, hatimu sedang dipenuhi oleh keraguan.
Ben menggenggam tanganmu, genggamannya hangat dan penuh kepastian. “Aku cuma pergi dua minggu. Setelah itu, kita bisa fokus ke pertunangan kita. Aku janji semuanya akan berjalan lancar,” katanya, suaranya penuh dengan keyakinan yang sudah menjadi ciri khasnya.
Tapi di dalam dirimu, ada sesuatu yang terus bergolak—sesuatu yang tak pernah kamu bayangkan akan terjadi. Setiap kali Ben berbicara tentang masa depan kalian, perasaan yang seharusnya hangat dan penuh harapan justru berubah menjadi beban. Kata-katanya yang indah seolah menambah berat di dadamu, bukannya menenangkan. Setiap janji yang ia ucapkan terasa seperti sesuatu yang sulit kamu genggam.
Matamu melirik ke arah gerbang keberangkatan, melihat lautan manusia yang hilir mudik, sementara pikiranmu mulai melayang ke arah yang tak seharusnya. Dunia. Nama itu tiba-tiba muncul di benakmu, membuat hatimu semakin gelisah. Kamu dan Ben berdiri begitu dekat, tapi perasaanmu terasa jauh—terpisah oleh ruang yang tak kasat mata, yang semakin hari semakin lebar.
Ben menatapmu lagi, kali ini lebih lama. Dia tampak menyadari sesuatu yang tak bisa kamu sembunyikan. "Kalau ada yang kamu pikirin, kamu bisa cerita ke aku, Sayang. Jangan terlalu memendamnya sendirian, ya. Kamu tau kan, aku selalu ada buat kamu," katanya, nada suaranya mulai dipenuhi oleh perhatian yang tulus. Sungguh jahatnya kamu jika menyakiti seorang laki-laki yang sangat baik di depanmu ini.
Kamu tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak mencapai matamu. "Mungkin cuma karena aku lagi datang bulan," kamu beralasan, berharap itu cukup untuk menutup kegelisahan yang membungkus hatimu.