Langit biru di atas pelabuhan tampak begitu cerah hari itu, seolah tak ada yang salah di dunia. Laut tenang, bergelombang lembut seperti napas yang berirama, menunggu untuk membawa kapal feri yang akan membawa kamu, Dunia, Haka, dan sepupunya, Deby, menuju Kepulauan Seribu. Kamu merasa semangat membuncah di dalam dada, bukan hanya karena petualangan ini, tetapi juga karena waktu yang akan kamu habiskan bersama Dunia.
Di pelabuhan, angin laut menyapu wajahmu dengan lembut, membawa aroma garam yang segar. Kamu menatap Dunia yang berdiri di sebelahmu, tampak begitu tenang dan nyaman dengan angin yang membelai rambutnya. Ada kehangatan dalam senyumnya yang membuatmu merasa dekat, seolah-olah jarak antara kalian berdua semakin memudar, bahkan tanpa perlu kata-kata.
Namun, keheningan itu terganggu ketika Haka memperkenalkan Deby—sepupunya yang tiba-tiba ikut serta. Dia memiliki aura yang berbeda, dengan penampilannya yang modis dan sorot matanya yang tajam. Saat pertama kali kalian bersalaman, ada senyum kecil di bibirnya, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit dijelaskan—dingin dan sedikit angkuh.
"Seneng ketemu kalian. Haka sering cerita tentang kalian," katanya, tapi nada bicaranya terasa seolah dia tidak benar-benar peduli. Kamu berusaha tersenyum ramah, meskipun ada rasa tidak nyaman yang menggantung di udara.
Setelah semua siap, kalian pun naik ke kapal feri. Perjalanan melintasi laut dimulai dengan suara mesin kapal yang menderu pelan, membelah air laut yang biru jernih. Ombak memercik ke sisi kapal, menciptakan irama tenang yang seolah mengajakmu untuk melupakan segalanya sejenak. Kamu berdiri di dek kapal, menikmati pemandangan yang membentang luas—langit tanpa batas dan lautan yang menyatu dalam keindahan tak terlukiskan.
Di sebelahmu, Dunia berdiri sambil memegang pagar kapal, memandang jauh ke cakrawala. Angin laut menerpa wajahnya, membuat rambutnya sedikit berantakan. Kamu tersenyum kecil, merasa ada keintiman yang aneh di antara kalian. Sesekali, tangan kalian bersentuhan saat kapal bergoyang pelan, dan meski sentuhan itu begitu singkat, hatimu bergetar seperti ada arus listrik yang mengalir.
“Elo suka laut?” tanyanya tiba-tiba, suaranya lembut, seolah pertanyaan itu keluar dengan alami.
Kamu mengangguk, lalu memandang jauh ke arah laut, mencari jawaban yang tepat. “Suka ... tapi jarang banget bisa nikmatin kayak gini. Rasanya tenang, ya?” suaramu pelan, hampir tenggelam di antara angin yang berhembus.
Dunia tertawa kecil, suara tawanya seolah ikut melayang di atas angin, membuatmu merasa lebih dekat dengannya. “Iya, tenang banget. Kadang gue ngerasa, kalau aja hidup bisa sesederhana ini—cuma kita, laut, dan angin.”
Kata-katanya membawamu ke dalam ketenangan yang lebih dalam, seperti memeluk kehangatan yang hanya bisa ditemukan di antara kalian. Kamu melihatnya dari samping—wajahnya tampak begitu damai, dan kamu tak bisa menahan diri untuk tidak terpikat. Ada sesuatu dalam caranya memandang dunia yang membuatmu merasa segalanya mungkin, meski hanya sejenak.
Saat angin berhembus lebih kencang, sehelai rambutmu terbang dan menutupi wajahmu. Kamu baru hendak menyingkirkannya ketika Dunia dengan lembut mengulurkan tangannya, menyingkirkan helai rambut itu dari wajahmu. Sentuhannya begitu ringan, namun meninggalkan bekas yang dalam. Mata kalian bertemu, dan waktu seolah berhenti. Tak ada kata yang perlu diucapkan, karena dalam diam itu, kamu tahu kalian sudah melewati batas yang tak pernah kalian akui.
“Thank you,” katamu pelan, suaramu hampir tersedak oleh perasaan yang meluap di dadamu. Dunia tersenyum, senyum yang membuatmu merasa aman, tapi juga bingung—karena kamu tahu, perasaan ini seharusnya tak ada.