Haka terus mencecarmu, suaranya penuh tanya yang semakin lama menusuk relung hatimu. Kalian masih mengayuh sepeda perlahan di atas pasir putih Pulau Pari, namun konsentrasimu terpecah, bukan lagi pada keindahan pantai atau desir angin laut yang mengusap wajah, melainkan pada perasaanmu yang berkecamuk. Rasa cemburu yang selama ini tak pernah kamu akui perlahan merambat, seiring dengan tatapan Deby yang terus menempel pada Dunia—dan bagaimana Dunia seolah tak peduli, seperti terbiasa dengan sorot matanya yang menggoda.
"Elo beneran nggak cemburu?" tanya Haka lagi, nadanya semakin menyelidik. Suaranya tenggelam di antara deburan ombak yang tak henti menggemuruh di kejauhan.
Mulutmu terbuka, mencoba menjawab, tapi sebelum satu kata pun sempat keluar, roda sepedamu tiba-tiba oleng. Rasa panik menjalar seketika, dan kamu kehilangan kendali. Dalam hitungan detik, tubuhmu terhempas ke tanah, pasir yang tadinya halus kini terasa kasar menghantam kulitmu. Lututmu mendarat lebih dulu, dan rasa sakit yang tajam langsung menjalar.
"Hei!" seru Haka, berhenti mendadak di sampingmu, matanya membulat penuh kepanikan. "Elo nggak apa-apa, La?"
Kamu meringis, mencoba bangkit namun rasa perih di lututmu membuatmu terhenti. Lutut yang terluka itu terbuka, darah mengalir tipis di permukaan kulitmu yang tergores pasir. Celana pendek yang kamu kenakan tak mampu melindungimu dari luka itu, dan kini lututmu terbuka lebar, merah dan berdarah.
Dunia, yang berada beberapa meter di depan, segera berhenti begitu melihatmu jatuh. Tanpa ragu, dia melempar sepedanya ke pasir dan berlari ke arahmu, tatapannya penuh kekhawatiran. Dia berjongkok di sampingmu, tidak memedulikan pasir yang berhamburan ke kakinya.
"Elo nggak apa-apa?" suaranya rendah namun terdengar tegang, dan kamu bisa melihat ketulusan di matanya yang jarang sekali muncul begitu nyata.
Kamu mencoba tersenyum meski rasa sakit itu terasa menusuk. "Kayaknya cuma lutut gue aja, nggak parah."
Namun tanpa berkata apa-apa lagi, Dunia berdiri, matanya menyapu sekeliling mencari sesuatu yang bisa membantumu. "Tunggu di sini," katanya singkat sebelum berlari ke arah penginapan terdekat. Meninggalkan Haka yang masih terdiam di sampingmu, seolah tak tahu harus berbuat apa.
"Elo beneran nggak apa-apa?" Haka bertanya lagi, kali ini suaranya lebih tenang, meski tatapan curiganya masih tersisa. Kamu mengangguk pelan, mencoba bangkit, tapi rasa perih di lututmu kembali menghalangi. Sementara itu, dari jauh, kamu bisa melihat Deby yang berdiri dengan tangan disilangkan di dadanya, memandangmu seolah-olah apa yang terjadi padamu hanyalah sebuah kebetulan kecil yang tidak penting.
Tak lama kemudian, Dunia kembali, membawa plester dan air mineral. Tanpa banyak bicara, dia berlutut di depanmu. Matanya penuh perhatian, menghapus pasir yang menempel di luka dengan lembut, menggunakan air untuk membersihkan darah yang mulai mengering. Sentuhannya begitu hati-hati, seolah-olah dia takut menyakitimu lebih jauh. Setiap gerakan tangannya membawa rasa nyaman yang sulit dijelaskan, membuatmu merasa dilindungi.
"Tahan dulu ya, La," katanya pelan, sebelum memasang plester di lututmu. Matanya bertemu dengan matamu sesaat, dan ada sesuatu di sana—sesuatu yang hangat, lebih dalam dari sekadar simpati. Sesuatu yang selama ini kamu hindari untuk dipahami, namun kini terasa begitu nyata.
Di belakang, Deby yang sedari tadi berdiri diam, berdecak tidak suka. Dia melirik Dunia dengan tatapan yang lebih tajam, penuh ketidaksenangan yang tersamar di balik senyum tipisnya.
Kamu mencoba berdiri, namun saat melangkah, tumitmu terasa sakit. Kamu meringis, rasa nyeri menjalar dari telapak kaki hingga ke betis. "Duh ... kayaknya tumit gue juga terkilir, deh," keluhmu, mencoba menahan rasa sakit yang semakin menjalar.
Haka segera mendekat, bersiap menawarkan bantuannya. "Biar gue yang gendong lo ke penginapan, ya?"