Malam di Pulau Pari begitu tenang, seolah alam turut menyembunyikan gelombang perasaan yang berkecamuk di dalam hatimu. Suara deburan ombak yang memeluk pantai mengiringi langkah-langkah kecilmu menuju ayunan kayu yang terletak di dekat penginapan. Di atas sana, langit malam dihiasi taburan bintang, cahayanya berpendar lembut, namun hati dan pikiranmu jauh dari ketenangan. Setiap tarikan napas yang kamu hirup membawa serta rasa dilema yang makin hari makin sulit kamu tolak.
Kamu duduk di ayunan itu, membiarkan kakimu menyentuh pasir yang hangat, bergerak lembut mengikuti irama kecil dari ayunan yang terayun pelan. Angin laut mengusap wajahmu, tetapi tak ada yang mampu mengusir gulungan pikiran yang terus menghantui. Perasaan yang kamu simpan rapat-rapat selama ini seperti riak ombak yang menghantam karang. Ada rasa yang tak bisa kamu definisikan dengan mudah—seperti benang kusut yang mengikat erat hatimu.
Saat tadi, di tengah permainan truth or dare, sesuatu di dalam dirimu mendesak untuk menjauh, menarik diri dari permainan dan kebersamaan yang seharusnya menyenangkan. Deby dengan segala sikapnya yang terus menempel pada Dunia, mencoba mencuri perhatiannya, membuatmu sadar akan sesuatu yang tidak pernah ingin kamu akui. Setiap gerak-geriknya, setiap tatapan yang ia arahkan pada Dunia, membuatmu tidak nyaman. Tapi mengapa? Kamu seharusnya tidak merasa begini. Dunia hanyalah teman. Itu yang selalu kamu katakan pada dirimu sendiri. Tapi kata-kata itu semakin terdengar kosong.
Kamu memejamkan mata sejenak, membiarkan angin malam mengelus pelan wajahmu, mencoba meredam gejolak yang sulit kamu mengerti.
Langkah kaki terdengar mendekat, mengganggu kesunyian yang tadi terasa begitu nyaman. Tanpa perlu menoleh, kamu tahu siapa yang datang. Dunia. Aroma familiar dari tubuhnya mengalir bersama angin, menambah kerisauan di hatimu.
“Gue cariin taunya di sini.” Suara Dunia terdengar lembut, seperti riak kecil yang menghampiri pantai, tidak ingin mengganggu tapi tetap terasa. Dia berdiri di samping ayunanmu, tangannya menyentuh tali ayunan dengan lembut, seolah takut mengusik ketenangan yang kamu bangun. "Kenapa pergi di tengah-tengah permainan tadi? Bukannya seru?"
Kamu terdiam sejenak, mencari jawaban di antara tumpukan perasaan yang sulit kamu urai. Seharusnya kamu berkata jujur, tapi lidahmu terlalu kelu untuk mengakui apa yang sebenarnya terjadi di hatimu. “Nggak apa-apa,” jawabmu singkat, terlalu singkat untuk menghapus keraguan yang tersirat dari sorot mata Dunia. "Gue cuma perlu waktu sendiri."
Dunia menarik napas panjang, lalu duduk di ayunan kosong di sebelahmu. Gerakannya tenang, seperti ombak yang meredam badai. Kalian berdua terdiam, hanya ditemani suara alam yang terus mengalun pelan. Sepertinya dia tahu ada sesuatu yang tak beres, tapi ia memilih untuk menunggu hingga kamu siap berbicara.
Kamu memandang ke depan, mencoba menikmati keindahan malam yang terbentang di hadapanmu. Tapi, hatimu tidak di sana. Ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar keheningan ini, sesuatu yang perlu diucapkan, meski terasa menakutkan. Akhirnya, dengan tarikan napas yang berat, kamu memberanikan diri untuk bertanya. “Dun ... tipe cewek idaman lo kayak gimana, sih? Kalo gak dijawab juga enggak apa-apa, sih.”
Pertanyaan itu terbang begitu saja dari bibirmu, seperti layang-layang yang terlepas dari genggaman. Kamu tak yakin apakah itu pertanyaan yang tepat untuk situasi ini, tetapi entah mengapa, kamu butuh mendengarnya.
Dunia menoleh perlahan, kaget dengan pertanyaanmu, tetapi ia tidak langsung menjawab. Seolah-olah pertanyaan itu membawa pikirannya ke tempat lain, ke sudut terdalam dari hatinya. Dia tersenyum kecil, kemudian memandang ke arah laut yang berkilau di bawah sinar bulan. “Kenapa tiba-tiba tanya kayak gitu?”
Kamu mengangkat bahu, berpura-pura santai, meski di dalam hatimu ada ribuan perasaan yang bergolak. “Penasaran aja.”