Kamu mencoba melangkah, meninggalkan Haka dan segala percakapan yang mulai terasa terlalu berat. Namun, sebelum kamu berhasil mengambil jarak, tangan Haka tiba-tiba menggenggam pergelanganmu. Cengkeramannya lembut, tapi cukup kuat untuk menahankan langkahmu. Kamu berbalik, dan di sana, dalam bayang malam yang gelap, mata Haka menatapmu dengan serius—penuh kesabaran, tetapi juga dipenuhi rasa penasaran yang tak terelakkan.
“Elo mau ke mana?” tanyanya dengan nada rendah. “Gue cuma minta satu jawaban. Apa yang sebenarnya terjadi antara elo dan Dunia?”
Kamu merasakan dadamu semakin sesak, seperti ada beban yang terus bertambah setiap detiknya. Kamu berpaling, berusaha menghindari tatapannya yang menusuk itu, tapi Haka tidak berhenti.
“Gue nggak akan pergi sampai lo jawab jujur,” katanya lagi, suaranya lebih lembut namun tetap tak melepaskanmu dari cengkeraman pertanyaannya. “Elo suka sama Dunia, kan?”
Kata-kata itu melayang di udara, menggema dalam pikiranmu, menabrak setiap tembok yang sudah kamu bangun. Kamu mencoba menarik napas panjang, tapi setiap tarikan terasa berat, menambah rasa sesak yang mulai menyebar dari dadamu ke seluruh tubuh. Kata-kata yang ingin kamu keluarkan seakan tersangkut di kerongkonganmu, tak bisa diucapkan.
“Gue tahu, ini bukan urusan gue,” lanjut Haka, melihatmu masih bungkam. “Tapi gue bisa liat, elo berubah, La. Setiap kali lo lihat Dunia sama Deby, lo ... kayak bukan diri lo sendiri. Dan kalau lo nggak ngakuin sekarang, malah lo yang bakalan makin terluka.”
Haka terus berbicara, tapi suara-suara di sekitarmu mulai meredup. Kamu merasa dunia berputar lambat, terkurung dalam badai emosi yang tidak bisa lagi kamu hindari. Seperti angin topan yang datang tiba-tiba, kamu tidak bisa lari. Keheningan di antara kalian begitu menekan, hingga akhirnya sesuatu di dalam dirimu pecah.
“Iya!” serumu, suara itu keluar lebih keras dari yang kamu kira. Mata Haka melebar sedikit, tapi dia tidak berkata apa-apa. Hanya memandangmu dengan tenang, menunggu.
“Iya, lo bener. Gue suka sama Dunia!” lanjutmu, kali ini dengan suara yang lebih rendah, tapi penuh getaran emosi. Air mata yang sudah lama tertahan akhirnya mengalir, dan meskipun kamu mencoba menghapusnya, tangisan itu terlalu deras untuk dihentikan. “Gue nggak tahu kenapa, nggak tahu kapan mulai perasaan ini, tapi gue nggak bisa bohong lagi.”
Haka tetap diam, membiarkanmu menumpahkan segala beban yang selama ini menghantui pikiranmu. Kamu merasa seolah seluruh tubuhmu rapuh, seperti ranting kering yang bisa patah kapan saja. Setiap kata yang keluar dari mulutmu semakin berat, semakin menyesakkan dada.
“Dunia bikin gue ngerasa nyaman,” lanjutmu di sela isakan yang semakin sulit dikendalikan. “Rasa nyaman yang beda saat gue lagi sama Ben. Setiap kali gue lagi sama Dunia, gue bisa ngerasa bebas. Tapi gue tahu ini salah ... sangat salah.”