Setelah percakapan yang menguras emosi dengan Haka, kamu merasa seperti ada yang tercabut dari dalam dirimu, meninggalkan kekosongan yang menyakitkan. Langit malam, yang biasanya menenangkan dengan bintang-bintang berkilauan di atas sana, kini terasa seperti saksi bisu yang tak peduli, hanya memandang jauh dari kejauhan seakan menertawakan kehancuran hatimu. Malam yang tadinya tenang kini dipenuhi desiran angin dingin yang menusuk kulit, seakan menggambarkan kekacauan perasaan yang bergejolak dalam dadamu.
Kamu menarik napas panjang, berharap angin malam yang dingin bisa mendinginkan bara yang membakar di dadamu, tapi rasanya sia-sia. Semua terasa berat, tak ada satu pun yang bisa memberikan kedamaian. Langkahmu terasa gontai ketika kamu meninggalkan Haka di belakang, namun setiap langkah yang kamu ambil justru terasa makin membawamu jauh dari jawaban, makin jauh dari kelegaan.
Di tengah keheningan yang menyiksa, suara telepon tiba-tiba memecah malam. Nada dering yang familiar itu membawa getaran tak terelakkan di hatimu. Layar ponsel menampilkan nama yang selama ini selalu mengisi harimu: Ben. Kamu menelan ludah, menggigit bibirmu, sejenak dilanda keraguan yang tak terkatakan. Jari-jarimu gemetar di atas layar, enggan untuk menjawab, seolah-olah suara Ben akan menyeretmu kembali ke dalam kebingungan yang lebih dalam. Tapi setelah beberapa detik yang terasa bagai keabadian, kamu akhirnya menyeret layar dan menjawab panggilan itu.
“Halo, Sayang.” Suara Ben terdengar lembut, penuh perhatian seperti biasa. Ada kehangatan yang tak pernah berubah, selalu memberimu rasa aman di tengah kekacauan. “Gimana kabar kamu? Aku kangen banget sama kamu.” Kalimat itu menggantung di udara, seolah menunggu untuk disambut dengan balasan yang sama. Namun, kata-kata itu tak menyentuh hatimu seperti dulu.
Ada jeda panjang yang tak terelakkan. Kamu tahu Ben menunggu sesuatu—sebuah jawaban, atau setidaknya sedikit kehangatan seperti biasanya. Tapi setelah apa yang baru saja terjadi dengan Haka, rasanya semua kata dan perasaanmu terkunci. Ada dinding tak terlihat yang tiba-tiba tumbuh di antara kalian, membuat setiap kalimat yang ingin kamu ucapkan terasa berat, nyaris mustahil.
“Baik.” Hanya itu yang bisa kamu katakan. Suaramu terdengar datar, tak ada getar bahagia yang biasa mengalir dalam percakapan kalian. “Kamu apa kabar?”
Ben diam sejenak, mungkin merasakan perubahan dalam dirimu. Tapi dia tidak memaksakan. Dia selalu tahu bagaimana memberimu ruang, namun justru itulah yang semakin menambah beban di hatimu. “Aku baik,” katanya pelan. “Cuma ... kangen aja. Kayaknya udah lama kita nggak ngobrol lama. Kamu lagi sibuk, ya?”
Kamu merasakan sentuhan lembut dari suaranya, tapi bukannya menenangkan, kalimat itu justru seperti menambah luka di dalam. Kamu ingin mengatakan sesuatu—mungkin meminta maaf karena telah menjauh, mungkin menjelaskan perasaanmu yang kacau. Tapi semua itu terasa terlalu sulit. Setiap kata yang ingin keluar seperti tersedot oleh kekosongan yang semakin dalam. Kamu hanya mampu menggumamkan jawaban singkat, “Biasa aja, Ben.”
Keheningan kembali menyelimuti kalian. Di ujung sana, kamu bisa mendengar Ben menarik napas panjang, seolah sedang mengumpulkan kekuatan untuk menahan rasa rindu yang tak terbalas. Kamu tahu dia ingin bertanya lebih banyak, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi dia memilih untuk menahan diri. Sifat pengertiannya yang selama ini selalu kamu kagumi kini justru terasa seperti beban berat di pundakmu.
“Kalau gitu, jangan terlalu capek, ya,” katanya akhirnya, suaranya tetap penuh perhatian, tapi kini ada sedikit getaran di sana. “Aku nggak mau kamu sakit. Besok aku telepon lagi, ya. Semoga tidur kamu nyenyak malam ini. Mimpi indah, ya.”