Selamat Tinggal, Dunia.

Rika Kurnia
Chapter #14

Sebuah Kabar

Setelah snorkeling selesai, kalian kembali ke pantai dengan tubuh yang masih basah oleh air laut. Debu halus pasir menyambut telapak kakimu saat kamu berjalan ke sebuah kedai kecil di pinggir pantai yang menawarkan es kelapa segar. Matahari siang itu mulai meninggi, sinarnya menyentuh kulit dengan hangat, sementara angin laut tetap sejuk. Kalian memilih duduk di meja kayu yang sederhana, menghadap ke laut yang tenang. Segelas es kelapa dihidangkan di depanmu, airnya dingin menyegarkan, dan daging kelapanya lembut.

Haka, seperti biasa, menjadi pusat perhatian. Dengan suara keras dan penuh semangat, dia bercerita tentang pengalamannya di bawah laut tadi. “Gila banget, guys! Ikan-ikannya keren banget, warna-warni! Gue lihat pari manta di dekat karang, gede banget, sumpah! Terus, ada ikan yang bentuknya aneh, yang kayak punya tanduk gitu! Sumpah, gue kayak di dalam film dokumenter!” Tawa Haka meledak, menular ke Dunia yang duduk di sebelahnya, ikut tersenyum meski dengan sikap yang lebih tenang.

Debby, yang duduk di sisi kirimu, hanya tertawa kecil sambil sesekali menyuap es kelapanya, namun matanya sesekali mencuri pandang ke arah Dunia. Kamu menyadari itu, meski tak ingin mengartikannya terlalu jauh. Sementara itu, kamu mencoba menikmati suasana ini, menyembunyikan perasaanmu di balik tegukan es kelapa yang dingin dan menyegarkan tenggorokanmu.

Namun, tiba-tiba, suasana tenang di meja itu terganggu oleh ketegangan yang tak terduga. Kamu merasa ada sesuatu yang mendesak di hatimu—sesuatu yang harus kamu sampaikan. Saat kamu membuka mulut, kamu merasakan kata-kata hampir keluar, tapi pada detik yang sama, Debby juga berbicara.

“Kalian, ada yang mau gue sampein,” katamu dengan suara rendah namun terdengar jelas. Tapi, bersamaan dengan itu, Debby juga memulai, “Guys, gue juga!”

Kalian berdua terdiam, saling memandang. Suasana mendadak canggung, dan kamu merasakan ada sesuatu yang berbeda di mata Debby. Perasaan asing yang mendesak keluar dari dalam dirinya, seolah siap meletus. Sebelum kamu bisa mengatakan apapun, Debby, dengan suara yang lebih lantang dan percaya diri, melanjutkan.

“Sebentar, La. Gue duluan, ya?” katanya, sambil tersenyum tipis ke arahmu sebelum menatap Dunia dengan tatapan serius yang mengejutkan semua orang. “Jadi, gue udah lama pengen ngomong ini. Sebenernya gue punya perasaan ini bukan tiba-tiba. Tapi jauh sebelum pertemuan kita sekarang. Karena saat pertama kali Haka kasih liat sebuah foto, dia ... dengan senyumnya. Gue langsung jatuh cinta."

Napasmu seketika tercekat. Rasanya kamu bisa menebak apa kelanjutan ucapan Deby.

"Dunia ... gue suka sama lo. Lo mau kan, jadi cowok gue?”

Kata-kata Debby meluncur tanpa ragu, begitu tegas dan jelas, seolah-olah itu adalah hal yang sudah lama dipikirkannya. Ruang di sekitarmu terasa hening. Kamu bisa mendengar suara ombak yang perlahan menghantam pantai, seolah memperlambat detik-detik setelah pengakuan itu. Haka menghentikan tawanya, terdiam sejenak, mulutnya terbuka karena terkejut. Dunia, yang tadinya bersandar santai di kursinya, kini terlihat terkejut dan sedikit canggung. Matanya melebar sebelum akhirnya menatap Debby dengan bingung.

Dan kamu … duniamu seperti berhenti sejenak. Rasanya seperti jantungmu diperas. Kata-kata Debby bergema di kepalamu, membuat udara di sekitarmu semakin menekan. Kamu merasa seolah-olah ada sesuatu yang tenggelam jauh di dalam hatimu. Seluruh tubuhmu kaku, tanganmu gemetar memegang batok kelapa, dan kamu tidak tahu harus berkata apa. Perasaan yang selama ini kamu simpan rapat-rapat, yang mungkin bahkan tidak kamu akui sepenuhnya, tiba-tiba terasa terpampang begitu nyata di hadapanmu.

Debby tersenyum penuh percaya diri, seolah dia telah menunggu saat ini begitu lama. “Gue tau mungkin ini bikin kalian semua kaget,” katanya, suaranya lebih lembut sekarang, “tapi gue udah nggak bisa menyembunyikan perasaan gue lagi. Dunia, gue serius.”

Mata Dunia masih berkedip, mencoba mencerna situasi yang tiba-tiba berubah drastis. Wajahnya terlihat sedikit bingung, dan dia menggaruk belakang kepalanya, tanda bahwa dia tidak siap untuk ini. Dia menatapmu sekilas, mungkin mencari reaksi, tetapi kamu hanya diam, bibirmu terasa terkunci.

Lihat selengkapnya