Perjalanan pulang terasa lebih sunyi daripada saat keberangkatan. Meski angin laut menerpa wajah dengan lembut, dan deburan ombak mengiringi deru mesin kapal feri yang melaju pelan, hatimu masih saja terasa berat. Kamu duduk di salah satu bangku kosong di dek kapal, menatap jauh ke garis horizon yang perlahan-lahan memudar dalam bayang senja. Sisa-sisa kehangatan matahari sore menjalar lembut di permukaan laut, menciptakan kilauan emas yang menari-nari di permukaan air.
Dalam benakmu, kata-kata Haka berputar-putar tak henti-hentinya. "Jangan biarin perasaan lo ke Dunia ngancurin semuanya." Sekilas, keputusan untuk mengatakan pada Dunia tentang pertunanganmu dengan Ben minggu depan tampak sederhana. Sebuah pengakuan yang seharusnya membuat segalanya menjadi lebih jelas. Tapi semakin lama kamu memikirkannya, semakin berat rasanya.
Haruskah kamu benar-benar jujur padanya? Atau lebih baik tetap diam, membiarkan segala perasaan ini mengalir seperti angin yang berlalu, tanpa arah, tanpa tujuan?
Kapal bergoyang sedikit, membuatmu tersadar dari lamunan. Udara malam mulai menyelusup masuk, membawa aroma asin laut yang pekat. Setelah menimbang-nimbang cukup lama, akhirnya kamu memutuskan untuk menemui Dunia. Setidaknya, kamu harus memberitahunya. Dunia berhak tahu tentang pertunangan ini, dan kamu tidak ingin dia mendengarnya dari orang lain.
Dengan langkah hati-hati, kamu berjalan menuju pintu keluar dek kapal. Begitu membuka pintu, angin malam langsung menerpa wajahmu, membuatmu bergidik kecil. Di luar sana, lampu-lampu kecil di sekeliling kapal berpendar lembut, menyinari geladak yang luas tapi lengang. Matamu mencari-cari sosok yang sejak tadi memenuhi pikiranmu.
Dan akhirnya kamu menemukannya—Dunia. Dia berdiri sendirian di dekat pagar pembatas kapal, memandang ke arah laut yang luas. Punggungnya tegap, rambutnya berkibar pelan tertiup angin. Pandangan matanya menerawang jauh, seolah ada yang berusaha dicari di ujung cakrawala yang tak bertepi. Melihatnya dalam kesunyian seperti itu membuat dadamu berdesir, ada rasa rindu yang mendadak menyeruak.
Kamu baru saja hendak melangkah mendekat ketika sekelebat sosok lain tiba-tiba muncul. Deby.
Dia berjalan cepat ke arah Dunia, dan tanpa ragu, berdiri di sebelahnya. Kamu segera menghentikan langkahmu. Tiba-tiba, niatmu untuk berbicara terasa surut. Kamu hanya bisa memandang mereka dari kejauhan, menyaksikan interaksi yang tak bisa kamu dengar, tapi terasa jelas keintimannya.
Dari posisimu, kamu melihat bagaimana Deby berbicara dengan penuh semangat, wajahnya menghadap Dunia yang hanya mendengarkan dengan raut datar. Sesekali Deby menggerakkan tangannya, seolah menekankan sesuatu yang penting, sementara Dunia sesekali mengangguk pelan. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi kamu bisa merasakan bahwa obrolan mereka berlangsung cukup serius.
Waktu berlalu pelan. Rasanya seperti berjam-jam kamu berdiri di situ, meski mungkin sebenarnya hanya beberapa menit saja. Namun, setiap detik terasa seperti jarum yang menyusup di bawah kulitmu. Ada dorongan dalam hatimu untuk mendekat, untuk setidaknya mengganggu obrolan mereka. Tapi kamu tahu, tidak ada alasan yang kuat. Kamu hanya akan membuat situasi semakin rumit.
Lalu, tiba-tiba, seolah disadari oleh instingnya, Dunia menoleh. Mata kalian bertemu.
Tatapan itu hanya berlangsung sejenak, tapi cukup untuk membuat napasmu tercekat. Mata Dunia yang biasanya tenang dan damai, kini tampak bergejolak. Seperti ada sesuatu yang ingin dia katakan, tapi bibirnya terlalu enggan untuk mengungkapkannya. Kamu tak tahu pasti, tapi kamu merasa Dunia menyimpan kesedihan di sana.
Tapi sebelum kamu bisa membaca lebih jauh makna tatapannya, sesuatu yang tak terduga terjadi. Dunia menoleh kembali pada Deby yang masih menunggu di sisinya, lalu … Dunia mencium Deby. Di bawah remang cahaya kapal dan deburan ombak yang berkejaran, mereka berdua berciuman.