Makan malam terus berlanjut dengan topik obrolan yang berganti-ganti, dari rencana liburan hingga cerita-cerita lucu masa lalu. Deby terlihat sangat menikmati suasana, tertawa lepas sambil sesekali menggenggam tangan Dunia di atas meja. Sementara kamu, meskipun bibir ikut tersenyum, pikiranmu melayang ke tempat lain—terombang-ambing di antara kenyataan yang sulit diterima dan bayangan akan masa depan yang seharusnya kamu jalani.
Kemudian Dunia menawarkan untuk mengantar Deby pulang setelah makan malam berakhir. Dengan senyum lembut yang khas, dia menarik kursi untuk Deby sebelum berdiri di sisinya. “Aku anter, ya?” tanyanya dengan nada yang tidak bisa ditolak.
Deby mengangguk, matanya berbinar cerah seperti biasa. “Makasih, Sayang.”
Kamu hanya menatap mereka berdua dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Melihat bagaimana Dunia memandang Deby dengan penuh perhatian, rasanya seperti menelan pil pahit yang tidak kunjung habis. Kamu berusaha mengukir senyum, meskipun hatimu terasa begitu jauh dari wajahmu yang tampak tenang.
“Duluan, ya,” kata Deby dengan nada riang sebelum beranjak. Dunia melambai padamu, tatapannya sejenak bertaut, menyisakan pertanyaan-pertanyaan tak terucap. Dia tidak bicara lagi, hanya mengantar Deby keluar dari restoran.
Kamu menahan napas, menyaksikan mereka berdua berjalan menjauh—menyisakanmu bersama Haka di meja. Canggung mendadak meliputi ruangan begitu Deby dan Dunia menghilang di balik pintu restoran.
“Elo mau pulang sekarang?” Haka menatapmu dengan perhatian yang tulus, raut wajahnya sedikit khawatir.
“Enggak, masih mau di sini sebentar.” Jawabanmu terdengar lebih ragu daripada yang kamu harapkan, tapi Haka mengangguk memahami.
Dia memanggil pelayan dan membayar tagihan sebelum pamit ke toilet, meninggalkanmu sendirian di sudut ruangan. Sepeninggalnya, keheningan kembali menyergap.
Ketika akhirnya Haka kembali, kalian pun memutuskan untuk pulang. Sesampainya di tempat parkir, Haka menoleh padamu, raut wajahnya penuh dengan perhatian. “Pegangan yang kuat, ya. Gue jalan pelan aja.”
Kamu mengangguk, menempelkan tanganmu di punggungnya saat motor mulai bergerak. Hanya ada suara mesin dan kilauan lampu kota yang membelah malam. Keheningan yang menyesakkan ini memaksa pikiranmu kembali pada sosok Dunia yang mengantar Deby—dunia yang seharusnya juga mengantar dirimu, dulu.
Tanpa sadar, air mata mulai mengalir, merembes ke pipimu. Haka yang merasakan getaran kecil dari tubuhmu langsung menepikan motor di sisi jalan yang sepi.
“Hei, kenapa?” tanyanya cemas. “Lo nangis?”
Alih-alih menjawab, kamu hanya menggeleng pelan. Isakmu tak bisa dibendung, tangisan yang sejak tadi kamu tahan kini pecah begitu saja.
Haka menepikan motor, mematikan mesin, lalu menoleh ke arahmu. Di bawah cahaya lampu jalan yang redup, Haka menatapmu dengan ekspresi bingung tapi penuh perhatian. Dia menggenggam kedua bahumu dengan lembut.
“Ada apa? Elo kenapa nangis?” suaranya bergetar sedikit, berusaha mencari jawaban yang mungkin tak pernah terucapkan.
Kamu terisak, berusaha mengendalikan diri. Tapi setiap kali kamu mencoba menarik napas dalam-dalam, yang terasa hanya sesak yang semakin mencekik.
“Gue …,” katamu dengan bibir bergetar, “nggak tahu, Ka ….”